“pulanglah, lusa pernikahan dua adikmu”. Suara telepon diseberang sana.
“ ya... Akan aku usahakan”. Jawabku berat
“jangan lupa bawa calonmu. Malu-maluin aja, perawan tua ya jangan ketuaan” kata itu terdengar sebelum bunyi peringatan tuut tuut..
Pandanganku mengarah kekelamnya malam itu. Taka ada bintang, tak ada hujan, hanya berisik suara dibalik tembok kamar.
Kembali kubuka notebook yang seharian ini sudah menyala 8 jam. Ku ketuk-ketuk toots yang dihadapanku. Satujam, dua jam, hampai akhirnya ku banting kepalaku dia atasnya. Aku tak lagi didepan note bookku. Aku kembali lagi... Lagi lagi ini bau obat... Oh no...
“kau lembur mati-matian lagi?” Matanya menusuk mataku yang masih belum merbuka sempurna
“apa yang akan aku katakan pada ibumu kalau dia telpon lagi” kini matanya benar-bener dipenuhi kaca yang nyaris pecah.
“maaf” hanya itu yang bisa kukatakan
Perjalanan kurag lebih 4 jam dari jogja, letih rasanya, tapi aku anggap ini sebgai refreshing.
“ mana calonmu nduk?”
“ belum ada lek”
“weleh... Iki lo... Anake pak yad durug duwe calon. Ga usah belajar terus, masa depan cewek di tangan suami kok nduk”.
Huh.... Ini sudah terjadi pada angka yang kesekian kalinya. Sudah digariskan oleh mereka gadis usia 17 tahun, baru dapat KTP, langsung nikah... Entah keadaan masih perawan ataukah tidak di usia itu.. Itulah tempatku berada.
“wah.. Mbak sari, kuat kau jadi perawan?” Seyuman kecut mengakhiri ucapannya
Apa yang terjadi pada mereka? Bahkan dalam anganku aku belum pantas kenakan gaun pernikahan. Umurku baru 20 tahun sudah dibilang perawan tua. Bahkan sempat beberapa hari yang lalu aku sempat buka-buka data kampung, faktanya memang 85% adalah SDTT (Sekolah Dasar Tidak Tamat). Bukan karena biaya pendidikan mahal. Kenyataan, pemerintah sediakan beasiswa.
“sinau sek tenan ya mbak, rausah kesusu mbojo. Adhimu kae wes meteng” seorang nenek membuyarkan lamunanku.
Sontak aku terkejut. Oh no...