Hehe… Aneh.
Saya bilang aja, “Bagaimana kalau saya pinjam dulu, nanti potong penghasilan/gaji”, dia bilang tidak bias.
Ternyata kejadian semacam ini bukan hanya di internet. Sudah tersebar luas bahkan orang-orang desa sudah sangat tahu kalau untuk menjadi guru swasta di kotaku harus bayar 5-6 juta, bahkan lebih. Apalagi untuk menjadi guru negeri.
Di Negara Finlandia, siswa bisa menikmati pendidikan gratis. Di sini, calon gurunya pun tidak gratis. Bahkan, ibu di Finlandia yang baru melahirkan anak mendapat bantuan dari pemerintah, seperti gaji untuk memenuhi pendidikan anaknya. Wah, hebat.
Pendidikan.
Sekolah.
Lembaga kursus.
Dan semacamnya.
Dulu, khususnya di desa, anak-anak diwajibkan belajar agama di musholla dan madratsah. Pelajarannya adalah ilmu ahlak/tata krata dan ilmu tata cara beribadah, serta kalau boleh saya sebut ilmu terapan budaya. Keberhasilan pendidikan saat itu ditentukan oleh perubahan perilaku anak didik. Sementara untuk survive, kyai dan ustadz sering mengingatkan untuk menjadi orang jujur agar dipercaya orang untuk diminta jasanya. Saat itu kami diajari berwira usaha, kadang diajak ke sawah belajar bertani, atau disuruh jual buah dan semacamnya agar kami tahu berdagang.
Kemudian hal tersebut berubah. Pendidikan agama dianggap tidak mampu membuat masyarakat menjadi kaya, tidak bisa menjadi pegawai karena tidak punya ilmu administrasi dan semacamnya. Bahkan sekolah madratsah diberi buku Matematika dan kawan-kawannya, padahal kami sudah sekolah SD di pagi harinya.
Sedikit-demi sedikit pun budaya berubah. Kata-kata “Orang berilmu itu mulia” berubah menjadi “Orang kaya dan mempunyai jabatan itu mulia”, mungkin karena pejabat bisa korupsi dan semacamnya. Dulu di madratsah dan musholla, kami sering menjalani konsekwensi karena tidak belajar, berdiri di depan kelas ketika tidak bisa mengerjakan tugas seperti praktek ibadah/tidak hafal ayat dan semacamnya. Ketika ada masyarakat yang lapor ke ustadz bahwa salah seorang dari kami berperilaku tidak sopan di desa, misalnya, lari-lari saat banyak orang duduk dan tidak bilang permisi, kami pun harus menjalani konsekwensi.
Artinya apa, saat itu kami memang benar-benar belajar, benar-benar meningkatkan kualitas diri. Begitu juga saudara-saudara yang di pesantren. Mereka benar-benar meningkatkan kualitas diri.
Sekarang, di pendidikan formal, keberhasilan kami ditentukan oleh angka yang ditulis oleh guru/dosen. Faktanya, siswa-siswa dan rekan-rekan mahasiswa semester akhir, banyak yang kebingungan, sebabnya, skil yang mereka miliki sangat sedikit. Padahal biaya kuliah tidaklah sedikit. Kenapa bisa demikian? Saya alami sendiri, Sekolah formal, termasuk kampus, sejauh yang saya tahu, hanyalah “formalitas”.
Pendidikan formal tidaklah seratus persen salah, kebaikannya patutlah disyukuri. Tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Mungkin saya keliru, tetapi hati saya mengatakan, kami telah dirubah dari seorang “Pelajar” menjadi seorang “Penipu” terhadap diri sendiri. Berbangga-bangga dengan angka, sesuatu yang bahkan bisa dinego, atau ditebus dengan tugas tambahan bila angkanya tidak sesuai harapan. Benarkah angka itu sesuai dengan standard pencapaian belajar?
Kemana pendidikan agamaku yang dulu? Apakah kurikulum yang berkarakter akan memulai lagi.
Dulu kami tidak bisa membohongi ustad atau kyai, karena yang menilai adalah masyarakat. Kami tidak perlu menunjukkan ijasah, perilaku kami adalah bukti. Sekarang, kami bisa meraih gelar sarjana bisnis atau sarjana ekonomi meskipun sebenarnya masih bingung/menganggur dan tidak punya pekerjaan. Banyak sekolah kejuruan, banyak fakultas dengan spesifik ilmu, tetapi hasilnya kebanyakan lulusan-lulusan yang kebingungan. Mereka bingung karena di sekolah sudah terbiasa dengan budaya bohong. Kebiasaan tersebut terbawa hingga ia hidup bersama masyarakat, suka lewat pintu belakang.
Sewaktu kuliah, banyak sekali tugas dari dosen, biasanya membuat makalah atau laporan. Tetapi tidak jelas, agar menjadi seperti apa kami setelah mengerjakan tugas tersebut. Bahkan ada dosen yang mengaku, katanya hanya akan dibuang saja nantinya.
Ijazah pun sudah menjadi barang dagangan.
Dulu kami sering diingatkan bahwa berfikir itu imbalannya lebih baik dari sembahyang seribu rakaat, bagi umat islam. Itu artinya, kami harus menjadi seorang “Pembelajar”, bukan “Penipu”. Dulu kami didorong untuk tekun membaca, karena itu perintah agama. Memang, yang dianjurkan hanya membaca kitab suci, tetapi itu adalah motivasi agar kami mencintai buku, agar kami gemar membaca. Sekarang, tidak membaca pun bisa mendapat nilai bagus, asal dekat sama yang berhak menulis angka.
Mata ini menyaksikan banyak generasi yang akhlaknya tidak bagus dan tidak punya skill, hanya bukti belajar berupa ijasah yang mereka miliki.
Saya juga melihat, beberapa pesantren yang juga sudah berubah. Tidak perlu saya sebutkan seperti apa perubahannya.
Saya hanya ingin mengabarkan bahwa dulu kami benar-benar dididik untuk menjadi seorang pembelajar.