Teguh Patrio. Nama itu masih asing bagi penunggang becak yang lain, juga para pedagang pasar area depan, tengah, dan belakang. Terhitung enam hari becaknya bergelut dengan aspal hingga lumpur gang setapak pelosok kampung, dengan garis start yang bermula dari pangkalan di tepian sungai, di samping pasar Mulyo Agung. Dalam enam hari itu, tidak semua hari becak dihampiri penumpang, hanya sesekali, atau setelah dapat giliran narik dari para senior pangkalan. Mereka mencanangkan sistem giliran, dengan nomor antrian yang melekat di setiap potongan kardus. Mengingat pasar adalah sumber penghasilan dengan antrian-antrian yang seringkali membeludak, mulai dari pedagang sampai pembeli akan sangat bergantung padanya. Meski seringkali mendapat giliran terakhir, Teguh tak bisa mengelak. Salah seorang di pangkalan itu sosok pentolan preman pasar. Siapa yang tahu, siapa yang berani, jika melawan, dia juga yang jadi korban. Tak apa, dari pada menganggur, apa saja asal tau syukur. Atas nama junior, turuti saja kata senior, dari pada ribut kalah pamor. Itu yang dipendam Teguh.
KEMBALI KE ARTIKEL