Sudah cukup lama cuti menulis, akibatnya feelling menulis jadi agak hilang. Tapi tak apa, untuk membuka kembali, saya buat tulisan singkat ini. Tentang hujan. Hujan, satu dari sedikit nikmat Tuhan yang diberikan kepada umat manusia. Tapi, hujan juga bisa berubah menjadi malapetaka. Dengan hujan, manusia merasakan kesejukan, tumbuhan tumbuh berkembang, dan binatang mendapat tambahan suplai air minum. Tetapi ketika banjir datang, siapa yang tidak merana? Bahkan sekadar air menggenang di jalan beberapa sentimeter saja manusia mengeluh. Apalagi jika genangan air hujan itu menyiprat mengenai pakaian dan wajah manusia. Lebih besar dari itu, warga Jakarta sudah tentu merasa was-was jikalau hujan turun Kali Ciliwung akan meluap. Di lereng Gunung Merapi wilayah Magelang, Sleman, dan Klaten, masyarakat yang tinggal di pinggir sungai pasti khawatir hujan akan meluapkan material lahar dingin melampaui kapasitas sungai. Untuk itulah, sebagai manusia yang beriman, sepantasnyalah jikalau hujan datang mereka berdoa kepada Tuhan mereka agar diturunkan hujan yang bermanfaat. Meminta kepada Tuhan agar memberi hujan yang memberi kehidupan, bukan hujan yang mebinasakan. Bagi umat Islam, tidak sepatutnya jika suatu daerah dilanda kekeringan mereka mengadakan ibadah shalat minta hujan (istisqa’), tetapi ketika Alloh akhirnya berkenan menurunkan hujan mereka malah lupa diri dan tidak bersyukur. Tidak pantas pula bagi seorang muslim yang mengeluh kepanasan ketika panas terik, tetapi ketika hujan ia juga tidak bersyukur malah menyalahkan hujan membuat sekujur tubuhnya kebasahan atau menghalangi menjalankan aktivitas hariannya. Maka Islam mengajarkan doa yang sangat singkat namun sarat makna, agar manusia senantiasa bersyukur, dan agar manusia tetap ingat akan ke-Maha-Besar-an Tuhannya di waktu hujan. Doa tersebut sebagaimana diajarkan Rasulullah Saw kepada Aisyah Radhiallahu ‘anha berbunyi, “Allaahumma Shoyyiban Naa’fiaan.”, yang artinya, "Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.” (Shahih al-Bukhari, Kitab al-Istisqa`, Bab Ma Yuqalu Idza Amtharat, 2/518, no. 1032). Tentu saja manusia, tanpa terkecuali saya, pasti pernah merasakan pengalaman pahit-manis dengan diiringi turunnya air hujan dari langit. Sebagaimana saya di masa kecil yang selalu dilarang keras oleh ibu saya bermain hujan-hujanan. Atau di masa remaja (SMP) mendapat kejutan saat sedang berjalan menembus hujan tiba-tiba datang teman sebaya perempuan menghampiri dan memayungi saya (ups, tidak usah panjang-panjang ceritanya). Dalam pertemanan saat kuliah, perjalanan wisata menembus hujan dengan sepeda motor sudah berkali-kali saya rasakan bersama kawan-kawan: di deretan pantai Gunungkidul, pegunungan Kulonprogo, air terjun Magelang, sampai Tawangmangu. Apapun itu, marilah kita berusaha untuk selalu mengingat Tuhan, termasuk di kala hujan. Berdoa agar hujan yang turun menjadi hujan yang bermanfaat merupakan wujud rasa syukur yang sangat sederhana namun jauh lebih mulia daripada menggerutu sambil menunggu hujan reda. Wallohu a’lam.
KEMBALI KE ARTIKEL