Harinya datar… Bangun pagi jam setengah enam, mengeluh sejenak lalu sembahyang shubuh dikerjakannya sambil menggerutu. Jam empatan matanya sudah melek, tapi berat untuk mengangkat badannya hingga terang matahari benar-benar ia rasakan. Sebangun tidur kamarnya dibiarkan berantakan. Buku-buku berjumlah belasan yang sebagian besar pinjaman perpustakaan dibiarkannya berhamburan di kasur. Maksud hati agar sebelum tidur ia membaca buku-buku itu, nyatanya yang terjadi hanya ia memindahkan tempat tidurnya dari kasur ke karpet. Buku-buku itu nyaris tidak ia sentuh kecuali sedikit sekali.
Ia beranjak keluar kamar, menuju ruang tamu rumahnya. Dengan enaknya ia merampas koran langganan yang sedang dibaca ayahnya. Ibunya yang sejak pagi buta sudah terjaga kemudian menawarkannya sarapan. Namun ia mengacuhkannya sambil mengatakan nanti saja. Kakak iparnya yang perempuan sudah berbusana rapi siap berangkat bekerja. Sedangkan dia, membaca koran sambil menyalakan televisi sebagai sambilan. Rambutnya masih berantakan, matanya masih sayu, dan bau keringatnya bertebaran.
Ketika pagi sudah menjelang siang, ia kembali ke kamar. Sadar jika ada sesuatu yang harus ia kerjakan. Leptop ia nyalakan, tapi sejurus kemudian ia bimbang. Ia tahu harus mengerjakan sesuatu, tetapi ia tidak tahu bagaimana mengerjakannya. Apa mau dikata, buku-buku yang seharusnya menjadi pegangannya tidak sempat ia baca. Akhirnya ia mengetik sekadarnya, mengandalkan ingatan minimal dan pemahamannya yang serampangan. Dua-tiga paragraf terlampaui ia jenuh, merasa lelah. Ia putuskan untuk membersihkan badan sambil memikirkan rencana lain.
Matahari hampir tepat di atas kepala. Sembahyang Luhur ia tunaikan, kali ini di masjid. Ia memang orang biasa, tapi dalam urusan sembahyang ia tidak nyaman kalau tidak di masjid (terkecuali sembahyang Shubuh). Di masjid 100 meteran dekat rumahnya itu, sepi dari pemuda di siang hari. Dua sebab, pertama memang pemuda sepantaran dirinya tidak banyak yang terbiasa ke masjid, dan kedua sebagian besar dari mereka sudah bekerja meskipun tidak banyak yang bergelar sarjana. Ingatan seperti itu membuatnya semakin galau. Selepas Luhur ia mengepaki barang-barangnya, leptop dan beberapa buku lalu bergegas pergi dari rumahnya.
Ternyata tujuannya tidak jauh, cuma kampus yang jaraknya 3 kilometer dari rumahnya. Di jalan ia merenung. Sudah 4 tahun lebih ia mendiami kampus itu, ternyata masih betah juga. Teman-temannya satu per satu sudah mulai meninggalkannya, ayah-ibunya pun sudah berkali-kali mengingatkan bahkan memperingatkannya, tetapi masih saja ia menikmati hari-harinya sebagai mahasiswa. Tapi yang benar saja mahasiswa? Kuliah di kelas sudah tuntas dilakoni, tetapi titel sarjana belum diraih. Statusnya mengambang, ibarat teorimanzilah baynal manzilatain Washil bin Atha’, tokoh Mu’tazilah di masa-masa awal Islam di Timur Tengah. Kedudukan diantara dua kedudukan. Secara lahiriah masih mahasiswa, tetapi secara faktual pengangguran. Sudah tidak mengikuti materi perkuliahan di dalam kelas, tetapi tidak sungguh-sungguh menekuni studi mandiri. Masih lebih elit sarjana menganggur, sudah punya titel. Mahasiswa menganggur? Memalukan.
Di perpustakaan kampus ia menyalakan leptopnya kembali. Berharap hawa intelektual perpustakaan mengantarkannya lebih fokus dengan kewajiban terakhirnya sebagai mahasiswa. 5-10 menit ia masih bisa fokus, walau sekadar fokus memikirkan, bukan mengerjakan. Lama kelamaan rasa jenuh, pusing, dan tidak tahu harus berbuat apa menghinggapinya. Akhirnya ia melarikan diri dengan koneksi wifi. Halaman jejaring sosial menjadi hiburan utamanya. Situs-situs berita olahraga semangat ditelusurinya. Terkadang, mesin pencari menjadi wahana pelipur gundah hatinya. Ia tekuni itu sampai waktu Asar tiba. Masih untung ia punya hati, tidak lupa diri mengingat Ilahi.
Selepas Asar kegalauannya berlanjut. Kalau beruntung bertemu teman, setidaknya ia bisa menghibur diri bersama temannya yang sama-sama masih berjuang itu. Jika tidak? Ia lanjutkan kegamangannya sampai maghrib, dengan ditemani hujan lebih seringnya. Selepas maghrib ia pulang ke rumah, dengan tangan hampa. Tidak membawa uang, tidak pula membawa kemajuan. Makan malam ia menyendiri, sebisa mungkin jangan sampai ditanya ayah-ibunya. Isya’ ia kembali ke masjid dekat rumahnya. Kali ini ia bertemu beberapa kawan seumurannya. Jika beruntung, sebelum sembahyang bercengkerama santai bercanda-canda. Jika tidak? Pertanyaan klasik, kapan status mahasiswa ditanggalkan.
Selepas Isya’, ia kembali mengurung diri di kamar, ber-refleksi. Ia sadar, ia tidak bisa selamanya begini terus-menerus. Tiba-tiba ia terngiang kata-kata dosennya. ”Anda kurang gigih, anda kurang gigih, anda kurang gigih!” Ia diam sejenak, merenung. Tapi ia sadar, itu bukan untuk direnungkan. Itu harus diubah. Kalau sayur kurang garam, tambahkan garam, jangan tidak jadi memakan sayur itu. Sama halnya jika kurang gigih, berusahalah untuk lebih gigih, jangan lantas membenarkan bahwa ia memang bukan orang yang gigih. Ia tersentak, dalam hati ia berkata, ”Saya harus berubah, saya seorang yang gigih, saya seorang pejuang!” Namun, renungannya terhenti seiring terpejamnya mata. Esok pagi setelah membuka mata, ia sendiri yang akan menjalani harinya. Apakah membuktikan tekadnya, atau sekali lagi mengingkarinya? Wallohu ta’ala a’lam.
-sebuah dramatisasi, renungan mahasiswa semester akhir-