Seolah ia tersenyum manis
Mencegah resah menghampiriku
Memecah galau yang menyelubungi hatiku
Rian bersajak seraya menikmati gerimis itu, namun tiba – tiba gerimis itu berubah menjadi hujan yang sangat lebat dan mengguyur tubuhnya.
Byur!!!
Rian terkesiap dari mimpinya dan langsung bangun mendapati tubuhnya basah kuyup. Di hadapannya seseorang sedang tertawa melihat keterkejutannya.
“ Arghhhhh Rain…….. ” Saat sadar dirinya baru saja disiram dengan segayung air, spontan Rian mengejar kembarannya itu. Namun ia kalah cepat, Rain sudah terlebih dahulu masuk ke kamar mandi. Akhirnya dengan muka masam ia menuju dapur.
“ Kamu kenapa Rian?” tanya ibunya heran ketika Rian masuk ke dapur dengan tubuh setengah basah.
“ Apa lagi kalau bukan ulah Rain,” ujar Rian cemberut.
“ Oh, ibu kira kenapa. Sudah sekarang kamu mandi, setelah itu baru sarapan. Hari ini kamu tidak boleh terlambat, kamu ingat kan hari ini ada ujian semester?”
“ Ya ampun, aku lupa bu…..” ujar Rian seraya bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang hanya geleng - geleng kepala melihat tingkah anak pertamanya.
“ Rian mana bu?” tanya Rain ketika tiba di dapur.
“ Dia bergegas ke kamarnya ketika ibu ingatkan tentang ujian hari ini. Oh iya Rain, tadi kenapa kamu menyiram Rian?” Ibunya balik bertanya.
“ Semalam kan ibu pesan supaya aku membangunkannya, tapi ibu kan tidak bilang bagaimana caranya. Karena berkali – kali ku bangunkan tapi ia tetap tidur, ya sudah aku siram saja, ternyata ampuh juga kan cara itu?” Rain tersenyum mengingat ekspresi Rian ketika ia siram.
“ Kalian masih sama saja seperti dulu waktu kecil. Padahal sudah kelas 2 SMA tapi kamu tetap jail dan Rian tetap malas. Aduh, ibu sampai bingung kenapa walaupun kembar kepribadian kalian berbeda.”
“ Sudah bu tidak usah dipikirkan, lagipula memang ibu mau jika kami berdua sama-sama malas?”
“ Tentu tidak. Oh iya, sepertinya Rian lupa kalau hari ini ujian, tentu saja ia lupa untuk belajar. Kamu lihat dia sana!”
“ Baik bu,” Ujar Rain seraya menuju kamar kembarannya.
“ Aduh… Mana buku catatanku?” ujar Rian putus asa seraya mengacak – acak rak buku.
“ Nih,” ujar Rain di depan pintu kamar seraya mengacungkan sebuah buku.
“ Argh Rain, lagi – lagi kamu. Kemarikan buku itu, aku harus cepat – cepat merangkum supaya bisa ku hapalkan dalam perjalanan ke sekolah nanti,” ujar Rian kesal. Namun ketika ia membuka catatannya dan siap untuk merangkum, didapatinya buku itu telah berisi rangkuman semua pelajaran yang akan diujikan. Kekesalannya menguap berganti sebuah senyuman. Ketika ia berbalik untuk berterimakasih pada Rain, ternyata kembarannya itu telah menghilang.
***
“ Kamu mau melanjutkan kemana Rian setelah ini?” tanya Farhan.
“ Entah, kita lihat saja nanti,” ujar Rian sekenanya.
“ Kamu selalu saja santai. Aku kira kamu akan pindah ke Jakarta bersama Rain, karena ku dengar Rain mendapat beasiswa ke universitas negeri di sana,” ujar Farhan.
Rian terkejut mendengar ucapan Farhan, hingga dia hanya diam saja.
“ Kok diam saja? Atau jangan – jangan kamu tidak tahu?”
Bukannya menjawab pertanyaan Farhan, Rian malah pergi meninggalkan Farhan yang kebingungan.
“ Rain mana bu?” tanya Rian sesampainya di rumah.
“Lho, ibu kira dia pulang bersama kamu.”
“ Tidak, di sekolahpun ia tidak ada. Oh iya, ibu tahu soal beasiswa yang didapat Rain dari universitas negeri di Jakarta?”
“ Rain belum memberitahu ibu soal itu, tapi jika memang benar, ibu bersyukur.”
“ Ibu akan membiarkan Rain pindah?”
“ Tentu saja. Sebagai seorang ibu, ibu menginginkan yang terbaik untuk kalian berdua. Walaupun itu berarti harus berpisah sementara waktu hingga kalian menggapai cita – cita.”
Rian lagi – lagi hanya terdiam mendengar pernyataan ibunya. Akhirnya ia beranjak ke kamarnya.
-Malamnya-
“ Rian mana bu?” tanya Rain mendapati ibu hanya berdua dengan ayahnya di meja makan.
“ Dia ada di kamarnya. Sejak pulang sekolah ia mengunci diri di kamar. Ibu khawatir, coba kamu bujuk dia untuk makan. Siapa tahu kalau kamu yang membujuknya, dia mau.”
Tok!Tok!Tok!
Rian bukan tidak mendengar ketukan di pintu, namun ia telah menduga bahwa Rain yang mengetuk. Lama di biarkannya Rain berdiri di balik pintu hingga tak terdengar lagi suara ketukannya. Akhirnya Rian meraih ponselnya.
“ Halo Pak, saya mau mencobanya, kapan waktunya?”
Rian berbicara di telpon dengan seseorang.
“ Baiklah, besok saya ambil formulirnya ke tempat bapak. Terima kasih pak.” Ujar Rian akhirnya seraya menutup telpon.
***
“ Wah, selamat ya bu Ranti, anak – anaknya pintar semua. Mereka berdua selalu berprestasi di sekolah. Oh iya, mereka akan melanjutkan kuliah dimana?” tanya ibu Sinta.
“ Alhamdulillah. Ya saya pun bahagia memiliki anak seperti mereka berdua. Walaupun Rian agak malas, sejak dulu dia selalu cepat mengikuti pelajaran.. Kalau soal kuliah, saya serahkan pada mereka masing – masing, saya tidak akan memaksa,” jawab bu Ranti.
“ Ibu, ayah sudah menjemput,” ujar Rain memotong pembicaraan ibunya. Setelah berpamitan pada bu Sinta, Rain, Rian dan bu Ranti bergegas meninggalkan sekolah usai upacara kelulusan.
***
“ Kamu yakin akan kuliah di Surabaya?” tanya ayahnya.
“ Iya yah,” jawab Rian mantap.
“ Apa kamu tidak ingin melanjutkan ke Jakarta bersama Rain?”
“ Tidak yah, beberapa waktu lalu, pak Anto wali kelasku mengirimkan formulir beasiswa ke sebuah universitas negeri di Surabaya dan ternyata aku lolos seleksi.”
“ Baiklah kalau itu keputusanmu,” ujar Ayahnya akhirnya.
***
“ Rian, kenapa kamu ingin kuliah di Surabaya?” tanya Rain.
“ Aku lulus seleksi dan mendapat beasiswa disana,” jawab Rian tanpa mengalihkan pandangan dari depan komputer.
“ Baiklah, aku juga akan mencoba mencari beasiswa di sana,” ujar Rain.
“ Sudahlah, kamu kuliah saja di Jakarta. Kita sudah sama – sama dewasa dan tak perlu terus bersama – sama,” ujar Rian sekenanya.
“ Apa maksud kamu?” Tanya Rain.
“ Bukankah kamu memang ingin kuliah di Jakarta? Ya sudah, akupun ingin kuliah di Surabaya.”
“ Tapi aku ingin kita kuliah di tempat yang sama Rian,” ujar Rain nyaris putus asa.
“ Tapi aku tidak. Aku bosan jika setiap hari harus bertemu denganmu. Sudah sana kembali ke kamarmu, aku sedang sibuk,” ujar Rian akhirnya. Rain hanya terdiam, ia terkejut mendengar penuturan kembarannya.
“ Rian bosan bertemu denganku, dan tujuan sebenarnya ia ingin kuliah di Surabaya adalah ingin menghindariku,” ucap Rain dalam hati.
***
“ Halo, iya betul…Apa????” bu Ranti berteriak histeris setelah mendapat telpon.
“ Ibu kenapa?” tanya Rian terkejut mendengar jeritan ibunya.
“ Rain….Rain kecelakaan,” ujar bu Ranti sebelum akhirnya jatuh pingsan.
