Hari ini kuliah libur. Aku ingin menikmati liburanku dengan tidur setelah seminggu berkutat dengan tugas-tugas sekolah on line. Sebenarnya aku sudah bangun sejak pukul 4.30 tadi. Setelah menjalankan shalat subuh dan mengaji, aku merebahkan tubuhku kembali sambil menyimak tayangan Islami di salah satu televisi swasta. Namun semakin lama mataku terpejam dan ingatanku hilang melayang...mungkin yang tersisa hanya suara dekurku saja Â
"Yudha , bangun!" suara tinggi bunda membangunkanku. Wah, gawat, kalau sudah mengeluarlan  nada do tinggi seperti itu  menandakan kalau bunda marah. Aku bergegas membukakan pintu kamar.
"Anak muda kok bangun siang," ujar bunda mulai berceramah," Tidak baik susah rejeki. Harusnya kamu bangun pagi, olah raga biar sehat."
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan bunda. Aku tidak mau membantah bunda takut kena kualat. Aku hanya berdiri di depan bunda sambil menahan kantuk.
"Kamu antar bunda ke pasar, ya. Bi Ina sedang tidak enak badan," ajak bunda kepadaku. Aku menganggukan kepalaku.
"Ya, sudah kamu mandi dulu . Bunda tunggu di bawah ya," perintah bunda Lagi-lagi aku hanya menganggukkan kepala.
Wah, gagal sudah rencanaku untuk tidur panjang hari ini. Aku harus mengikuti keinginan bunda. Kalau aku menolak, takut melukai hati bunda. Pantang buatku menyakiti hati wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku hingga aku menjadi pemuda ganteng seperti ini.
Â
Ha..ha...ha... kata orang Sunda aku mah ambon sorangan alias  gede rasa.
Â
Aku bergegas mandi dan berdandan rapi. Tak lupa kusemprotkan parfum for man kesukaanku agar menambah kepercayaan diriku semakin bertambah.
"Yudha, ayo sudah siang nih. Nanti bertambah panas cuacanya!" panggil bunda dari bawah.
Aku bergegas turun sambil mengambil kunci mobil dari laci bupet.
"Anak bunda kok semakin ganteng saja," puji bunda sambil mencolek pipiku. Wah...kalau sudah memuji begitu pasti ada tugas lain yang akan ditambahkan padaku.
" Iyalah, kan bundanya juga cantik," ujarku balik memuji sambil memeluk bundanya erat.
"Nanti setelah dari pasar, kamu antar bunda ke penjahit langganan mama ya, kasep," ujar mama pelan,"Mama mau menjahitkan baju."
Tuh kan benar, kalau mama sudah memuji-muji aku pasti ada maunya. Alamat seharian ini aku akan menjadi supir pribadi mama.
"Ayo...ah. Sudah siang," ajak bunda kemudian.
Aku mengantarkan bunda sampai parkiran. Bunda tidak mau diantar olehku hingga ke dalam pasar. Jadi aku menunggu di tempat parkir tepat di depan mini market.
Aku menuju mini market untuk  membeli minum dan s
nack. Aku belum sempat sarapan tadi. Â Aku mengambil beberapa makanan dan satu botol air mineral.
Saat aku tiba di depan kasir, aku melihat seorang gadis di seberang jalan. Dia sedang bergandeng tangan dengan seseorang. Tampak mereka sangat mesra.
Itu ...kan Cinta. Lalu siapa laki-laki yang bersamanya tadi? Apakah laki-laki itu ada hubungan istimewa dengannya. Pantas saja akhir-akhir dia menjaga jarak denganku dan seolah menghindari ku.
Setelah aku membayar belanjaanku, aku mengejar Cinta. Namun sayang dia sudah masuk mobil dan pergi bersama laki-laki itu.
Aku segera masuk mobil dan menikmati makanan dan minuman yang kubeli tadi sambil memikirkan Cinta.
Cinta adalah mahasiswa UPI jurusan kependidikan sedangkan aku kuliah di  jurusan musik. Pertemuanku dengannya sangat berkesan dan menegangkan.
Malam itu aku pulang agak larut karena harus berlatih paduan suara untuk acara inagurasi di kampusku. Aku membawa motorku setengah kencang. Tiba-tiba di perempatan jalan yang menuju komplek  Sukajadi aku mendengar ada teriakan minta tolong. Aku melihat ada seorang gadis yang menggunakan hijab biru sedang ditarik-tarik oleh seorang laki-laki di samping mobil putih. Aku segera menghentikan motorku tak jauh dari mereka. Aku memperhatikan mereka. Aku ragu-ragu untuk membantu mereka. Aku takut dikatakan ikut campur urusan mereka.
