Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Angkringan Parmin

24 Mei 2011   17:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 99 0
“Pak bangun, mbok ya sholat, kasih contoh yang bener buat anak…” Atun, istri Parmin yang masih melingkar di dipan, bersungut-sungut sambil mengibas-ngibaskan kain batik buat selimbut yang dipakai semalam. Bukan sekali ini dia peringatkan suaminya untuk sholat, bukan apa-apa, tapi malu dia sama omongan tetangga kalau suaminya itu tidak pernah terlihat sholat. Apalagi kontrakkan mereka boleh dikata lingkungan yg leket sama ibadah.

“Lah iki aku lagi mencontohkan yang bener sama anak bu, yen segala sesuatu yang tidak ikhlas yo jangan dikerjakan, malah hanya bikin dosa bu…”

“Mbok ya sholat ki dijadikan kebiasaan toh pak”

“Sholat ki hati bu, bukannya kebiasaan, nek hanya sekedar kebiasaan yo jadi hilang maknane…”

“Walah pak, jangan banyak berdalih, malu sama Gusti Allah yang sudah bikin hidup, sudah kasih anak buat bapak ajarin gimana berterima kasih, poyo harus ngasih apalagi Gusti Allah itu supaya bapak ikhlas sholat? Ojo neko-neko toh pak, kasihan anakmu belajar yang nggak-nggak dari bapaknya… mbok ya yang biasa-biasa sajah, seperti orang lain…”

“Lah kalo bapak dulu biasa-biasa sajah seperti orang lain poyo ibu bakalan milih bapak jadi suami?, ora toh? Karena bapak nggak biasa jadi ibu tertarik kan… hehehehe…”

“Mbuh pak, wong ibu ki korban iklan kok!!”

“Lah arep ngendi pak? Sholat?”

“Arep ngumbah kandang burung bu, senam subuh”

“Sholat pak, malu dilihat tetangga kalo nggak sholat…”

“Iya bu, bapak cuma bisa sholat kalo nggak ada yang ngliatin….”

Parmin ini seorang bisnismen menuruti ucapannya, punya gerobak hasil nabung istri yang jadi pelayan kios batik di pasar Beringharjo. Sebelum punya gerobak ya leyeh-leyeh dia menurut pandangan istrinya, seperti orang-orang sukses di Jakarta.

“Apa bapak punya waktu luang?”

“Memang nopo bu? Kok nanyanya kayak mau menghadap penggede?”

“Ya tanya sajah pak, kalau-kalau punya waktu luang mbok ya kerja, apa sajah asal halal”

“Lah iki bapak lagi sibuk mikir je bu, kerjaan opo yang halal buat bapak… lagian kalau mau cari yang halal yo jangan ngasal, halal kok ngasal…”

“Iya pak, yang penting halal”

“Nah begitu lebih benar bu”

Terbetik di dalam pikirannya yang selalu dia kata jenius untuk bikin angkringan, restoran para marjinal istilah keren yang dia dengar dari Ucup, Yusuf nama sebenarnya, pernah sukses di Jakarta jadi tukang ojek. Dimintanya tabungan istri, tapi dia kata ini hanya pinjaman, nanti dia kembalikan.

“Bener loh pak nanti diganti, itu buat ibu beli mas-masan, tabungan buat anakmu sekolah loh…”

“Tenang bu, bapak pasti ganti kalau sudah sukses”

“Ada bunganya loh pak”

“Pasti bu, nanti kalau tidak bisa ganti uangnya ya bapak ganti dengan cinta”

Memang manis mulut Parmin ini, tanpa terlihat, Atun tersenyum, “Matur nuwun sanget Gusti Allah, di kasih suami yang beginian… tidak cemerlang tapi selalu bisa bikin tersenyum ”

Di dorongnya tiap sore gerobak ke tempat mangkal, senyum mekar di bibirnya yang hitam dan gigi-gigi menguning akibat rokok, “duh Gusti, temani aku ya gelar dagangan, biar sholatku ini lebih mantep, ini kalo Gusti punya waktu luang loh… wis tak kasih gratis mau pesan apa sajah rasah mbayar, asal ndak usah ngomong istriku…”

Belum lama Parmin istirahat setelah menata gerobak angkringannya, datang Ucup senyum-senyum dia.

“Opo senyum-senyum Cup?”