Ayahnya segera memapah ibunya ke sofa sedangkan Rian mematung mendengar kabar itu.
***
“ Maaf jika aku membuatmu bosan. Tapi aku tidak bisa jika harus berpisah darimu. Aku baru saja mendapat kabar ada seleksi terakhir penerimaan beasiswa di universitas yang sama denganmu. Jangan marah dulu, tunggu aku pulang baru kamu boleh meluapkan kemarahan itu langsung padaku :) “
Berulang – ulang Rian membaca pesan singkat yang dikirim Rain sebelum kecelakaan na’as itu. Walaupun sudah tiga hari berlalu sejak kematian Rain, Rian masih merasa bahwa pesan itu baru saja diterimanya. Ia tidak menangis saat mendapati tubuh kembarannya nyaris remuk saat mengidentifikasi jenazahnya di rumah sakit hingga hari ini. Semuanya terasa begitu cepat. Bukannya ia tidak sedih, namun rasa sakit itu justru terlalu dalam hingga semua kata – katanya menguap bersama pilu yang bersarang di hatinya.
“ Jangan mati dulu Rain, aku belum sempat marah padamu dan akupun belum sempat mengatakan kalau aku sayang padamu,” ujar Rian pada pantulan wajahnya di cermin.
***
-1 Tahun Kemudian-
Aku disini masih membaui hujan
Seolah ia mengajakku berkawan
Ku biarkan setiap celah tubuhku
Dicengkeram dinginnya tetesan air itu
Hujan menghilangkan semua resahku
Yang senantiasa membayangiku sejak hari yang lalu
Andai kau disini temaniku menikmati hujan
Seolah senyummu membayang di balik mendungnya awan
“ Ayo masuk, nanti kamu sakit nak,” bujuk wanita berparas ayu itu. Dinaunginya aku dengan sebuah payung ketika ia telah berdiri di sampingku. Aku yang terlalu asyik menikmati hujan lantas terperanjat ketika tetesan air itu berhenti menghujam tubuhku.
“ Ibu….” Hanya kata itu yang mampu ku ucap.
“ Apa yang kamu katakan barusan nak? Coba kau ulangi lagi?” tuntutnya dengan mata berkaca-kaca.
“ Ibu…” Ucapku lirih. Serta merta dipeluknya tubuhku. Tak dihiraukannya tubuhku yang basah.
“ Akhirnya.....Ibu rindu mendengar suaramu nak,” ujarnya seraya mengelus kepalaku.
Tiba – tiba airmata ibu mengingatkanku pada Rain. Pada semua kejailannya juga cita – citanya. Akhirnya, aku ingat semua yang telah terjadi. Tanpa mampu ku tahan, airmataku akhirnya tumpah juga setelah sekian lama. Aku merindukannya…. Aku pun merindukan ibu.
“ Tidak apa – apa nak, menangislah jika itu mampu melepaskan semua dukamu. Itu lebih baik daripada ibu harus melihatmu membisu sekian lama, sejak kematian Rain,” ujar Ibu.
Ku luapkan semua rasa sedih, sakit, kecewa juga rasa bersalahku. Hanya karena kemarahan dan kekeliruanku yang mengira Rain tidak ingin bersamaku lagi, aku harus kehilangan dia. Padahal tanpa sepengetahuanku, ia juga mendaftarkanku dalam seleksi beasiswa di universitas negeri di Jakarta dan kami berdua sama – sama lolos tanpa harus menjalani ujian seleksi. Namun ketika ia ingin memberiku kejutan, justru aku bersikeras untuk kuliah di Surabaya. Hal ini ku ketahui dari Farhan.
“ Aku ingin kuliah dan mewujudkan cita - cita Rain, bu,” ujarku akhirnya. Sebenarnya sejak dulu aku tak pernah tahu ingin jadi apa, sedangkan Rain, dia selalu punya banyak mimpi. Dia ingin menjadi seorang Dokter juga menjadi penulis.
Ketika tak mampu lagi ku dengar suaramu
Ketika tak dapat lagi ku lihat senyummu
Aku takkan pernah membencimu
Sekalipun kau telah pergi meninggalkanku
Justru aku ingin wujudkan mimpimu
Karena ku ingin bahagiamu
Itulah janjiku….duhai belahan jiwaku…