"Tolong, A. Bantu saya," ujar perempuan itu sambil berusaha melepaskan tangannya dari pria itu.
Aku segera turun dari motor ketika perempuan itu meminta tolong padaku .
"Lepaskan dia!" Â teriakku sambil mendekati gadis itu dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman tangan pria itu.
"Jangan ikut campur urusan kami. Dia pacarku," teriak laki-laki itu sambil mendorongku dan berusaha melayangkan tinjunya ke arahku. Serta merta cengkraman tangan laki-laki itu terlepas dari gadis itu.
"Kamu harus menyingkir,Neng. Cari perlindungan," ujarku sambil menghindar dari tinjunya.
"Apa urusanmu dengan kami. Dia kekasihku. Kamu bukan siapa-siapanya" bentak laki-laki itu lagi.
"Siapa bilang dia bukan siapa-siapa. Dia calon istriku. Siapa pun yang mengganggunya maka akan berurusan denganku," ujarku tak kalah kerasnya. Sejenak gadis itu membelalakkan matanya.
"Cinta, benarkah itu. Kamu sudah betul-betul melupakanku?" tanya pria itu menghentikan pukulannya.
Gadis itu yang ternyata bernama Cinta menganggukan kepalanya. Aku mendekati Cinta.
"Kamu kan cowok yang tak tahu diri. Cinta itu tidak punya perasaan apa pun padamu. Dia cintaku dan tak boleh ada orang yang mengganggunya. Silakan kamu pergi!". bentakku lebih keras. Laki-laki itu pergi dengan wajah yang kecewa.
Cinta, nama gadis itu, mendekatiku. Dia menundukkan kepalanya.
" Terima kasih ya, kamu sudah menolongku dari gangguan Andri. Dia selalu menggangguku," ujarnya pelan.
" Oke tidak apa-apa. Manusia harus tolong menolong, " jawabku klise,". Ngomong-ngomong kamu berani pulang sendiri, tengah malam lagi. Di mana rumahmu?"
"Aku tadi mendapat telepon dan memberitahukan kalau adikku kecelakaan. Si penelopon minta kiriman uang agar bisa membawa adikku ke rumah sakit. Aku menolak. Lalu aku telepon adikku namun tak menyahut. Oleh karena itu aku minta tolong temanku mencari adikku. Beberapa rumah sakit sudah kudatangi namun adikku tetap tak ada. Tadi pukul 11an adikku telepon dan memberitahukan kalau dirinya menginap di rumah temannya. Eh...pada saat aku menunggu ojol, Andri datang dan menggangguku. Alhamdulillah Allah mengirimkanmu ke sini . Terima kasih ya, " jelas Cinta panjang lebar. Wajahnya tetap menunduk. Mungkin dia berniat menutup pandangan dari orang-orang yang bukan muhrim.
'Ayo aku antarkan kamu pulang....eu...," Â ragu-ragu aku melanjutkan ucapanku.," Aku Yudha, Siapa namamu?"
"Cinta..," ujar gadis itu. Dia tidak menyambut uluran tanganku untuk bzerkenalan. Dia hanya merapatkan kedua tangannya di depan dada.
"Hm ...gadis hijaber yang taat dengan ajaran agama," batinku sambil mengikuti apa yang dilakukannya.
Sejak itu kami bersahabat. Kami kerap bertemu di kampus jika kebetulan sama-sama tidak ada kuliah. Kami sering berdiskusi tentang banyak hal. Kami menjadi dekat meski tak paham arti kedekatan kami.
Teman-teman sering menggodaku kalau Cinta itu pacarku tapi aku tak pernah menyatakannya. Aku hanya menjalani semuanya, mengalir seperti air. Aku mengakui semakin dekat dengan Cinta, semakin aku merasakan sesuatu yang lain di hatiku. Ada rasa rindu jika aku lama tak bertemu dengannya.
"Hm...mungkinkah, aku jatuh cinta padanya. Aku cemburu ketika melihat Cinta berdua dengan laki+laki lain.
"Yudha...buka pintu!". suara bunda mengejutkanku. Kulihat bunda sudah ada di samping mobil dan mengetuk-ngetuk kaca mobil. Aku segera membukakan kunci pintu.
"Kamu memikirkan apa, Yudha ? Bunda sudah lama mengetuk kaca mobil, keras lagi. Kamu melamun terus. Ayo memikirkan pacar ya?" Â tanya bunda sambil menepuk bahuku.
"Ikh...bunda kepo,". jawabku sambil menahan malu. Kami berdua tertawa .
"Ayo..kita pulang," ajak bunda kemudian.
*Katanya mau mampir ke penjahit dulu, Bun," kataku mengingatkan bunda.
"O, iya. Bunda lupa, mungkin karena faktor U ya," kata bunda sambil menepuk jidatnya
Aku tertawa melihat tingkah bunda.
"Meskipun bunda sudah tua tapi tetap cantik kok," ujarku menggoda. Bunda menepuk bahuku dan mengajak pergi.
Aku segera menstarter mobil dan berlalu dari pasar seraya menyisakan sesuatu rasa di kalbu...cemburukah aku?
           ****
Pagi ini kampus sangat ramai. Hari ini adalah wisuda bagi para mahasiswa S1 dan pasca sarjana yang sudah lulus. Mereka pasti bahagia karena sudah menyelesaikan studinya walaupun  setelah itu mereka akan berjuang mencari pekerjaan. Banyak mobil luar kota yang berdatangan. Pasti mereka adalah para wisudawan dan keluarganya.
Aku cepat-cepat menuju aula yang akan dipakai buat prosesi wisuda. Aku ambil bagian dalam kelompok paduan suara. Sudah 2 kali wisuda aku berperan dalam kegiatan itu.
Sebelum tiba di aula, aku melewati halaman masjid kampus. Aku melihat ada gadis yang sangat aku kenal. Cinta berbalut gamis warna abu-abu tua dan hijab pink seulas . Dia memang cantik dan lembut. Dia menjadi salah satu panitia bazaar mahasiswa untuk melayani para tamu dan keluarga wisudawan.
Aku berbelok menuju arah masjid untuk menemuinya. Kulihat dia sedang menata hijab yang akan dijual di stand nya.
"Assalamualaikum," sapaku pelan dari jarak yang cukup jauh.
"Waalaikumussalam,"jawabnya pelan sambil berbalik ke arahku," Rupanya kamu Yud."
Kemudian dia berbalik dan menata kembali hijab-hijab itu tanpa menghiraukan ku.
"Cinta, mengapa sikapmu berubah kepadaku?" Â tanyaku agak mendekat.
"Maksudmu Yudha?" Â tanya gadis yang sering bikin aku kangen itu.
"Ya, kamu berusaha menghindari ku terus," ujarku sambil membantunya merapikan standnya.
"Ah, perasaanmu saja," ujarnya singkat,"Sudah sana, bukankah kamu bertugas di dalam?"
Aku melihat arlojiku. Aku masih ingin ngobrol dengan Cinta namun aku takut dimarahi pak Togar karena terlambat datang.
"Ya sudah, aku pergi ke aula dulu. Nanti setelah acara selesai aku menemui lagi," ujarku sambil berlalu.
"Salamnya mana?" Â ujar Cinta sedikit teriak.
"Assalamualaikum!" Â ujarku keras sambil melambaikan tanganku. Aku melihat Cinta tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Senyum yang selalu menyejukkan hatiku.
***
Setelah prosesi wisuda usai, aku segera keluar dari aula. Aku melihat para wisudawan sedang bersuka cita bersama keluarganya. Mereka berfoto ria untuk mengungkapkan kebahagiaan mereka.
Suasana seperti ini memang  terjadi setiap tahun. Kampus menjadi ramai oleh kedatangan para wisudawan bersama keluarganya. Mereka berpakaian macam-macam, ada yang berkebaya, berbaju batik, berbusana muslim dan lainnya.
Kesempatan ini dimanfaatkan para mahasiswa. Mereka ada yang membuka stand Bazaar, ada yang mendirikan panggung pertunjukan musik, ada yang berteater dan sebagainya.
Tahun ini aku absen dari kegiatan-kegiatan itu. Biasanya aku dan beberapa teman mendirikan panggung musik untuk menghibur para wisudawan dan keluarganya. Tahun ini aku memberikan adik-adik tingkatku kesempatan untuk tampil dan melatih mental mereka.
"O ya, aku akan menemui Cinta di standnya," ujarku dalam hati. Aku segera bergegas ke arah halaman mesjid.
"Assalamualaikum," sapaku pada Ani  seorang mahasiswi di sana. Dia menjawab salamku lebih panjang.
"Cinta ada, Ni?" tanyaku sambil mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru stand.
"Cinta baru saja pamit pulang, " jelas Ani sambil memandangku .
"Pulang? Kan acara belum selesai ?" tanyaku heran.
"Entahlah, tadi dia pamit pulang. Katanya akan mengurus  resepsi pernikahan," ujar Ani menjelaskan.
"Resepsi pernikahan siapa, Ni?" aku kembali bertanya. Ani hanya menggelengkan kepalanya.
Hatiku serasa ditusuk duri. Sakit diulu hatiku mendengar penjelasan Ani.
"Apakah Cinta sudah menikah tanpa memberitahu aku?Apakah ini jawaban dari perubahan sikap Cinta kepadaku? Apakah laki-laki yang dilihat Yudha saat di pasar adalah suami Cinta? Mungkin saja karena Cinta berani bergandeng tangan dengan pria itu.
 Selama ini Cinta selalu menjaga sikapnya. Dia tidak mau bersalaman dengan laki-lski yang bukan muhrimnya. Dia juga selalu menjaga pandangan kepada orang lain. Kalau pun aku sering ngobrol dengannya, itu pun tidak berdekatan. Cinta memang wanita idaman setiap laki-laki. Wanita yang selalu menjaga kehormatannya.
"Yudha , mengapa kamu jadi bengong begitu!" suara keras Ani menyadarkanku yang larut dalam luka hati ini.
"Memang Cinta tidak bercerita kepadamu?" tanya Ani lagi.
"Tidak tuh,Ni." jawabku singkat .Lalu Ani permisi karena akan melayani pengunjung yang mulai ramai.
Aku  menelepon Cinta. Siapa tahu dia menjawab teleponku. Tut...tut...tut...suara hand phoneku pertanda orang yang kuhubungi sedang tidak aktif. Aku memutuskan untuk pulang sambil merasakan sesuatu di dadaku. Kecewa...marah...kesal.
***
Langit di Bandung Utara kali ini tampak kelam. Awan hitam menggelayuti sebagian wilayah. Suara guntur terdengar berkali-kali. Wah...pasti sebentar lagi hujan lebat disertai kilat akan datang menemani sore ini.
Aku mempercepat laju mobilku di boulevard Setiabudi. Aku ingin segera tiba di rumah dan berbaring di  kasurku sambil ditemani secangkir kopi panas dan goreng pisang buatan bunda.
Tepat di jalan Cihampelas aku melihat kerumunan orang. Rupanya ada yang terkena musibah. Aku menjalankan mobil pelan-pelan karena jalanan cukup macet juga.
Aku masih sempat melihat kerumunan yang agak terkuak karena ada seorang satpam yang mengusir orang-orang yang berkerumun.
"Sudah..sudah ..bubar tidak perlu jadi tontonan!" teriak sang Satpam itu keras. Â Orang-orang itu mulai meninggalkan kerumunan.
Aku sempat melihat tubuh seseorang yang berhijab sedang dibantu duduk  oleh seorang ibu. Aku sempat melihat wajah gadis itu. Aku seperti kebal dengannya.
"Cinta ! Itu kan Cinta!" ujarku keras. Serta merta aku memijit tombol lampu sen mobilku dan meminta parkir di tempat yang  tidak jauh dari tempat Cinta tergeletak
Setelah aku memarkirkan mobil dengan aman, aku segera berlari ke arah kerumunan tadi.
"Maaf, maaf pak. Permisi, ini teman saya. Biarkan saya membantunya," kataku sambil meminta jalan.
Aku melihat Cinta yang berwajah pucat. Dia masih terlihat lemas.
"Apa yang terjadi,Bu?" Â tanyaku pada perempuan yang berada di sampingnya.
"Tadi si Eneng pingsan. Kepalanya terbentur trotoar. Dahinya berdarah," ujar si ibu sambi memasang perban di dahi Cinta.
"Cinta, kamu baik-baik saja?". tanyaku pelan. Aku terpaksa memegang bahunya," Ayo kita pergi ke dokter ya."
"Siapa kamu?" tanya Cinta sambil memandangku aneh. Dia berusaha menepis tanganku.
"Aku Yudha teman kuliahmu," jawabku meyakinkan. Aku sejenak merasa aneh. Kok Cinta tidak mengenalku. Apakah akibat dia pingsan dan terbentur tadi. Mungkin dia terkena amnesia seperti cerita sinetron yang suka ditonton bunda.
"Maaf, tolong, ibu bisa memapah teman saya ini ke mobil saya," pintaku kepada sang ibu. Si ibu menganggukan kepalanya dan memapah Cinta perlahan menuju mobilku.
Aku melihat Cinta tidak menolak ajakan ku untuk pergi ke dokter. Dia duduk di depan sambil menahan sakit di kepalanya.
Sesampainya di sebuah klinik, aku turun dan meminjam kursi roda. Aku meminta tolong kepada seorang perawat untuk membawa Cinta ke ruangan IGD.Â