"...
pancen wolak-waliking jaman, amenangi jaman edan. Ora edan ora kumanan. sing waras padha nggagas, wong tani padha ditaleni, wong dora padha ura-ura. beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha Ratu ora netepi janji, musna kuwasa lan prabawane. akeh omah ndhuwur kuda wong padha mangan wong. kayu gligan lan wesi hiya padha doyan dirasa enak kaya roti bolu yen wengi padha ora bisa turu" (Serat Joyoboyo) (sungguh zaman gonjang-ganjing menyaksikan zaman gila. Tidak ikut gila tidak dapat bagian. yang sehat pada olah pikir, para petani dibelenggu, para pembohong bersuka ria. beruntunglah bagi yang lupa, masih beruntung yang ingat dan waspada raja tidak menepati janji, kehilangan kekuasaan dan kewibawaannya. banyak rumah di atas kuda, orang makan sesamanya. kayu gelondongan dan besi juga dimakan, katanya enak serasa kue bolu malam hari semua tak bisa tidur) (Serat Joyoboyo) --------------------------------- Paragraf di atas adalah sepenggal ramalan tersebut ditulis oleh Joyoboyo, seorang Raja Kediri yang hidup pada abad-11 M. Ia adalah seorang raja yang adil dan dari trahnya diturunkanlah raja-raja Majapahit hingga Mataram Islam. Ia identik dengan ramalan-ramalannya tentang Nusantara di masa depan, salah satunya tentang '
Wolak-walik ing Jaman' atau Jaman Edan. Ramalan yang ditulis 10 abad lalu itupun satu demi satu terbukti. Lihatlah tayangan berita, makin hari berita korupsi sudah seperti makanan sehari-hari, bahkan sudah dianggap seperti budaya. Semua berusaha untuk mengamankan bagiannya sendiri-sendiri, tak peduli sikut kanan kiri. Orang jujur seringkali menjadi musuh bersama, bahkan tak jarang dikriminalisasi karena tak mau diajak kompromi. [caption id="" align="alignleft" width="200" caption="gambar diunduh dari google"][/caption] Salah satu dari sedikit sosok yang tak mau kompromi ini adalah walikota Surabaya terpilih, Tri Rismaharini, yang akrab dipanggil Risma. Nama perempuan bersahaja kelahiran Kediri, 1961 ini sudah melekat di benak publik Surabaya karena prestasinya yang sukses merubah Surabaya yang semula lekat dengan
image panas, gersang dan kotor menjadi hijau, nyaman dan bersih. Karirnya mulai mencuat sejak ia ditunjuk sebagai Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan di tahun 2005. Risma bukan tipe pejabat yang hanya duduk di belakang meja, ia tak segan-segan langsung turun ke lapangan. Di mobilnya selalu ada perlangkapan pertamanan, pakaian ganti dan sandal jepit. 4 kali sehari ia mengitari kota, pergi dan pulang melalui jalan yang berbeda. Jika ada yang tak beres, ia tak ragu untuk membersihkan sampah, memotong rumput dan mengeruk selokan dengan tangannya sendiri. Ia nyaris tak pernah lepas dari
Handy Talky (HT), cara kerjanya menuntut para petugas-yang juga memegang HT- harus siap 24 jam untuk memperbaiki taman, dan penerangan jalan yang rusak atau hilang. Kerja kerasnya langsung terlihat, hanya dalam 1 tahun masa kepemimpinannya, volume sampah kota yang semula berkisar sekitar 265.000 meter kubik/ bulan, berkurang menjadi 161.000 meter kubik/ bulan. Tak hanya itu, kompasianer yang warga Surabaya pasti sudah merasakan sendiri perubahan drastis wajah kota menjadi asri, teduh dan hijau. Lahan-lahan bekas SPBU kini dijadikan taman dan ruang terbuka hijau. Dengan bermodalkan dana Rp 6 Miliar, kini lahan eks SPBU tersebut telah berubah menjadi Taman Pelangi, Taman Prestasi, Taman Lansia, dll. Tempat pejalan kaki diperbaiki agar lebih nyaman dan disapu tiap petang hari. Sikap tegas Risma sempat membuat karirnya tersendat. Di tahun 2002, ia pernah tiba-tiba diganti saat menjabat sebagai Kabag Bina Bangunan Pemkot Surabaya. Saat itu ia melakukan terobosan dalam pengadaan barang dan jasa melalui sistem
Electronic Procurement Service (e-Proc). Dengan sistem yang mendapat sertifikat ISO tsb, lelang tender dapat dilakukan secara lebih transparan, efektif dan efisien. Sebelum itu pun ia juga membuat sistem
e-budgeting dan
e-controlling dalam penyusunan APBD, sehingga kegiatan proyek pemerintah dapat dipantau secara detail lewat internet. Hal ini untuk menekan kemungkinan korupsi dan mark up dalam proses pengadaan barang di lingkungan Pemkot Surabaya.
Track recordnya yang bersih dan sarat prestasi akhirnya membuat ia dipinang sebagai calon walikota, berpasangan dengan Bambang D.H., yang telah 2 kali menjabat sebagai walikota. Pasangan Risma-Bambang akhirnya menang dalam pemilihan dengan perolehan suara sebesar 38,53 %. Baru menjabat 4 bulan, Risma mendapat tantangan berat. Kali ini datang dari DPRD Surabaya.
Ia dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik karena cuplikan komentarnya yang ditulis dalam artikel "
Repotnya Menolak Kompromi" yang dilansir Kompas Cetak tanggal 18 Januari 2011: "
Masak setiap event di DPRD harus ada uang. Saya harus ambil dari mana? Saya tidak mau menggunakan anggaran tidak sesuai dengan prosedur,” kata Risma, yang menyatakan tidak pernah menggunakan sepeser pun dana operasional selama menjabat sebagai wali kota. Walaupun akhirnya
pengaduan DPRD ini ditolak , cobaan belum berhenti. Ia kini tengah diperiksa menyusul pemberlakuan Perwali Nomor 56 dan 57 tahun 2010 tentang kenaikan pajak reklame dan penolakannya pada rencana pembangunan tol tengah kota. Mengenai kebijakannya yang menaikkan pajak reklame, menurutnya kedua perwali tsb diturunkan semata-mata untuk memberi jaminan keamanan pengguna jalan, memberi keadilan dan untuk penataan. Risma mencatat sejumlah reklame besar yang roboh dan memakan korban sejak 2004-2008. Untuk itu 2 perwali ini diharap bisa mengatur pemasangan reklame agar memperhatikan estetika dan keamanan masyarakat. Menurut Kadin Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Surabaya, Soehartojo, kenaikan tarif reklame ukuran kecil nilainya rendah sedangkan ukuran besar kenaikannya tinggi. Selain itu, nilai strategis juga menjadi acuan kenaikan tarif, reklame-reklame besar di titik-titik strategis dikenakan pajak berlipat. Kebijakan inipun menuai protes dari DPRD (?) karena kenaikannya tarif dinilai terlalu besar. Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana bersikukuh bahwa peraturan tersebut telah mengganggu perekonomian Surabaya, karena makin besar biaya untuk reklame, beban biasa yang ditanggung pengusaha makin tinggi. Risma membantah, ia berargumen bahwa titik reklame besar di Surabaya hanya 8,8 %, dan pendapatan daerah dari reklame akan naik dari Rp 8,82 Miliar menjadi Rp 12,38 miliar/ bulan. Isu yang juga tak kalah panasnya adalah tol tengah kota yang direncanakan akan menghubungkan Waru, Sidoarjo hingga Perak, Surabaya. Polemik ini begitu panas sehingga membelah opini masyrakat dan media. DPRD mendukung rencana pembangunan ini, sedangkan
Risma dengan tegas menolak. Pembangunan tol yang direncankan akan menelan biaya sekitar Rp 9 Trilliun ini dinilai sebagai keputusan yang mubazir karena saat ini Pemkot Surabaya sedang membangun jalur lingkar timur dan barat. Pemkot juga menganggap tol tengah tidak mengatasi masalah kemacetan, justru menambah macet di pintu-pintu keluarnya. Pembangunan tersebut juga diperkirakan akan menggusur sekitar 4500 rumah atau 18.000 warga. Wacana pembangunan tol ini sebenarnya bukan hal baru. Ia pertama kali ditiupkan sekitar tahun 1996, namun akhirnya ditinggalkan dengan alasan pihak investor yaitu PT. Margaraya Jawa Tol (MJT) dinilai tidak sanggup untuk meneruskan proyek. Akhirnya rencana pembangunan tol tersebut tidak lagi dimasukkan dalam rancangan tata ruang wilayah provinsi Jawa Timur. Namun rencana tersebut tiba-tiba mencuat kembali saat DPRD Surabaya menerima presentasi tol tengah dari PT. MJT yang digelar secara tertutup bulan Desember lalu. Ada apa sebenarnya di balik presentasi tertutup itu? Mengapa tiba-tiba DPRD begitu bernafsu untuk menggolkannya? Ketua DPRD Wishnu Wardhana mengatakan bahwa mereka mendukung pembangunan tol tengah. Menurutnya, tujuan dibangunnya tol tengah tsb adalah untuk mengatasi persoalan kemacetan yang sering terjadi di jalan protokol. Selain itu, biaya pembangunan tol tengah kota akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak investor, sedangkan Pemkot Surabaya hanya membantu pelaksanaan pembebasan lahan. Sementara itu guru besar tata kota Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Johan Silas memaparkan bahwa
Surabaya tak membutuhkan tol tengah kota untuk mengurai kepadatan lalu lintas. Pasalnya, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sudah membangun frontage road dan jalur lingkar lingkar timur maupun barat. Pemerhati tata kota dari UK Petra, Ir. Benny Purbantanu juga mengatakan bahwa pembangunan tol tengah kota akan semakin mendorong kepadatan dalam kota. Menurutnya, lebih baik merevitalisasi rel kereta api peninggalan belanda ketimbang membangun tol baru. Gelombang penolakan dari masyarakat pun meluas, warga tidak sudi digusur. Pertemuan kubu anti tol tengah dengan ketua DPRD yang berlangsung Desember lalu pun diwarnai adu mulut. Elemen 'Masyarakat Surabaya Menggugat' (MSM) yang dikoordinir Prof. DR. Daniel M. Rosyid mempertanyakan kerbersikerasan dewan yang dianggapnya tidak aspiratif. Tanggal 29 Desember lalu di Balai Pemuda Surabaya berlangsung pengumpulan koin sebagai
simbol penolakan pembangunan jalan tol . Menurut warga yang menolak, pembangunan tsb hanya akan menguntungkan investor. Warga pun meragukan janji investor yang mengatakan tidak akan merugikan warga selama proses penggusuran. "Sering korban hanya mendapat uang muka ganti rugi, sementara sisanya sangat susah ditagih." ujar Abdurrohman, warga Krembangan. Di tengah kencangnya goyangan, Risma tidak bergeming. Ketua DPRD Surabaya menuding
Risma melakukan pembangangkangan. DPRD bahkan mewacanakan
pemakzulan walikota karena dua isu panas ini. Jika rekomendasi dewan tidak dituruti, maka pemakzulan tinggal menunggu waktu. Tanggal 24 Januari 2011, terjadi
unjuk rasa penolakan tol tengah di depan gedung DPRD Surabaya. Massa yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Surabaya (Gemas) menuntut Ketua DPRD Surabaya Wisnu Wardhana untuk turun dari jabatannya. Politisi Partai Demokrat tsb dinilai telah mencederai hati warga. Warga pun juga menolak pemakzulan terhadap Risma. Bagaimanakah kelanjutan dari kisah panas ini? Akankah Risma lagi-lagi terjegal karena menolak kompromi? Semoga tidak, amat disayangkan jika kita harus menambah panjang daftar insan-insan bangsa berintegritas yang terdepak karena konflik kepentingan. Di tengah kondisi bangsa yang kian hari kian menyedihkan, saya jadi berandai-andai apa yang kira-kira Joyoboyo lakukan jika saja ia bisa menyaksikan betapa ramalannya telah menjadi kenyataan. Sumber tambahan:
http://de2ndchance.blogspot.com/2010/06/tri-risma-harini-rismaharini-bikin_28.html http://antarajatim.com/lihat/berita/52737/politisasi-tol-tengah-surabaya http://www.kaskus.us/showpost.php?p=332064887&postcount=54 http://cafestudio8.blogspot.com/2010/11/menyimak-transformasi-manusiawi-kota.html http://www.surya.co.id/2010/12/05/risma-yakin-alasannya-diterima.html
KEMBALI KE ARTIKEL