Title :
Inferno Author :
Dan Brown Publisher : Doubleday Year of Publication : 2013 Genre :
Mystery,
thriller,
suspense. Language :
English Membaca karya terbaru
Dan Brown ini, beragam kecemasan dan kekhawatiran muncul di benak saya.
Dan Brown, penulis laris yang menghasilkan jutaan kopi novelnya di seluruh dunia dan terkenal akan kontroversinya seperti pada
The Da Vinci Code dan
Angels and Demons ini seakan masih menjadi mesin pencipta pundi-pundi dollar dalam setiap karyanya. Setelah
The Da Vinci Code dan
Angels and Demons,
Brown juga sempat membuat The Lost Symbol yang juga laris manis. Tak terhindarkan kecemasan dan kekhawatiran itu muncul di benak banyak pembaca dan terutama para kritikus. Saya sendiri menempatkan diri di kedua posisi tersebut. Kekhawatiran pertama muncul pada kemampuan
Brown dalam hal penyajian ‘fakta’ dan ‘kontroversi’ yang telah ditanak sedemikian rupa sehingga terlihat lezat di atas meja. Setelah membaca seluruh karya
Brown, saya khawatir bahwa kekuatan satu-satunya
Brown hanya terletak pada iming-iming ‘fakta’ dalam kemasan karya fiksinya ini. Kehawatiran lain adalah bahwa kemampuan lain
Dan Brown yang diwakili karakter utamanya,
Robert Langdon, dalam hal penyimbolan dan simbolisasi mulai kehilangan makna. Dan kekhawatiran terakhir adalah bahwa
Brown kedapatan memiliki kemampuan yang tidak begitu mumpuni dalam teknik menulis
ups and downs,
suspense, serta intrik karya fiksinya. Cerita dimulai ketika sang karakter utama,
Robert Langdon, terbangun di rumah sakit di Florence, Italia dengan keadaan fisik yang parah. Selain terluka parah,
Langdon juga menderita amnesia. Selama masa untuk mencoba mengingat apa yang terjadi, ia harus berpacu dengan waktu memecahkan beragam simbol sembari diburu oleh pembunuh bayaran dan otoritas. Bersama
sidekick baru dalam novel ini,
Sienna Brooks, mereka harus memecahkan simbol-simbol dan ingatan
Langdon untuk menyelamatkan umat manusia dari
kiamat. Kekhawatiran pertama terbukti selesai saya membaca
Inferno. Pada
The Da Vinci Code dan
Angels and Demons, begitu kuatnya tema fakta dan kontroversi terus berhembus. Mempengaruhi para pembaca untuk ‘tidak sekedar’ membaca karya sastra
Brown ini hanya sebagai karya fiksi belaka. Informasi yang dijual
Brown mengenai intrik, manipulasi dan konspirasi serta ‘kebohongan’ dalam agama secara umum dan Katolik secara khusus (dalam hal ini diwakilkan oleh Vatikan) membuat banyak pihak meradang, banyak pembaca tidak sekedar mejadi pembaca namun juga analis, kritikus, bahkan skeptis. Setiap bagian dari ‘fakta’ mengenai bangunan dan arsitektur, sejarah, tokoh, serta organisasi kerap ditanggapi dengan serius. Sebagai hasilnya, informasi-informasi tersebut di dua karya sebelumnya –
The Da Vinci Code dan
Angels and Demons – menjadi kekuatan karya
Brown. Sayangnya, dalam Inferno, informasi-informasi dengan embel-embel ‘fakta’ tersebut tidak lagi berpengaruh.
Brown yang tanpa diragukan telah melakukan penelitian yang cukup baik dan mendetail mengenai sejarah, bangunan dan arsitektur, tokoh atau organisasi di Florence, Italia dan Istanbul, Turki, yang dimasukkan dalam
Inferno, ternyata akhirnya tidak mampu lagi membuat elemen fakta ini menjadi penting. Fakta-fakta tersebut malah terlalu mmengganggu jalan cerita, dimana kerapkali
Langdon sang karakter utama menyempatkan diri untuk memberikan kuliah. Bila sebelumnya kuliah
Langdon sangat menarik, sekarang kuliah ini menjadi kosong dan tidak perlu. Bahkan kebiasaannya menyentil otoritas Vatikan menjadi sangat garing, tidak lucu, dan tidak lagi bersifat ofensif. Sepertinya
Brown tidak memiliki amunisi yang cukup selain fakta dan kontroversi. Kekhawatiran berikutnya adalah pada penyimbolan dan simbolisasi yang merupakan elemen kuat lainnya dalam novel
Brown yang mengikutsertakan dosen dan ahli simbologi,
Robert Langdon. Kemampuan
Brown dan
Langdon nya dalam menjelaskan dan memecahkan beragam kode dan simbol harusnya sangat menarik. Hanya saja dalam
Inferno, simbol-simbol tersebut harus kehilangan makna. Keberanian
Brown dalam menggabungkan penerjemahan simbol-simbol
Inferno (bagian dari
epic poem atau sajak-sajak dalam
The Divine Comedy) karya
Dante Alighieri yang diterjemahkan dalam lukisan
Boticelli,
La Mappa dell’Inferno, dengan isu
birth control,
overpopulation atau ledakan populasi sebenarnya perlu dihargai. Kecerdasan
Brown menggabungkan
The Black Death dengan isu lingkungan hidup diharapkan menjadi ‘kontroversi’ lainnya.
Well, ladies and gentlemen, it failed! Simbol-simbol terus kehilangan maknanya. Perlahan-lahan simbol-simbol menjadi teracuhkan. Simbol dan informasi fakta yang terus digeber
Brown di sepanjang alur cerita menjadi seakan tempelan yang berlebihan dan
irritating. Sebagai hasilnya kedua elemen tersebut bila sedikit dihilangkan mungkin malah akan membantu jalan cerita. Sialnya, dilema muncul pada kekhawatiran saya yang terakhir. Bila elemen simbol dan fakta dikurangi, jalan cerita akan terbantu karena tidak selalu diganggu dengan penjelasan-penjelasan yang tidak perlu. Namun, bila kedua elemen dikurangi, novel ini juga tidak berharga. Pada kenyataannya,
Dan Brown bukanlan penulis cerita
suspense dan
thriller yang ulung. Tekniknya kalah jauh dibandingkan dengan
Tom Clancy,
John Grisham,
Michael Chrichton,
Stephen King, atau
James Patterson. Ketegangan dan klimaks yang diciptakan selalu memiliki formula yang serupa. Bahkan saking serupanya pembaca tidak merasakan keterkejutan dan ketegangan lagi. Satu
clue mengarah ke
clue yang lain, satu simbol membuka sibol lain. Seperti menonton film
National Treasure, namun dengan arah yang dapat ditebak. Secara pribadi saya terlalu sering
skip bagian-bagian informasi yang tidak terlalu penting (penggambaran denah, arsitektur, dan sejarah remeh-temeh) untuk mengejar klimaks dan arah cerita. Inferno bukan sama sekali buruk, bukan sama sekali tidak bagus, hanya saja tidak memuaskan dan lemah dalam banyak sisi.
Brown berhasil menjadi novelis dengan penjualan yang terus-menerus di daftar atas. Ia berhasil menciptakan gaya nya sendiri bersama fakta dan kontroversi serta simbol dan
Langdon nya. Ia pun telah mengumpulkan para penggemar setia yang dengan semangat selalu menunggu aksi
Langdon dan serial petualangannya. Namun ada baiknya
Brown mulai berpikir mengenai pola dan formula karya-karyanya selain fakta dan kontroversi. Karena bila simbol-simbol kehilangan makna, yang tersisa hanya cerita tanpa arti.
KEMBALI KE ARTIKEL