Indonesia bukan seperti Mesir yang bisa memenjarakan wartawan asing (Australia) bila hasil peliputan beritanya dianggap menyudutkan negara itu. Bagi wartawan good news is bad news. Semakin banyak berita buruk tentang suatu negara dipublikasikan semakin menaikan pamor si wartawan / lembaga media tempat si wartawan itu bekerja, semakin laku beritanya dijual. Wartawan asing khususnya yang dari Australia yang akan meliput berita di Indonesia dihormati warga dan pemerintah setempat, tapi sangat disayangkan berita / hasil liputan mereka lebih banyak mendiskreditkan Indonesia. Padahal mereka diperlakukan dengan baik selama meliput. Seakan mereka tidak peduli dengan perlakuan baik yang mereka dapatkan selama meliput di Indonesia. Sebagai contoh hasil peliputan tentang “What Really Happens in Bali” yang ditayangkan Channel TV 7 setiap Senin, bagi saya wartawan yang meliput maupun tingkah sebagian turis Australia yang berlibur di Bali dalam serial ini benar-benar arogan dan merendahkan budaya / kearifan lokal Bali. Hasil liputan serial ini menimbulkan reaksi keprihatinan dari pengusaha jasa travel dan jasa penerbangan komersial serta masyarakat Australia yang biasa berpesiar ke Bali. Peliputan serial dokumenter ini dianggap mendramatisir kehidupan sebenarnya di Bali. Kenapa wartawan tersebut tidak meliput saja kehidupan malam para turis atau warga lokal yang bermaksiat, mabuk-mabukan, premanisme bikies di King Cross atau night clubs atau kejahatan yang sering terjadi di Sydney atau kota besar lainnya atau kecelakan yang rutin terjadi di highway-highway di Australia. Sepertinya serial tv ini berlaku pribahasa "kuman diseberang lautan tampak, tetapi gajah dipelupuk mata tidak terlihat"...