“Ndak kok mas, cuma senang saja melihat kanca dewe mulai menuju sukses”

“Ojo ngece toh cup, kowe arep ngopi kok dadak memuji barang…”

“Hehehe… aku lagi kere mas”

“Halah, kene ngombe, ojo tengak-tenguk kayak tukang kredit”

“Hehehe… aku ngutang disek yo mas”

“Rasah di pikir, yen ono rejeki yo mampir neh, yen ra ono yo biar Gusti Allah yang lunasin”

Hari semakin remang, lampu-lampu jalan sedari tadi telah benderang, semakin banyak saja orang yang berseliweran di depan angkringan baru Parmin. Tampak wak Haji datang menghampiri, sedikit menengok kearah tumpukan makanan yang di tata rapih.

“Weh, hebat kamu Min, buka angkringan”

“Waalaikum sallam wak Haji… alhamdulillah berkat ridho Gusti Allah”

“Sukur… sukur… Min, tandanya Allah selalu denger permintaanmu…”

“Tadinya aku minta kerjaan di belakang meja, pake dasi wak…”

“Lah iki wis nyambut gawe neng belakang meja, tinggal pake dasi, kok susah…”

“Kurang sekretarisnya wak Haji”

“Yo satu-satu toh Min, sedikit-sedikit, nanti kalau Allah kasih semua yang kamu inginkan apa iya kamu mampu menanggungnya?”

“Njeh wak Haji, ini saja sudah banyak-banyak bersyukur saya… mbok ya duduk wak Haji, saya bikinkan teh ya wak, gratis…”

“Lah kalau semua yang kamu kenal kamu suruh duduk lalu di kasih minum gratis, apa ya nggak rugi toh Min?”

“Seterategis wak Haji, seterategis bisnis… perkenalan angkringan Parmin”

“Matur nuwun Min, aku ada pengajian di rumah… wis kapan-kapan aku singgah”

“Selipkan sedikit doa buat saya ya wak Haji, biar laris angkringanku…”

“Selalu Min, selalu…”

Malam semakin merangkak, gerobak angkringan Parmin bagai lilin dikerubungi laron, mungkin ini imbas dari Gusti Allah yang duduk di samping Parmin, hangat nyaman didekat anglo. Namanya juga restoran para marjinal, semua memesan minum, teh, kopi, wedang jahe, susu jahe, jeruk anget sambil tidak lupa mencomot dan memilih-milih gorengan. Ada nasi kucing isi sambel teri, ada isi oseng-oseng tempe juga usus bakar.

Semuanya jiwa-jiwa merdeka, setidaknya ingin merasakan merdeka duduk lesehan atau diatas kursi pangjang sambil angkat kaki. Lumayanlah mungkin pikir semua, pesan teh dua ribu perak tapi bisa ngobrol-ngobrol pepesan kosong sampai berjam-jam, tanpa ada yang melirik mengusir.

Di gerobak angkringan Parmin apa saja bisa dibicarakan, dimulai dengan pembangunan masjid.

“Lama sekali jadinya masjid kita ya pak Muh”

“Namanya juga nunggu dana dari masyarakat, ya lama Cup”

“Harusnya macam di Jakarta pak Muh, pengurus masjid teriak-teriak pakai toa masjid ngingetin banyak-banyak beramal buat pembangunan masjid biar tambah banyak rejeki”

“Walah cup, yen ngono yo kayak dagang wae, baru mau nyumbang kalo ada hadiahnya… namanya juga beramal, ya nggak usah mikir apa hadiahnya, itu baru namanya ikhlas… poyo kamu pikir masyarakat sini cah angon opo?”

“Lah buktinya yang nyumbang seret pak Muh, ya karena kurang penerangan yen nyumbang pasti ada pahalanya mungkin”

“jangan ander estimet begitu mas Ucup, mungkin saja rejeki yang Gusti Allah titipkan sama mereka itu di buat untuk beramal yang lain, yang lebih penting, ngasih makan tetangga yang kelaparan atau saudara yang lebih belangsak… masjid bisa menunggu, wong nggak lucu toh yen masjid megah tapi saudara masih lapar… yen ngono masih sanggup kita datang ke masjid terus minta tambah rejeki lagi sama Gusti Allah?”

“Monggo loh pak Muh, di sambi tempe gembusnya…” Ucup nyengir…

Atau pembicaraan diselingi sama kasak-kusuk ngomongin Polisi Pamong Praja yang ngobrak-abrik tempat mangkal para pramunikmat Pasar Kembang.

“Memang sudah tepat sarkem itu di bersihkan, biar semua pelanggannya kembali berakhlak” Kipli sang mahasiswa berapi-api. Nama sebenarnya sih Zulkifli.

“Apa kamu bisa jamin pli kalau sudah di obrak-abrik, semuanya jadi berakhlak?”

“Ya setidaknya mengurangi sumber virus pak De”

“Walah, mosok sama saudara sendiri di bilang virus”

“Nah fungsinya saudara kan untuk saling ingat mengingatkan toh pak De”

“Itu saya paham, tapi jangan lupa jalan keluarnya juga harus ada, mosok wis pada ditendangi tapi nggak ada masukan harus ngerjain apa”

“Banyak kerjaan di dunia ini pak De yang lebih bermartabat ketimbang jadi keple, dagang sembako kek, tani kek, bikin jahitan kek atau kalo mau lebih keren jadi TKW, biar disiksa misalnya tapi lebih bermartabat”

“Sopo sing nggak kepengen punya kerjaan bermartabat toh pli? Poyo mereka itu ada cita-cita pengen jadi keple? Semua sudah diatur sama Gusti Allah, kamu yakin kan kalau Gusti Allah mengatur semuanya? Termasuk mereka jadi keple… tapi karena diberi otak untuk berpikir jadi seharusnya mereka tidak selamanya jadi keple, itu pasti sudah mereka pikirkan, jadi nggak usah pakai diobrak-abrik kayak kirik, wong itu juga saudara sendiri kok, harus berebut makanan karena jatah yang seharusnya mereka punya sudah diserobot demit”

“Tapi kerjaan jadi keple itu nista toh pak De”

“Ukuran nista ki ono ne di tangan Gusti Allah, apa kamu kira selain yang kerjaannya jadi keple itu semuanya tidak nista? Siapa tahu saya yang buka bengkel tv ini dimatamu tidak nista, tapi dihadapan Gusti Allah lebih nista ketimbang keple?”

“Ya ora ngono pak De…”

“Ya wis mas kipli, kita ini sekedar manusia, nggak punya hak menilai orang lain. Banyak orang yang kita anggap kerjaannya nista lebih membuat Gusti Allah bisa tersenyum berkat air mata tulus pada sujud-sujud minta ampun mereka ketimbang kita yang karena merasa berakhlak maka tiap doanya hanya berisi permintaan agar bertambah sesak saja harta di saku celana…”

“Alhamdulillah Gusti, laris untuk hari pertama…” Parmin tersenyum, tak lupa berpikir jika besok-besok begini terus mau tidak mau harus menyebar kabar lowongan kerja buat cari sekretaris dan pakai dasi sesuai keinginannya. Dia tidak berhitung, pamali kata bapaknya dulu kalau menghitung uang malam-malam. “Biar saja itu urusan istri tercinta di rumah, saya hanya propesional, tidak menghitung laba tapi bekerja dengan bijak…” kata Parmin dalam hati.

Walau tak menghitung, di kepalanya telah tersekat ruang-ruang rejeki ini akan kemana, jangan sampai dia terlupa akan titipan rejeki yang juga milik orang lain, bukan karena tergiur akan laba yang semakin bertambah akibat bersedekah, tapi murni takut tidak bisa menjaga kepercayaan dari Gusti Allah.

Kotak kontrakannya begitu sepi, gerobak dimasukkannya dengan pelan agar tidak mengganggu yang sedang terlelap, Sejak dulu memang Parmin takut mengganggu siapapun. Parmin tersenyum, memang Parmin selalu tersenyum, entah sedang senang atau blangsak, membuat hatinya nyaman, itu alasan yang dia katakan kepada istrinya Atun.

Kotak sempit yang mewah… selalu wangi karena banyak cinta disini. Atun terlelap di sudut dipan sebab Sugeng anaknya yang berumur tiga tahun tidur menguasai dipan bak orang merdeka. Atun dalam lelapnya tersenyum, sebab ikhlas dia di sudut dipan demi anak semata wayangnya menikmati kemerdekaan. Sugeng, jangan ditanya… dengan mulut sedikit menganga seperti bapaknya jika tidur terlelap dalam damai.

“Gusti Allah, entah apa ukuran manusia tentang sukses tidak aku perdulikan, sukses itu rasa, dan matur nuwun sanget duh Gusti, aku sejak lama sudah sukses dengan kehadiran mereka berdua ini…” Parmin bergegas mengambil wudhu.

Parmin menangis dalam sujudnya yang panjang, dia menepati janjinya pada istri tercinta, dia sujud saat tidak ada yang memperhatikan kecuali Gusti Allah…

Yogyakarta, Juni 2009

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun