Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Melawan Arus, Menemukan Ide di Sekitar Kita

23 Januari 2014   12:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 236 0

Kelas Menulis IMPULSE Jogja bersama St. Kartono (1)

“Khas itu tidak mengandalkan bakat, namun jeli melihat sesuatunya…

Bahwa apa yang kita lihat itu istimewa” – St. Kartono

Descartes, seorang filsuf dari Perancis terkenal dengan salah satu ungkapannya yaitu cogito ergo sum yang berarti aku berpikir maka aku ada. Ungkapan tersebut sangat menarik karena Descartes secara tidak langsung mengatakan bahwa jika seseorang ingin dianggap sebagai manusia, maka ia harus terus berpikir. Ketika seseorang tidak pernah berpikir, maka pada hakikatnya ia sama seperti benda mati. Untuk melihat apakah manusia itu berpikir atau tidak, maka jelas dituntut adanya output dari proses berpikir itu sendiri. Salah satu output yang nyata dan saya kira paling mudah diperhitungkan adalah karya berupa tulisan.

Sayangnya, saya cukup lama tidak menulis dalam media apapun baik tulis maupun online hampir setahun belakangan ini. Postingan saya terakhir di kompasiana tercatat pada tanggal 29 Mei 2013. Miris rasanya, padahal semangat menulis sempat terpacu karena tulisan kedua “Refleksi dari Lapas Wirogunan” sempat menjadi headline di kompasiana saat saya baru genap 15 hari bergabung dengan situs ini. Pantaslah saya jika disebut sebagai “bukan manusia”.

Sapaan memulai menulis lagi muncul saat saya secara tidak sengaja melihat poster di salah satu media sosial berisi tawaran mengikuti kelas menulis dari IMPULSE Jogja, lebih menarik lagi bahwa kelas tersebut diampu oleh guru SMA saya saat di De Britto, St. Kartono yang tentunya sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya dalam dunia tulis-menulis. Tanpa ba-bi-bu, saya langsung mendaftar pada seorang teman yang kebetulan menjadi salah satu staf IMPULSE Jogja. Entah mengapa saya dapat begitu cepat memutuskan untuk mengikuti kelas tersebut. Saya hanya melihat kata “menulis” dalam poster tersebut dan meyakini bahwa akan mendapatkan sesuatu dari sana.

Rabu, 22 Januari 2014 di salah satu cafe mitra IMPULSE di timur Tugu Jogja, dimulai kelas sesi pertama, pencarian ide untuk tulisan. Saya begitu bersemangat setelah sebelumnya sempat berpapasan dengan Pak Kartono di parkiran. Masih sama seperti dulu, penulis Buku “Menulis Tanpa Rasa Takut” tersebut tetap terlihat bersemangat dengan raut wajah yang selalu bergairah saat bertemu orang-orang. Saat kelas dimulai pun, beliau membukanya dengan banyolan-banyolan hasil temuannya ketika asyik di dunia tulis-menulis: “Buku menulis itu tipis-tipis, agar kita segera menulis!”. Plaaakkk…! Saya pun seakan tertampar oleh banyolan itu karena teringat berapa banyak buku panduan menulis yang sempat singgah di kamar saya hasil pinjaman perpustakaan kampus.

Sepengalaman saya, menulis memang menjadi hal yang menarik sekaligus memusingkan. Menarik saat kita membayangkan akan banyak orang yang membaca tulisan kita, namun memusingkan saat mencari-cari ide apa yang dapat membuat orang banyak tertarik membaca tulisan kita. Nah, pusing kan? Benarlah bahwa kategori orang hebat yang dikutip Pak Kartono dari salah satu bacaannya adalah berkomitmen, berintegritas, dan siap menderita. Kategori terakhir tersebut yang diungkapkan Pak Kartono menjadi salah satu yang harus dihadapi seorang penulis seperti dirinya.

Ide sebenarnya bisa datang dari mana saja. Pak Kartono menyebutkan bahwa apapun yang ada di sekitar kita dapat melahirkan ide. Kita hanya perlu peka menangkap ide-ide yang tersembunyi tersebut. Namun, perlu diingat bahwa penemuan ide yang sama antara beberapa orang akan dibedakan menurut sudut pandang atau kekhasan masing-masing pribadi. “Khas itu tidak mengandalkan bakat, namun jeli melihat segala sesuatunya. … bahwa apa yang kita lihat itu istimewa”, ujar Pak Kartono. Salah satu contoh yang saya ingat adalah salah satu materi yang diampu Pak Kartono semasa bersekolah di De Britto adalah pidato. Topik pidato yang harus kami, murid-muridnya bawakan bukanlah politik, hukum, atau hal-hal besar lainnya, namun kami diminta membawakan pidato dengan topik ARTI NAMA kami masing-masing. Tidak pernah terbayangkan mungkin di benak kami saat itu bahwa kami punya hal sederhana yang dapat dikemas menjadi sebuah pidato karena memang hanya diri kami sendiri yang punya kredibilitas untuk berbicara tentang arti nama masing-masing. Begitulah, ide muncul dari hal sederhana yang dekat dengan kita, hanya perlu kejelian untuk menemukannya.

Jeli pun tak cukup, apabila orang lain juga cukup jeli melihat ide-ide yang tersembunyi, lalu apa bedanya? Menemukan kekhasan masing-masing itulah yang menjadi kunci. Bagaimana sebuah topik yang sama dikemas dengan sudut pandang yang berbeda atau menempatkan diri dalam posisi yang berbeda dari tulisan lain. Ada orang yang menyebut hal ini dengan istilah “melawan arus”. Dengan “melawan arus” itu pun diakui Pak Kartono dapat membuat sebuah tulisan lolos meja panas redaksi, salah satu contohnya adalah tulisan beliau “Bunuh Diri di Mata Anak-anak” (Kompas, Sabtu, 23 Juli 2005). Dalam tulisan tersebut, Pak Kartono ingin melawan arus pemberitaan dengan melihat bahwa bunuh diri sebagai tindakan yang tidak hanya harus dihindari, melainkan menawarkan solusi yang dapat dilakukan seorang pendidik seperti beliau.

Menjelang petang, kelas menulis sesi pertama itu pun diakhiri. Sungguh, keinginan menulis saya yang sekian lama mati itu kembali muncul. Oleh karena itu, tugas Pak Kartono yang diungkapkannya di awal kelas sebagai “kompor” mulai membuahkan hasil setidaknya dalam diri saya sendiri. Semoga sumbu semangat yang tersulut ini dapat menyala lebih besar, bahkan menyulut sumbu-sumbu lainnya untuk ikut menyala.

Salam,

Niko Shendi

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun