Jiwa perempuan itu masih kental mengalir dalam nadi. Sukma tak menyangkal. Memang ia tak pernah. Tak jarang ia merasa iri pada anak seusianya saat mereka berangkat ke sekolah, atau menikmati malam minggu di alun-alun tengah kota. Dandanan dan pakaian-pakaian yang menghiasi mereka justru menyayat hati kecilnya. Apa yang dirasanya jika ia demikian? Hanya saja Murni terlalu jatuh untuk menolong jiwa sang anak yang masih terkurung itu. Ia tak punya daya, apa lagi upah untuk membebaskannya. Gaun dan peralatan kecantikan terlalu mewah untuk menggantikan beras dan jagung demi menyambung hidup. Ia hanyalah seorang janda, namun juga kembang desa dari belasan tahun ke belakang. Rupawan juga santun, itulah tanggap semua lelaki di desa atas dirinya.
Berkali-kali Sukma mengemis, harap-harap berbuah manis. Masih merujuk pada bebasnya jiwa perempuan seutuhnya yang akan merubah segala rupa dan wujudnya. Kata gaun dan perabot kecantikan melesat saja dalam permohonan itu. Namun Murni yang melarat tak kunjung sudi. Obrolan di antara keduanya kerap mati tak bernadi. Â Begitu pula untuk selanjutnya, seterusnya. Mengamen hanya berbuah beras dan jagung secukupnya, sedang Murni telah berputus asa sejak berbagai usaha jajanan yang dilakoni acapkali tak membuahkan hasil. Ia bangkrut. Kesedihan telah tinggal berlarut-larut. Sukma tak pernah sanggup memakinya, jikalau dalam benaknya teringat sang ayah yang lenyap begitu saja bak asap korek api. Sukma menderita tentangnya, sakit kepalanya jika ingatan tentang ketidakpedulian ayah terhadap keluarganya itu. Membuat hidup kedua wanita itu kian kocar-kacir tak menentu. Itu pun yang membuat tingkah laku Murni sama sekali berubah. Ia menjadi pemarah, sesekali rambut Sukma yang panjangnya tak mampu menutupi leher saja seringkali menjadi sasaran amarahnya. Sukma tak melawan meski kepalanya itu menjadi pelampiasan. Kali ini Sukma hanya bermimpi mampu merubah diri, memolesnya, hingga ia pantas mendapat upah dari usaha lainnya. Atau jika nasib baik yang buta itu menyasar di hidupnya, seorang hartawan akan meminangnya. Membalikkan derajat dan masa depannya.
Suatu kali, tetangga di sudut paling muka gang rumahnya baru meninggali bangunan terapik di lingkungan itu. Warga baru, dan basa-basi meluap di setiap pelataran rumah para tetangga. Saling berkenalan barangkali, melihat seorang itu yang doyan sekali bicara. Seorang wanita yang tampaknya menyenangkan. Entah, seperti apa kepribadiannya. Namun penampakkannya cukup meyakinkan jika ia seorang yang punya. Kaus dan jaket berwarna gelap yang dipakainya berbaur tampak berani, pun jeans ketat yang meremas paha elok itu kian memperindahnya. Tak kalah hebohnya jika memandangi helaian rambut pendek dengan beberapa paduan warna gelap-terang di beberapa sisi, juga goresan rona merah di kelopak mata dan bibir yang senada. Lebih pantas sosok itu untuk disorot kamera beserta lampu seterang baskara.
Hingga kemudian sampailah ia di pelataran rumah Murni. Murni yang menyambutnya. Tawa yang renyah pertama kali yang Sukma dengar. Sukma hanya mengintip dari balik kain kelambu yang membatasi ruang depan dengan tengah. Ia hanya menamati wanita itu dari ujung rambut hingga kaki. Teramatlah menarik baginya, hingga ia mengurungkan niat untuk mengikuti Murni ke depan sana. Sukma terbius pandangnya yang semakin kuat membuat jiwa perempuannya memberontak. Hatinya terpukul meski cukup saja berderak-derak. Mengapa ia tak pernah melihat sosok seperti itu? Ia mampu menangkap wibawa dari seorang tanpa gaun anggun layaknya cerita masa remaja Murni yang dibanggakannya. Bagi Murni, gaun lah yang akan menghidupkan kembang dalam jiwa seorang wanita. Dan kali ini Sukma tak setuju. Sukma semakin diterpa guncangan jiwa itu yang kian melonjak-lonjak ingin dibebaskan. Ia sungguh ingin menjadi wanita ayu meski tak bergaun, bukannya seperti sekarang.
"Mau kemana?", Murni baru saja menutup pintu.
"Menyusul ke rumahnya", Sukma keluar rumah begitu saja.
"Memangnya kamu kenal?"
"Tidak".
Sukma telah berjarak lima meter di belakang wanita itu yang sedikit lagi sampai di rumahnya.
"Aku tak melihatmu di sana", jawab wanita itu saat Sukma memangggilnya dan memperkenalkan diri.
"Baru pulang, tapi ibu memintaku untuk berkenalan denganmu", ucap Sukma dengan senyum tipis.
Wanita itu tampak senang mendapati seorang anak muda yang santun hingga membuntutinya hanya untuk memperkenalkan diri.
"Masuklah, aku punya makanan kecil yang aku beli di kotaku kemarin".
Sukma masuk ke dalam rumah itu yang sama sekali seumur hidupnya tak pernah ia jangkau, meski jarak dengan rumahnya tidak terlampau jauh. Maklum saja, penghuni sebelumnya seorang yang terpandang, dan ia tak mungkin pula bergaul dengan anak mereka. Sukma berkeliling kecil di sekitar ruang tamu itu, sedang wanita itu menuju dapur mengambil sajian yang telah dijanjikannya. Nampaknya, wanita itu gemar mengoleksi foto-foto aktris dengan gaun yang begitu menawan. Jajaran idolanya barangkali, karena tak hanya satu orang saja dalam jajaran foto yang dipasang memanjang di dinding.
Sukma sedikit terlonjak saat wanita itu kembali dan memanggilnya, sembari membawa segelas minuman sirup markisa hangat beserta beberapa macam kue kering.
"Aku suka sekali wanita bergaun. Emm.. maksudku gaya berpakaian dengan gaun", kata wanita itu saat baru saja Sukma meninggalkan foto-foto itu.
"Aku juga, meskipun mustahil aku akan mempunyainya", jawab Sukma, disusul tawa kecil wanita itu.
"Andai aku memiliki beberapa potong, aku sudah memberikannya padamu".
Sukma tersenyum malu, terlihat dalam bola matanya harapan perandaian itu benar-benar terjadi saat itu juga. Betapa semerbak wangi dalam hatinya oleh bunga-bunga. Namun ia percaya, sepertinya wanita itu memang tak memiliki gaun. Sekarang saja, ia hanya mengenakan kaus dan celana pendek. Meski demikian, di mata Sukma ia masih saja mempesona, begitu sedap dipandang berlama-lama. Ia mulai percaya, jaman telah berubah. Tak mesti seperti masa remaja Murni dulu, gaun lah jawaban mutakhir. Namun sekarang, wanita terlihat menarik dengan pakaian apa saja. Terlebih ditambah dengan goresan-goresan di wajah yang akan memperindahnya.
Beberapa hari sejak kedatangan wanita itu, Murni tampak kerap bersama dengannya. Belanja sayur saat pagi hari hingga mampir di rumahnya atau sebaliknya. Entah apa yang sering mereka bicarakan, Sukma hanya menatap sekilas. Ia kemudian melanjutkan perjalanan untuk menjemput uang-uang logam hingga kertas yang bagi mereka hanya sebatas kembalian yang tak ternilai. Tak jarang pula saat ia kembali ke rumah, Murni tak ditemuinya. Biasanya, sore hari Murni lebih sering menghabiskan waktu untuk duduk di teras belakang menghisap rokok yang ia beli dari sisa belanja beras. Tak lama, Sukma mendapatinya di ruang tamu. Saat ditanya, ia baru saja pulang dari rumah wanita itu.
Malam itu juga, pintu rumah Murni diburu ketukan yang tergesa. Seakan seseorang sedang mengharap pertolongan. Benar saja, wanita itu terengah-engah menjelaskan jika seekor ular memasuki rumahnya. Tak ada yang bisa membantunya, mengingat ia hanya tinggal seorang diri. Malam terlalu pekat untuk meminta bantuan tetangga terdekat. Namun, ia memilih untuk mengungsi di rumah Murni. Sukma yang belum tenggelam dalam mimpi pun ikut nimbrung, dan mengatakan jika ia bisa membantunya. Malam itu juga, ia menerobos kabut dingin yang menusuk kulit dan menggeledah rumah wanita itu. Dengan tongkat kayu di tangan kanan dan sebuah karung beras di tangan kiri. Wanita itu sempat mengkhawatirkannya, berbeda dengan Murni. Ia seakan tak terlalu mempedulikannya, sama halnya dengan segala yang dilakukan Sukma di setiap persimpangan jalan. Sebab hal itu telah berlangsung bahkan sejak sebelum ia berusia remaja.
Segala ruangan telah ia telusuri, sampai akhirnya ia terhenti di kamar wanita itu yang terdapat meja rias dengan berbagai macam peralatan kecantikan. Ia tertegun melihatnya, sampai-sampai ia terlena dan lupa tujuan utamanya menyusuri rumah itu. Sontak Sukma memalingkan wajahnya, saat seekor ular berukuran sedang melintas di bawah meja itu. Ia hanya terdiam, dan secepat yang ia bisa pukulan dengan kayu itu melesat di kepala sang ular. Buru-buru ia merangkapnya dengan karung hingga ular tersebut terkurung di dalamnya.
Keesokan hari, saat Sukma bersiap untuk menjalankan tugas harian di jalanan, wanita itu menghampirinya. Beberapa buah alat kecantikan dan dua potong kaus serta celana jeans ia berikan padanya. Itu sebagai ucapan terima kasihnya atas kerepotan yang terjadi semalaman.
"Tak usah repot seperti ini", ucap Sukma dengan pipi yang perlahan menghangat.
"Tak apa, terimalah. Kamu sudah membantuku", sahut wanita itu sembari tersenyum bangga.
Alangkah bahagia hatinya pagi itu. Belum kaleng yang bakal ia bawa terisi uang logam, namun sepertinya Sukma tak ingin melanjutkan perjalanannya hari itu. Ia sungguh ingin bersolek. Duduk di hadapan cermin dan menghias dirinya seapik mungkin. Barangkali sore hari, akan ada seseorang yang entah datang dari mana akan menawarinya untuk bekerja. Hotel, kafe, atau mungkin saja pelayan restoran. Atau sore nanti Tuhan telah lelah mengujinya, Ia akan mengirimnya seorang pria jutawan dari langit dan melamarnya. Yang oleh kecantikannya dunia akan berpihak padanya.
Menjelang malam, benar saja Sukma masih terpaku di depan cermin. Tak biasanya ia merasa tenang, Murni tak menggonggong seperti halnya hari-hari biasa untuk jatah belanja esok hari. Mungkin itu hari terbaik di usia remajanya. Namun, sepertinya pemberian wanita itu dirasa belum cukup. Sukma perlu beberapa perias wajah yang lain, hanya saja ia tak mampu menyebutkan nama dengan istilah bahasa asing itu. Ia begitu menggebu-nggebu, seakan jiwa perawannya telah setengah tersembul. Ia tak bisa menunggu terlalu lama. Wanita itu mungkin akan memberinya kembali imbalan jika ia membantunya.
Malam begitu tenang, tanpa gonggongan Murni yang melolong terang. Sukma pun tak terlalu peduli kemana sang ibu pergi. Sama halnya yang dilakukan Murni padanya di setiap persimpangan jalan. Sukma mengambil karung beras yang telah terikat di antara semak belakang rumahnya yang telah semalaman ia samarkan. Sesekali karung itu bergerak-gerak, sesuatu di dalamnya menubruk paksa mencari kebebasan. Sukma mengendap-endap menembus kabut dingin yang membatasi penglihatan. Ia sungguh mengingat jendela kecil di kamar yang sengaja di buka oleh pemiliknya. Celah itu jalan satu-satunya untuk mengembalikan ular dalam karung ke tempat pertama kali mereka bertemu. Seakan drama kehidupan itu hanya diputar kembali beberapa jam ke belakang. Dan ia akan kembali mendapati imbalan yang bisa memuaskan jiwanya.
Sukma telah siap membuka karung itu tatkala kedua kakinya yang gemetar bertumpu di bawah jendela. Kini kedua tangannya turut bergetar hebat. Semua dilakukannya dengan begitu hati-hati. Perlahan-lahan ia membuka lilitan tali untuk putaran yang terakhir. Semakin pelan tangan kanannya bergerak, menjaga diri agar sang ular tak mencoba melawan dengan serangan mendadak. Saat itu juga, ia seperti mendengar bisik-bisik dari arah kamar. Perlahan Sukma bangkit, menyoroti ke dalam kamar dari sisi jendela. Bisik itu kini termengah-mengah. Sukma mendelik tak percaya. Murni tengah berkecupan dengan wanita itu. Hati Sukma seakan jatuh, dadanya mulai gemetar mengikuti. Seketika lilitan tali karung yang telah longgar diterobos dengan cepatnya. Ular itu mencuat dan telah menancapkan gigitannya di lengan Sukma. Sukma menjerit hebat, alangkah lara yang dirasanya. Kedua wanita itu sontak menoleh ke luar jendela. Sukma telah jatuh terkapar di atas tanah.