Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Pancuran Bambu yang Terisi Kembali

5 Januari 2013   14:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28 2472 2

Tentu saja pancuran tradisional seperti itu sudah sering saya lihat sebelumnya. Namun bagi anak saya, barangkali ini memang pemandangan yang pertama. Tidak ingat apakah sebelumnya saya pernah mengajak mereka melihat pancuran seperti itu. Saya memandang ke arah pancuran itu.

Pancuran itu terlihat sangat selaras dengan sekitarnya. Air, batu, bambu, tali ijuk, tanaman liar dan lumpur! Mengingatkan saya akan kedamaian di kampung. Terbuat dari beberapa potong bambu yang terbagi menjadi dua kelompok. Pancuran pertama dan pancuran kedua.

Pancuran pertama, terbuat dari sepotong bambu yang disangga oleh tiga batang bambu yang diikat menjadi satu dengan tali ijuk dan terpancang kuat di dasar kolam. Pancuran pertama selalu menjadi alat pengalir. Seberapa banyakpun yang ia terima, sebanyak itulah yang ia alirkan . Air yang berada di dalam buluhnya hanya secukupnya saja. Dan itupun terus bergerak. Itu yang membuat pancuran pertama itu hidup.

Demikian seterusnya terjadi berulang-ulang secara otomatis. Mekanisme yang sangat menarik!

Apa yang terjadi jika ia kaku dan tidak bergerak menumpahkan airnya sendiri ke sekitarnya ? Tentu saja air baru yang akan masuksegera tumpah sebelum sempat memasuki tabung bambu itu. Tabung itu tak akan pernah siap untuk menerima air yang baru karena terlalu penuh. Karena ia tidak pernah mengosongkan dirinya sendiri. Ooh!

Saya meninggalkan pancuran batu itu danbertanya di dalam hati – Apakah itu juga yang terjadi pada diri kita? Ketika kita membiarkan diri kita penuh oleh rejeki tanpa pernah berusaha menumpahkannya sedikitpun kepada orang lain di sekitar kita?

Ketika kita merasa penuh oleh pengetahuan tanpa berusaha mengalirkannya dan mengosongkan diri kita untuk menerima pendapat, pandangan dan ide-ide orang lain?Barangkali ada saatnya kita juga perlu menyiapkan ‘mental’ kita untuk sesekali merasakan ‘ kosong’ agar kita bisa terisi kembali dengan pengetahuan baru yang memperkaya diri kita.

Barangkali itu juga yang terjadi dengan kesehatan tubuh kita. Ketika tubuh kita terlalu jenuh dengan makanan tanpa berusaha sesekali mengurasnya, tentu kebugaran akan berkurang, aktifitas mulai terbatas dan penyakit akan datang.

Barangkali itu juga sebabnya mengapa kita diajarkan untuk sesekali berderma, berpuasa dan menahan diri. Demi pengosongan dan pengisian kembali oleh mekanisme kehidupan.

Entahlah! Namun pancuran bambu itu telah membuat saya merefleksi sejenak ke dalam diri saya sendiri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun