Suatu hari saat aku lewat depan rumahnya aku melihatnya sedang menyapu halaman rumah, tak ku lewatkan momen indah untuk menikmati wajah ayunya sampai puas. Tak sadar aku tersenyum-senyum sendiri melihat wajah anggunnya, dan hatiku pun bergetar saat ia menyunggingkan seulas senyum dari bibirnya yang indah. Lantunan salam terdengar merdu dari sapaan lembutnya. Aku pun membalas dengan salam yang senada. Sejak itu aku merasa duniaku indah dengan kehadiranya dalam dunia hayalku. Dan ternyata sebuah keajaiban terjadi padaku, ia mengirimkan surat untukku berisi ungkapan hatinya yang di titipkan salah satu santri yang ngaji di pesantren. Entah apa yang membuatnya suka padaku. Aku tak memiliki wajah yang tampan. Aku hanyalah pemuda yang kurang pendidikan agama, anak petani pula. Sedangkan ia adalah gadis keturunan kiai yang sangat mafhum dengan masalah ilmu-ilmu agama. Aku adalah orang abangan, sedang ia orang putih. Perbedaan antara kami sangatlah jauh, bagai langit dan bumi. Namun perbedaan itu tidak meruntuhkan kejadian pernikahan kami.