Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Meretas Asa di Negeri Sakura (bagian II)

29 Juli 2010   13:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 264 0
[caption id="attachment_209908" align="alignleft" width="225" caption="shidare zakura (dokpri)"][/caption] Tulisan ini adalah kelanjutan dari cerita sebelumnya.

----------------------------------------

Toyohashi, 3 Januari 2008, 13:00

Botol-botol solvent dengan noda kekuningan di nozzle-nya diletakkan di atas meja. Hari ini adalah group meeting pertama kami di awal tahun. Fujiki-sensei menegur kami semua dengan cukup keras. “Ini adalah pekerjaan yang sangat ceroboh! Warna kuning ini jelas berasal dari benzoxazine (zat yang saya sintesis). Solvent ini diperlukan oleh semua orang untuk sintesis dan sekarang jadi tercemar... “ beliau memandang tajam ke arah saya, saya menunduk. “Saya himbau pada semua untuk lebih berhati-hati dalam bereksperimen, atau produk reaksi kalian jadi tidak berguna karena telah tercemar zat lain.“

--------------------------------------------------------------------

15 Januari 2008, 15:00

Untuk pertama kalinya saya presentasi progress penelitian. Saya gugup setengah mati, slide telah saya persiapkan sejak seminggu yang lalu. Dibanding milik member-member lain, slide-slide saya sangat ‘cupu ’ dan terlalu banyak kalimat. Miyazaki dan Fujiki-sensei tersenyum-senyum, saya tidak paham arti senyum itu.

Pertanyaan demi pertanyaan mereka lontarkan. Tak satupun bisa saya jawab. Saya lelah menjawab “I don’t know sensei..

Miyazaki-sensei pun berujar: “Niji, adalah tugasmu sebagai seorang scientist untuk bisa menjawab semua fenomena dalam hasil eksperimen. Lakukan semua pendekatan ilmiah yang mungkin. Jika yg ini tidak berhasil, cari cara lainnya. Kamu tidak akan bisa kemana-mana jika terus-terusan menjawab ‘I don’t know’. You must know!!!” kata-kata itu menghujam saya.

Saya mengkerut dan memberanikan diri bertanya, “Pendekatan seperti apa yang harus saya lakukan, sensei?”

“Pikirkanlah sendiri, itu tugasmu!” ketusnya.

Dan semenjak itu jawaban-jawaban serupa seringkali saya terima. Tak ada konsultasi. Pertanyaan berbalas pertanyaan. Diskusi berbalas tugas. Mendung menggelayut. Saya bingung, pusing, sedih. Tak ada yang bisa membantu saya karena tiap member memiliki topik yang berbeda. Tak ada yg bisa saya lakukan sembari terus mencoba, membaca sambil terus berdoa. Sekarang saya tidak ada bedanya dengan member-member lain. Datang jam 9 pagi, kuliah sampai jam 4 sore, kemudian berjibaku di lab hingga jam 11 malam, sabtu-minggu pun saya datang ke lab jika kebetulan hari senin berikutnya adalah giliran saya untuk jadi pesakitan‘.

Dalam hati saya sering merasa iri dengan teman-teman lain yang mendapatkan pembimbing yang sabar dan baik hati, yang mau berdiskusi dan memberikan solusi ketika kita terjebak pada persoalan riset. Apalagi jika kebetulan masuk ke lab yang 'kaya' karena banyaknya proyek. Baru masuk, 1 unit komputer baru berikut meja kerja sudah disediakan. Saya, boro-boro komputer baru, meja yang saya tempati adalah meja logam yang sudah mengelupas di sana-sini, kursi yang saya duduki adalah kursi geser tua yang terlalu pendek sehingga sering membuat saya sakit punggung, dan saya harus bersempit-sempit menempati ruangan dengan 20 member lain. Ketika saya masuk, ruangan kami tidak punya pemanas maupun AC. Akibatnya bisa ditebak, di musim dingin kami  harus memakai mantel walaupun di dalam ruangan, dan di musim panas kami tak ubahnya cacing kepanasan.

Baru 2 bulan saya di lab ini, perlahan-lahan rasa sesal mulai menyelusup. “Untuk apakah saya harus meninggalkan semua kemapanan dan kenyamanan hidup di Indonesia, memulai lagi semuanya dari nol, jika harus menghadapi persoalan rumit yang entah darimana harus saya selesaikan, dengan pembimbing yang lebih memosisikan diri lebih sebagai majikan ketimbang pengayom?”

Beberapa kali saya merutuki kesialan saya, “Salah jurusan, salah pembimbing, salah keputusan!!“ umpat saya. Di saat-saat sulit itu, saya berusaha sebisanya untuk tidak menangis, tidak menceritakan kesulitan saya pada siapapun. Eksperimen kimia organik adalah hal baru buat saya, dan sebagaimana anak kecil yang belajar mengendarai sepeda, saya berkali-kali jatuh dan gagal. Kerap kali saya pulang larut malam dengan badan lelah tanpa hasil apapun kecuali kebingungan,”Mengapa eksperimen saya gagal lagi hari ini? Apa yang salah? Apa yang harus saya lakukan untuk memperbaikinya?”

----------------------------------------------------------

Toyohashi, Juni 2008

Tak terasa 6 bulan telah berlalu. Sedikit demi sedikit, penelitian saya mulai menampakkan hasil. Namun ada satu hal yang terus menganggu saya. Saya terus-terusan gagal membuat bentuk produk yang ditugaskan sensei, thin polymer film.

Topik penelitian saya adalah membuat engineering plastic jenis baru. Sebuah plastik yang khusus dikembangkan untuk aplikasi di suhu tinggi. Jika plastik biasa akan meleleh pada suhu 160oC, material saya harus mampu bertahan di kisaran suhu 300oC. Selain itu ia harus kuat, fleksibel, memiliki thermal stability yg tinggi dan mudah diproses. Untuk aplikasi microelectronic, saya harus membuat lembaran-lembaran plastik setebal 50-80 micron untuk bahan pelapis PCB (printed circuit board).

Namun apa daya, lembaran-lembaran plastik yang saya hasilkan selalu mengecewakan dan tak jelas bentuknya. Bukan saja tebalnya tidak rata, namun selalu bopeng, hitam, dan berlubang-lubang persis permukaan bulan. Tak terhitung sudah berapa ratus lembaran film gagal yang telah saya buat. Karena tak kunjung menunjukkan hasil menggembirakan, hampir di setiap group meeting, Miyazaki-sensei selalu berwajah masam pada saya.

bersambung

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun