Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Maraknya Penceraian akibat Pernikahan Dini

24 Desember 2024   12:10 Diperbarui: 24 Desember 2024   13:56 82 1
A. LATAR BELAKANG
Dinamika sosial masyarakat merujuk pada perubahan, perkembangan, serta interaksi antar individu dan kelompok dalam suatu masyarakat. Fenomena ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari nilai, norma, perilaku, hingga struktur sosial yang mempengaruhi kehidupan sosial sehari-hari. Masyarakat adalah entitas yang terus bergerak, berkembang, dan beradaptasi dengan perubahan zaman, baik itu perubahan yang bersifat internal maupun eksternal. Dinamika sosial masyarakat sudah terjadi sejak manusia pertama kali hidup dalam kelompok. Seiring berjalannya waktu, masyarakat manusia mengalami transformasi besar, dari masyarakat berburu dan meramu menjadi masyarakat agraris, industrial, hingga masyarakat post-industri atau digital yang kita kenal sekarang. Setiap tahap perkembangan tersebut membawa serta perubahan dalam pola hubungan sosial, nilai budaya, serta sistem ekonomi yang ada di masyarakat.
Dinamika sosial masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang saling berinteraksi. Faktor internal meliputi nilai, norma, struktur keluarga, dan interaksi antar individu dalam masyarakat, yang membentuk pola perilaku serta hubungan sosial. Faktor eksternal, seperti perubahan teknologi, globalisasi, urbanisasi, dan kebijakan pemerintah, turut mempengaruhi perubahan sosial dan pola kehidupan masyarakat. Di Indonesia, keberagaman etnis, agama, dan budaya menjadi faktor penting dalam dinamika sosial, yang dapat menjadi potensi maupun tantangan dalam menjaga keharmonisan.
Dinamika sosial berkaitan dengan keluarga karena dinamika keluarga merupakan bagian dari dinamika sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dinamika sosial masyarakat terkait keluarga terjadi sebagai respons terhadap berbagai faktor, seperti perubahan ekonomi, teknologi, urbanisasi, globalisasi, dan perkembangan nilai budaya. Dinamika keluarga dapat memengaruhi cara remaja memandang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia. Dinamika keluarga juga dapat memengaruhi hubungan, perilaku, dan kesejahteraan mereka.
Dinamika keluarga dapat berbeda-beda dalam setiap keluarga, meskipun ada beberapa pola umum. Dinamika keluarga dapat membantu dan tidak membantu.
C. PEMBAHASAN
Keluarga memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk sikap dan kepribadian anak. Lingkungan keluarga bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang akan mempersiapkan anak sebagai penerus generasi yang berpendidikan. Melalui interaksi dalam keluarga, anak diajarkan untuk mengembangkan karakter yang baik, jiwa sosial, sikap yang beradab, serta keterampilan yang akan bermanfaat di masa depan. Oleh karena itu, sangat penting bagi keluarga untuk memiliki pemahaman yang baik mengenai pendidikan, karena merekalah yang menjadi teladan dalam membentuk pribadi dan perkembangan anak.
Dalam sebuah keluarga, orang tua berperan sebagai pendidik utama bagi anak-anak mereka. Peran ini sangat penting karena orang tua adalah sumber pendidikan pertama bagi anak. Sebagai teladan, mereka menjadi role model yang akan ditiru oleh anak-anaknya. Oleh karena itu, pola asuh yang diterapkan haruslah memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Perkembangan anak bukanlah proses yang terjadi secara otomatis; ia dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari faktor bawaan, lingkungan, kematangan fungsi psikis, hingga aktivitas anak yang bersifat aktif dan bebas. Anak memiliki kemampuan untuk memilih, menolak atau menyetujui, serta mengalami emosi yang beragam (Suryani dan Widyasih, 2010). Salah satu faktor determinan dalam perkembangan anak adalah lingkungan keluarga, di mana mereka memperoleh pembelajaran penting yang akan membentuk kehidupan mereka di masa sekarang dan mendatang.
Kepribadian seorang anak sangat dipengaruhi oleh kondisi keluarga. Ketika sebuah keluarga memiliki hubungan yang harmonis, perilaku anak cenderung baik; sebaliknya, ketidakharmonisan dapat berdampak negatif pada perilaku mereka. Keharmonisan dalam rumah tangga adalah harapan setiap pasangan suami istri yang telah melangsungkan pernikahan.
Pernikahan memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pernikahan adalah pintu gerbang untuk membentuk sebuah keluarga, yang merupakan unit terkecil dari masyarakat. Keluarga tersebut umumnya terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.
 
Tujuan pernikahan tidak hanya sebatas memenuhi kebutuhan biologis. Lebih dari itu, pernikahan juga mengandung makna yang lebih dalam, yaitu memberikan fondasi bagi kehidupan yang penuh kasih sayang. Dengan demikian, individu dapat merasakan ketenangan baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Untuk mencapai tujuan mulia ini, sangat penting bagi calon mempelai untuk memiliki kedewasaan dan kematangan, baik secara fisik maupun emosional, sebelum melangsungkan pernikahan. Kematangan tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan cita-cita perkawinan dengan baik, tanpa memikirkan kemungkinan perceraian, serta mendukung lahirnya generasi yang baik dan sehat.
Namun, di tengah perkembangan zaman, menjaga keharmonisan dalam keluarga menjadi tantangan tersendiri bagi banyak pasangan. Salah satu faktor penyebabnya adalah ketidaksiapan dalam membina rumah tangga, yang sering dipengaruhi oleh usia pasangan yang masih terbilang muda saat menikah. Dengan demikian, pernikahan dini bukan hanya berdampak pada pola asuh anak, tetapi juga dapat memengaruhi keharmonisan dalam keluarga.
Pernikahan dini menjadi salah satu isu sosial yang terus terjadi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Di balik pernikahan yang terjadi pada usia muda, terdapat berbagai persoalan yang kompleks, mulai dari kurangnya kesiapan mental, tekanan sosial, hingga konsekuensi serius seperti perceraian.
Pernikahan dini  yaitu  pernikahan yang berada di bawah batas  usia dewasa   atau pernikahan   yang   melibatkan   satu   atau   dua pihak yang masih anak-anak. Undang-undang (UU) yang mengatur pernikahan di Indonesia adalah UU Nomor 16 Tahun 2019, yang berlaku sejak 15 Oktober 2019. UU ini menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun, baik untuk pria maupun wanita. Adapun  menurut  Badan  Kependudukan  dan  Keluarga Berencana Nasional usia ideal untuk menikah adalah minimal 20 tahun bagi seorang perempuan dan 25 taun bagi laki-laki.  Batas  usia  tersebut  dianggap  sudah  siap  menghadapi kehidupan keluarga yang dipandang dari sisi kesehatan dan perkembangan emosional. Namun, celah hukum berupa dispensasi nikah sering kali digunakan oleh keluarga untuk menikahkan anak di bawah umur dengan alasan tertentu.
Dispensasi nikah diberikan oleh pengadilan agama atau pengadilan negeri dengan mempertimbangkan alasan mendesak seperti kehamilan atau faktor tradisi. Sayangnya, penggunaan dispensasi ini justru mempermudah praktik pernikahan dini, meskipun bertentangan dengan hak anak yang diakui secara internasional. konsekuensi dari pernikaan dini yaitu risiko melahirkan secara prematur dan bayi dengan berat badan rendah. Wanita yang menikah di usia dini sering kali menghadapi periode yang lebih panjang di mana mereka berpotensi hamil, sehingga angka kelahiran pun meningkat.
Selain itu, perkawinan yang terjadi pada remaja dapat berujung pada rendahnya kualitas keluarga. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan psikologis dalam menghadapi tantangan sosial dan ekonomi rumah tangga. Mereka juga sering tidak siap secara mental untuk menjalani hidup berumah tangga dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Semua faktor ini dapat menyebabkan kegagalan dalam pernikahan dan meningkatkan risiko kematian ibu, terutama bagi calon ibu remaja yang belum siap untuk menghadapi proses kehamilan dan persalinan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pernikahan dini di Indonesia masih tergolong tinggi, terutama di wilayah pedesaan. Pada tahun 2022, terdapat lebih dari 1,2 juta kasus pernikahan dini yang dilaporkan. Dari jumlah tersebut, hampir 30% pasangan mengalami perceraian dalam lima tahun pertama pernikahan.
Penyebab Pernikahan Dini :
1. Tekanan Budaya dan Tradisi. Dibeberapa daerah, pernikahan dini dianggap sebagai cara menjaga kehormatan keluarga. Contohnya, di komunitas tertentu, anak perempuan yang belum menikah di usia tertentu dianggap “malu” bagi keluarga.
2. Faktor Kemiskinan. Keluarga dengan tingkat ekonomi rendah sering kali melihat pernikahan dini sebagai cara untuk mengurangi beban finansial. Dengan menikahkan anak, mereka berharap tanggung jawab ekonomi akan berpindah ke pasangan anak mereka.
3. Kehamilan Tidak Direncanakan. Kehamilan di luar nikah menjadi alasan utama banyak pasangan muda menikah. Meski dianggap sebagai solusi, pernikahan dini justru sering memicu konflik dalam jangka panjang.
4. Minimnya Edukasi. Kurangnya pemahaman tentang kesehatan reproduksi, tanggung jawab dalam pernikahan, dan risiko pernikahan dini membuat banyak remaja serta orang tua tidak menyadari dampaknya.
5. Tekanan Sosial. Lingkungan sosial yang menganggap pernikahan dini sebagai “hal yang wajar” atau bahkan “prestasi” turut mendorong fenomena ini.
Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi :
Dari sisi psikologi, menikah di usia muda memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental pasangan. Berikut adalah beberapa penjelasannya:
1. Belum matang secara mental. Remaja yang menikah dini sering kali belum memiliki kemampuan mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara dewasa. Akibatnya, perbedaan pendapat kecil dapat berubah menjadi konflik besar.
2. Stres dan Depresi. Beban tanggung jawab yang berat, terutama bagi perempuan muda yang harus mengurus rumah tangga dan anak, dapat memicu stres berkepanjangan hingga depresi. epresi yang terjadi dapat beragam. Bagi orang berkepribadian introvert, maka menyendiri, menjauh dari lingkungan, memendam sendiri masalah menjadi pilihan ketika depresi terjadi. Berbeda dengan orang yang cenderung extrovert. Mereka akan membicarakan masalah yang dihadapi dan mencoba mencari pelampiasan untuk meredakan kekesalan yang terpendam.
3. Perasaan Kehilangan Masa Remaja. Pasangan muda sering merasa kehilangan masa remajanya karena harus segera beralih ke peran sebagai orang dewasa. Ini dapat menimbulkan rasa frustrasi yang memengaruhi hubungan mereka.
Pandangan Agama tentang Pernikahan Dini :
Sebagian masyarakat mendasarkan keputusan pernikahan dini pada ajaran agama. Namun, penting untuk memahami bahwa banyak ajaran agama juga menekankan pentingnya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi sebelum menikah. Contohnya, dalam Islam, meskipun tidak ada batasan usia spesifik untuk menikah, syarat utama adalah kesiapan pasangan untuk menjalankan tanggung jawab pernikahan. Oleh karena itu, para ulama sering menganjurkan penundaan pernikahan hingga seseorang benar-benar siap secara lahir dan batin.
 
Dampak negativ pernikahan dini yaitu sebagai berikut :
1. Peningkatan Kemiskinan. Pernikahan dini sering kali menyebabkan pasangan keluar dari sekolah, sehingga membatasi peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini berkontribusi pada siklus kemiskinan yang sulit diputus.
2. Beban pada Sistem Kesehatan
Anak-anak yang lahir dari pernikahan dini sering kali memiliki risiko kesehatan lebih tinggi, seperti berat badan lahir rendah atau masalah perkembangan. Hal ini membebani sistem kesehatan negara
 
3. Kehilangan Potensi Generasi Muda
Remaja yang menikah dini kehilangan peluang untuk mengembangkan potensi mereka, baik di bidang pendidikan maupun karier. Akibatnya, masyarakat kehilangan generasi yang produktif.
4. Pendidikan Menjadi Terhambat. Ketergesaan menuruti hawa nafsu untuk memiliki pasangan halal justru bisa menjadi bumerang bagi pelaku pernikahan usia dini. Pasalnya, pendidikan mereka dapat terhambat. Masa depan mereka kehilangan cahaya. Terutama untuk laki-laki yang harus memikirkan cara untuk mencari nafkah dan menanggung anak serta istrinya. Alhasil, pendidikan pun terabaikan sebab keinginan untuk belajar sudah tidak ada lagi.
5. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Emosi yang masih labil membuat anak di bawah usia 17 tahun mudah marah dan berusaha mencari pelampiasan dengan melakukan kekerasan terhadap anak maupun istri. Tidak jarang, barang-barang di rumah habis terbanting ketika emosi tengah menguasai. Maka, bisa dikatakan pernikahan untuk anak di bawah dapat menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Lantaran emosi mereka belum stabil dan masih mudah goyah.
Belum ada pegangan kuat yang dapat mengendalikan amarah ketika tengah menguasai. suaminya, maka beban orang tua sedikit terangkat. Namun, hal itu justru menjadi beban baru bagi suaminya dan kehidupan pernikahan anak mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi terlantar dan kurang kasih sayang serta perhatian. Sebab, orang tuanya sibuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga yang terus meningkat setiapharinya.
 
6. Terjadi Perceraian Karena Usia Belum Matang. Pola pikir yang belum matang dalam menyelesaikan masalah, dapat berujung pada pertengkaran berulang. Akibatnya, perceraian tidak dapat dielakkan. Hal ini membuat angka perceraian rumah tangga di Indonesia pun semakin meningkat. Bahkan, tidak jarang orang tua masih banyak ikut campur ketika anak mereka yang menikah di usia dini mengalami masalah dalam rumah tangga, yang berdampak buruk bagi kelangsungan pernikahan si anak.
7. Dapat Menyebabkan Penyakit HIV. Masa pubertas yang penuh keingintahuan dan rasa penasaran menjadikan pelaku pernikahan di bawah umur tentu ingin mencoba hal-hal baru. Namun, keinginan itu tidak didasari pengetahuan dan komunikasi yang tepat. Akibatnya, dapat menimbulkan penyakit HIV yang muncul karena aktivitas seksual yang dilakukan
8. Resiko Meninggal. Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun memiliki kemungkinan dua kali lebih besar.
9. Meningkatnya Angka Kematian Anak. Dari penelitian juga menunjukkan jika seorang ibu di bawah umur akan cenderung melahirkan bayi yang cacat atau memiliki gangguan kesehatan. Selain itu, ibu yang melahirkan pada usia dibawah 18 tahun juga memiliki peningkatan sebesar 60% mengenai kematian pada bayi dan bahkan memberikan pola asuh salah pada anak karena terbatasnya pengetahuan sifat keibuan dalam psikologi.
10. Muncul Pekerja Di Bawah Umur. Menanggung beban istri di usia remaja, menjadikan kaum lelaki yang menikah di bawah usia 18 tahun harus pontang-panting mencari pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, semakin banyak muncul pekerja anak yang masih dibawah umur.
Meskipun pernikahan dini sering dikaitkan dengan berbagai dampak negatif, ada beberapa pihak yang menganggap ada dampak positif tertentu dalam kondisi tertentu. Namun, penting untuk dicatat bahwa manfaat ini biasanya bergantung pada konteks budaya, sosial, dan ekonomi, serta adanya dukungan yang memadai. Berikut beberapa dampak positif yang sering dikemukakan:
1. Mengurangi beban orang tua, karena dengan menikahkan anaknya maka semua kebutuhan anaknya akan di penuhi oleh suami, dan bahkan orang tua berharap beban ekonominya juga akan dibantu.
2. Mencegah kemaksiatan, seperti terjadinya perzinahan atau kumpul kebo dikalangan remaja, dengan menikah kan anaknya orang tua akan merasa tenang, karena perzinahan atau bahkan hamil diluar nikah di kalangan remaja tidak akan terjadi.
3. Penyelesaian Konflik Sosial. Dalam beberapa budaya, pernikahan dini dianggap dapat menyelesaikan konflik sosial atau ekonomi, misalnya untuk melindungi kehormatan keluarga.
4. Mempercepat Kemandirian. Pembelajaran tanggung jawab, dengan menikah muda, seseorang mungkin belajar lebih awal tentang tanggung jawab keluarga, seperti mengelola rumah tangga dan mendidik anak.
Meningkatkan peran dewasa, dalam beberapa kasus, pernikahan dini dianggap mempercepat transisi ke fase dewasa.
Pernikahan dini, baik yang dilakukan secara terpaksa maupun tidak, sering kali menimbulkan tanggapan negatif di kalangan masyarakat. Meskipun ada beberapa dampak positif dari pernikahan dini, seperti upaya untuk menghindari perilaku remaja yang tidak diinginkan, dampak negatif yang muncul cenderung jauh lebih signifikan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kemampuan dan kemandirian yang diperlukan dalam menjalani sebuah pernikahan. Oleh karena itu, penting untuk mempertimbangkan keputusan ini dengan sangat matang.
Contoh Nyata Kasus Perceraian akibat Pernikahan Dini :
Kasus 1: Siti dan Andi (Jawa Tengah, 2021) Siti, 16 tahun, menikah dengan Andi, 18 tahun, karena tekanan keluarga setelah Siti hamil di luar nikah. Namun, pernikahan mereka hanya bertahan dua tahun. Konflik finansial dan ketidakcocokan menjadi alasan utama perceraian.
Kasus 2: Fitri dan Arman (Sulawesi Selatan, 2020)
Fitri menikah pada usia 17 tahun karena tradisi di desanya. Pernikahan mereka berakhir dengan perceraian dalam waktu tiga tahun karena tekanan dari keluarga besar yang terus-menerus mencampuri urusan rumah tangga mereka.
 
Mengatasi pernikahan dini memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai pihak, seperti keluarga, masyarakat, lembaga pendidikan, serta pemerintah. Beberapa cara yang dapat dilakukan:
1. Peningkatan Pendidikan dan Kesadaran. Edukasi Orang Tua dan Anak dengan memberikan pemahaman kepada keluarga tentang dampak negatif pernikahan dini, seperti risiko kesehatan, pendidikan, dan ekonomi.
Pastikan anak-anak, terutama perempuan, mendapatkan pendidikan minimal hingga SMA. Pendidikan memberikan mereka pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan. Serta memberikan Pendidikan Seksual dan Reproduksi yaitu Ajarkan remaja tentang kesehatan reproduksi, pentingnya menunda pernikahan, dan cara mengambil keputusan yang bijak.
2. Memperkuat Aturan Hukum dan Pastikan undang-undang tentang usia minimum pernikahan ditegakkan dengan ketat. Di Indonesia, usia minimum untuk menikah adalah 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan (UU No. 16 Tahun 2019). Serta Pemberantasan Perkawinan Anak melalui Kerjasama dengan aparat hukum untuk mengurangi praktik pernikahan dini melalui mediasi dan pengawasan.
3. Program Bantuan untuk Keluarga. Kurangi tekanan ekonomi keluarga dengan memberikan bantuan sosial, sehingga anak tidak perlu menikah untuk meringankan beban keluarga. Peluang Kerja untuk Orang Tua meningkatkan kesempatan kerja bagi orang tua agar mereka bisa menghidupi keluarga tanpa perlu menikahkan anak mereka di usia dini.
4. Pendekatan komunitas libatkan tokoh masyarakat, pemimpin agama, dan lembaga adat untuk mengubah norma budaya yang mendukung pernikahan dini.
Pendekatan spiritual dengan  mengajarkan nilai-nilai agama yang mendukung pendidikan dan kesejahteraan anak sebelum menikah.
5. Konseling untuk Remaja dan Orang Tua. Berikan akses konseling untuk membantu keluarga memahami dampak pernikahan dini dan mengatasi tekanan sosial.
Program Pendidikan Seksual. Ajarkan remaja tentang kesehatan reproduksi dan pentingnya merencanakan masa depan. Dengan kolaborasi berbagai pihak dan pendekatan yang berkesinambungan, pernikahan dini dapat dicegah dan kualitas hidup anak-anak dapat ditingkatkan.
D. PENUTUP
Pernikahan dini yang marak terjadi di masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pendidikan, ekonomi, pengaruh orang tua, adat setempat, hingga faktor dari dalam diri individu itu sendiri. Banyak orang tua yang memperbolehkan anak-anak mereka menikah di usia muda dengan anggapan bahwa pernikahan akan mengurangi beban tanggung jawab mereka.
Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh pasangan yang menikah di usia dini turut berkontribusi pada fenomena ini, karena mereka sering kali tidak menyadari dampak yang akan dihadapi akibat menikah di usia yang masih muda.
Padahal, ada berbagai konsekuensi yang menyertai pembentukan rumah tangga pada usia yang belum dewasa. Pasangan yang menikah di usia dini cenderung belum memiliki kedewasaan atau kematangan psikologis yang diperlukan untuk menjalani kehidupan berumah tangga.
Kedewasaan adalah aspek penting dalam membangun sebuah rumah tangga. Begitu seseorang memasuki dunia pernikahan, mereka tidak lagi dapat bertindak sembarangan dalam mengelola emosi, seperti kemarahan atau kecemburuan yang berlebihan. Tingkah laku semacam itu dapat memicu perselisihan yang tak berujung, muncul dari ketidakdewasaan kedua belah pihak.
Ketidakselarasan yang berkelanjutan ini bisa menciptakan suasana tidak harmonis dalam rumah tangga dan bahkan berpotensi berujung pada perceraian. Selain ketidakmatangan emosional, pasangan muda sering kali juga belum memiliki kematangan secara finansial. Kondisi ini dapat menyebabkan kesulitan ekonomi yang menjadi tantangan tersendiri dalam kehidupan rumah tangga mereka. Lebih jauh lagi, membangun rumah tangga di usia muda dapat berdampak pada pola pengasuhan anak yang tidak tepat. Padahal, pemahaman yang tepat mengenai cara mendidik anak sangatlah penting untuk memastikan bahwa mereka tumbuh menjadi individu yang cerdas dan berkualitas.
Kasus pernikahan dini di Indonesia menunjukkan bahwa faktor budaya, ekonomi, dan kurangnya pendidikan memainkan peran besar dalam praktik ini. Selain itu, dampak jangka panjangnya sering kali negatif, seperti putus sekolah, kemiskinan antargenerasi, dan kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menegaskan pentingnya upaya pencegahan yang komprehensif dan dukungan bagi anak-anak untuk menghindari pernikahan dini.
 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun