Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Mempersoalkan Penerapan Etika Utilitarianisme dalam Pertimbangan Putusan Hakim

2 Februari 2024   04:30 Diperbarui: 2 Februari 2024   04:41 143 2
Akhir dari suatu persidangan atas perkara di pengadilan adalah putusan hakim. Putusan hakim selain memuat hal-hal normatif seperti identitas terdakwa, dakwaan, tuntutan, peraturan yang menjadi dasar pemidanaan, juga harus memuat pertimbangan hukum yang lengkap (M. Yahya Harahap, 2009 : 361 - 374). Pertimbangan hukum adalah berisi argumentasi hukum yang didasarkan atas fakta-fakta persidangan dihubungkan dengan kaidah hukum yang dilanggar oleh terdakwa lalu disimpulkan dengan menggunakan penalaran hukum. Penalaran hukum yang digunakan hakim dalam pertimbangan hukum bergantung pada pendekatan penalaran yang digunakan hakim dalam menyimpulkan suatu perkara, misalnya apakah bercorak realisme atau formalisme (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 6 - 10). Realisme hukum merupakan teori hukum dan peradilan yang mendasarkan pada apa yang senyatanya dipikirkan oleh hakim dalam memutus perkara yang diadilinya, jadi hakim pertama-tama akan memutus perkara yang diadilinya bukan berdasarkan peraturan-peraturan, melainkan didasarkan atas fakta-fakta material yang terungkap dalam persidangan. Sementara formalisme akan cenderung ingin menggunakan pengetahuan yang sudah ada untuk menyimpulkan kemudian dengan investigasi yang minim terhadap kasus yang diadilinya. Singkatnya, perbedaan pokok antara aliran formalisme dengan realisme adalah kaum formalis memandang hakim sebagai pelaksana peraturan melalui putusan-putusannya sedangkan kaum realis menuntut hakim membuat hukum melalui putusannya (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 170).

Dalam praktik hukum, positivisme tidak selalu sama dengan formalisme, demikian halnya dengan formalisme tidak selalu sama dengan naturalisme. Seorang formalis bisa saja adalah muncul dari kalangan positivis, bahkan juga naturalis. Demikian halnya seorang positivis bisa saja berpandangan bahwa realisme lebih tepat digunakan hakim (Muji Kartika Rahayu, 2018 : 113). Jadi tidak ada rumus baku yang dapat diturunkan, karena positivisme sebagai teori hukum tidak memiliki hubungan konseptual dengan formalisme sebagai teori peradilan. Memang misalnya ada anggapan seperti Sebok yang memandang bahwa positivisme (Inggris) sama dengan formalisme (Amerika), karena adanya kesamaan pandangan antara keduanya mengenai hakim dan penghakiman, dan keduanya memang lahir secara khas dari rahim positivisme Inggris.

Penganut positivisme hukum di Inggris seperti Jeremy Bentham (1748 - 1832) dalam pemikirannya mengembangkan teori etika utilitarianisme klasik yang kemudian diperhalus oleh John Stuart Mill (1806 - 1873) yang mengkritik kalkulus kenikmatan (hedonic calculus) yang terdiri atas tujuh variabel yaitu (1) berdasarkan intensitas kenikmatan dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkan; (2) durasi atau lamanya kenikmatan dibandingkan rasa sakit; (3) kepastian (seberapa pasti tindakan itu membawa kenikmatan daripada rasa sakit; (4) kedekatan (seberapa dekat hubungan antara tindakan itu dan kenikmatan yang diakibatkan dibanding rasa sakitnya); (5) kesuburan/fecundity (seberapa subur atau dapat terus menambah kenikmatan yang diakibatkan oleh tindakan itu dibandingkan dengan rasa sakit yang ditimbulkannya); (6) kemurnian/purity (semakin murni kenikmatan yang diakibatkankan tanpa tercampuri rasa sakit yang ditimbulkan semakin baik); (7) keluasan (semakin luas atau semakin banyak yang merasa nikmat semakin baik) (K. Bertens, 2000 : 246 - 249).

Jeremy Bentham lahir di London tahun 1748. Bentham menjalani hidup selama masa perubahan sosial, politik dan ekonomi yang masif, dan terjadinya revolusi di Perancis dan Amerika yang menginspirasi Bentham merumuskan teorinya. Teori utilitarian Bentham diilhami oleh David Hume (1711 -1776) yang menyatakan bahwa sesuatu yang berguna akan memberikan kebahagiaan. Bertitik tolak atas pandangan Hume tersebut, Bentham lalu merumuskan pandangannya bahwa hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Gagasan Bentham ini lalu melahirkan teori utilitarianisme, namun yang masih bercorak klasik, yang kemudian dibaharui oleh Mill.

Menurut pandangan Bentham, tujuan dari hukum adalah memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Maka, konsepnya adalah meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama dari hukum itu sendiri. Ukurannya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini akan sangat tergantung pada apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).

Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan hukum adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada orang banyak. "the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan: (1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup); (2) to Provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah); (3) to provide security (untuk memberikan perlindungan); dan (4) to attain equity (untuk mencapai persamaan).

Bagi Bentham, peraturan yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number”.

Beberapa pemikiran penting Bentham juga dapat ditunjukkan, seperti: (1) Hedonisme kuantitatif yakni paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata-mata secara kuantitatif. Kesenangan bersifat jasmaniah dan berdasarkan penginderaan. (2) Summun bonum yang bersifat materialistik berarti bahwa kesenangan-kesenangan bersifat fisik dan tidak mengakui kesenangan spritual dan menganggapnya sebagai kesenangan palsu. (3) Kalkulus hedonistik (hedonistik calculus) bahwa kesenangan dapat diukur atau dinilai dengan tujuan untuk mempermudah pilihan yang tepat antara kesenangan-kesenangan yang saling bersaing. Seseorang dapat memilih kesenangan dengan jalan menggunakan kalkulus hedonistik sebagai dasar keputusannya. Adapun kriteria kalkulus yakni: intensitas dan tingkat kekuatan kesenangan, lamanya berjalan kesenangan itu, kepastian dan ketidakpastian yang merupakan jaminan kesenangan, keakraban dan jauh dekatnya kesenangan dengan waktu,kemungkinan kesenangan akan mengakibatkan adanya kesenangan tambahan berikutnya kemurnian tentang tidak adanya unsur-unsur yang menyakitkan, dan kemungkinan berbagi kesenangan dengan orang lain. Untuk itu ada sanksi yang harus dan akan diterapkan untuk menjamin agar orang tidak melampaui batas dalam mencapai kesenangan yaitu: sanksi fisik, sanksi politik, sanksi moral atau sanksi umum, dan sanksi agama atau sanksi kerohanian.

Dengan mengikuti prinsip jelas dan rasional dalam teori Bentham, pemerintah yang akan mengambil kebijakan mempunyai pegangan jelas untuk membentuk kebijakannya dalam mengatur masyarakat. Penentuan kebijakan tinggal diarahkan pada kepentingan mayoritas masyarakat dan mengorbakan sebagaian kecil kepentingan masyarakat, misalnya dalam rangka mengatasi banjir, maka beberapa penduduk yang tinggal di sekitar sungai direlokasi ke tempat lain, padahal mereka akhirnya mengalami kesulitan untuk mengakses pekerjaannya, akan tetapi ada kepentingan yang lebih luas yang ingin dicapai yaitu membebaskan sebagian besar warga kota dari bencana banjir.

Selanjutnya murid Bentham yaitu John Stuart Mill dalam bukunya Utilitarianism (1864) mengajukan kritik pada pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. Mill berpendapat bahwa kualitas kesenangan harus diukur kualitatifnya juga, dimana kesenangan manusia haruslah lebih tinggi dari kesenangan hewan. Mill menyindir pandangan Bentham dengan nada satir berikut:

"It is better to be human being dissatisfied than a pig satisfied, better to be Socrates dissatisfied that a fool satisfied." (Lebih baik menjadi seorang manusia yang tidak puas daripada seekor babi yang puas, lebih baik menjadi Sokrates yang tidak puas daripada seorang tolol yang puas).

Jadi menurut Mill, kebahagiaan haruslah dapat diukur secara empiris dengan berpedoman pada orang yang bijaksana dan memiliki pengalaman hidup, karena orang demikian dapat memberi kepastian tentang kualitas kesenangan, dimana kualitas kesenangan itu dapat diukur secara empiris (K. Bertens, 2000 : 249). Selain itu, menurut Mill, kebahagiaan satu orang saja tidak dapat bertindak sebagai pelaku utama, tetapi kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam kejadian. Maka seorang raja sekalipun haruslah diperlakukan sama dengan rakyat biasa. Inilah yang menurut perkataan Mill: "everybody to count for one, nobody to count for more than one." Jadi kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh dianggap lebih penting daripada kebahagiaan orang lain. Maka suatu perbuatan dinilai baik dalam hal kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, yang mana kebahagiaan semua orang yang terlibat haruslah diperhitungkan dengan cara yang sama pula.

Kelemahan-kelemahan teori Bentham sesungguhnya dapat dengan mudah diperlihatkan yaitu karena prinsipnya untuk kebaikan orang banyak lalu dengan utilitarianisme kita lalu akan membenarkan perampokan toko-toko orang kaya untuk dibagikan kepada orang miskin, padahal perbuatan tersebut sejatinya adalah buruk dan menjadikan orang menjadi tidak menghargai hak individu, padahal hak itulah yang justru ingin dibela.

Perkembangan teori utilitarianisme memuculkan pendekatan yang lebih parktis yaitu munculnya utilitarianisme aturan. Filsuf Inggris-Amerika, Stephen Toulmin membedakan utilitarianisme sebagai utilitarianisme tindakan dan utilitarianisme aturan.  Konsep dari utilitarisme tindakan adalah tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya dapat dibenarkan secara moral, maka setiap tindakan harus dipertimbangkan akibat baiknya atau manfaatnya bagi semakin banyak orang yang tekait dengan tindakan tersebut. Utilitarianisme tindakan cukup bermasalah untuk dipraktikkan, misalnya dalam praktik pengambilan keputusan orang tidak setiap kali membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat dari setiap tindakannya. Sehingga menjadi sulit membayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama sekali. Setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat berlaku untuk tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin tidak persis sama. Hal inilah yang menyebabkan utilitarisme tindakan dapat dengan mudah dapat disalahgunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan dalih bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada kerugian yang ditimbulkannya.

Utilitarisme yang kedua, yakni utilitarisme peraturan. Dalam varian teori ini, yang dititikberatkan bukan lagi hanya akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan tersebut. Sehingga yang dipersoalkan sekarang adalah akibat baik dan akibat buruk dari suatu peraturan kalau diberlakukan secara umum. Maka kaidah dasarnya menjadi berbunyi: “Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah atau peraturan yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar bagi semakin banyak orang dibandingkan akibat buruknya.” Dalam Utilitarisme Tindakan, suatu perbuatan mencuri satu kaleng roti dari sebuah super-market untuk dibagikan kepada orang-orang miskin dapat dibenarkan, akan tetapi dalam utilitarisme peraturan tindakan tersebut tidak dapat lagi dibenarkan, karena kaidah itu telah menjadi peraturan yang berlaku umum. Oleh karena itu, sudah tentu bahwa akibat buruknya justru jauh lebih besar daripada akibat baiknya, sebab sikap hormat terhadap hak milik orang lain akan hilang. Dengan demikian Utilitarisme Peraturan lebih memadai dibandingkan Utilitarisme Tindakan. Sebenarnya, bukan berarti bahwa teori utilitarianisme itu ada yang buruk, tetapi prinsip agar diusahakan akibat baik yang sebanyak mungkin dan sikap mau bertanggungjawab atas semua akibta tindakan-tindakan mengungkapkan suatu yang hakiki bagi penilaian moral, asal saja diimbangi  dengan prinsip keadilan (Franz Magnis-Suseno, 1987 :127).

Etika utilitarisme ini kerap kali menjadi dasar pertimbangan bukan hanya dalam urusan pemerintahan melainkan juga kerap digunakan hakim dalam memberikan perdasaran dalam pertimbangan hukumnya saat akan memutus suatu perkara hukum di pengadilan. Salah satu kasus yang pertimbangan hukumnya kelihatannya menggunakan etika utilitarianisme adalah pertimbangan hakim dalam kasus I Gede Aryastina atau akrab dikenal dengan panggilan Jerinx. Kasus Jerinx bermula ketika ia melaui media sosial menuliskan tuduhan-tuduhan kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan kata-kata IDI Kacung WHO. Lalu pihak IDI merasa tersinggung dan merasa jika dokter-dokter telah terganggu kinerjanya dan para dokter kehilangan kepercayaan dari masyarakat dalam rangka membantu menangani Covid-19, sehingga IDI Wilayah Bali melaporkan Jerinx yang merupakan pemilik account media sosial yang menuliskan kata-kata tersebut. IDI wilayah Bali beranggapan jika informasi pada media sosial tersebut ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama ras dan antara golongan (SARA) dan untuk perlindungan hukum entitas yang tidak terwakili dalam SARA.

Hakim dalam memberi pertimbangan hukum misalnya dalam Putusan Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN.Dps, bahwa unsur ketiga dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum, yaitu terhadap unsur perbuatan menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan /atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana pertimbangan hukum pada halaman 113 s/d 115 Putusan Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN.Dps, yang berbunyi sebagai berikut:

"Menimbang, bahwa sebagaimana telah dikemukakan di atas, terhadap postingan Terdakwa tanggal 13 Juni 2020 mengenai IDI Kacung WHO tersebut telah dapat menginspirasi orang lain /warga masyarakat (para Netizen) dengan banyaknya komentar komentar negative yang menyiratkan kebencian kepada IDI, postingan tersebut mendapat jumlah like sebanyak 56.958 dan komentar sebanyak 3.394 pertanggal 29 Juli 2020;

Menimbang, bahwa Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 memang menjamin hak dan kebebasan berekspresi dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia;

Menimbang, bahwa Jaminan Konstitusioanal kebebasan untuk berkomunikasi dan berpendapat ini telah dielaborasi lebih jauh dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, menyatakan bahwa orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa;

Menimbang, bahwa akan tetapi kebebasan yang dimiliki setiap orang bukan berarti berhak dan bebas untuk menyerang kehormatan orang lain. Halmana merupakan perbuatan yang dilarang dalam hukum karena merupakan pelanggaran terhadap nilai nilai yang hidup dalam masyarakat;

Menimbang, bahwa pembatasan bagi kebebasan berekspresi dan berpendapat, seperti diatur didalam ketentuan pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 pasal 70 dan pasal 73 UU No.39 Tahun 1999 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain demi untuk keadilan, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat;

Menimbang, bahwa dalam perkara ini Terdakwa yang mengerti dan menyadari dampak dari postingan-postingannya, dimana Terdakwa dengan latar belakang sebagai public pigure yaitu anggota Grup band Superman is dead yang memiliki fans yang cukup banyak yang tersebar di seluruh Indonesia, maka dipastikan Terdakwa mempunyai pengaruh untuk direspon oleh orang banyak, hal mana terbukti postingan-postingan Terdakwa menghasilkan komentar yang pro dan kontra sebagai ungkapan rasa kebencian atau permusuhan antara kelompok yang saling berbeda posisinya, maka postingan-postingan Terdakwa tidak dapat dikatagorikan sebagai kritikan belaka karena dilandasi oleh ketidaksukaan, kekecewaan, kejengkelan yang berlebih, sehingga Terdakwa membuat postingan-postingan tersebut yang mengandung rasa kebencian atau permusuhan terhadap IDI."


Rumusan pertimbangan hukum tersebut di atas adalah didasarkan pada fakta adanya postingan Terdakwa tanggal 13 Juni 2020 mengenai IDI Kacung WHO tersebut telah dapat menginspirasi orang lain /warga masyarakat (para Netizen) dengan banyaknya komentar komentar negatif yang menyiratkan kebencian kepada IDI, postingan tersebut mendapat jumlah like sebanyak 56.958 dan komentar sebanyak 3.394 pertanggal 29 Juli 2020. Meskipun sebenarnya Undang-Undang Dasar justru memberi kebebasan kepada individu dengan menjamin hak dan kebebasan berekspresi dengan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan saluran yang tersedia. Akan tetapi hakim justru lebih memilih pada kekuatiran akan dampak dari postingan Terdakwa yang dikuatirkan dapat menginspirasi orang di dunia maya kehilangan kepercayaan pada alat-alat negara untuk menanggulangi Covid-19.

Di tengah situasi pandemi Covid-19, hakim benar-benar lebih memilih memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat yang sedang menghadapi pandemi Covid-19 dengan membenarkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum bahwa akibat postingan Terdakwa di media sosial dikuatirkan akan mengakibatkan tenaga medis dan tenaga kesehatan mengalami ketidakpercayaan dari masyarakat yang dapat mengakibatkan pemerintah gagal menanggulangi Covid-19 sehingga membawa hal tidak menyenangkan bagi masyarakat secara luas. Padahal Imanuel Kant telah mengingatkan bahwa yang secara moral benar adalah yang bernilai pada dirinya sendiri, didasarkan atas perintah mutlak dan tak bersyarat (categorical imperative) dan bukan perintah bersyarat (hypothetical imperative). Jadi semestinya alat-alat negara yang diberi kewenangan dalam penanggulangan Covid-19 seharusnya bertindak otonom dan tidak perlu merasa terhina apalagi melaporkannya secara pidana pihak-pihak yang menyampaikan pendapat berbeda mengenai Covid-19.

Pertimbangan hukum oleh hakim yang mengadili perkara ini dari sudut pandang utilitarian telah tidak diimbangi dengan prinsip keadilan sebagaimana yang disyaratkan oleh Franz Magnis-Suseno agar teori utilitarianisme tidak menjadi suatu teori yang buruk. (Franz Magnis-Suseno, 1987 : 127). Akibat kegagalan itu, penerapan etika utilitarianisme dalam putusan hakim telah menimbulkan masalah serius yaitu pelanggaran terhadap hak asasi manusia si Terdakwa demi melindungi kerugian semu dari suatu lembaga yang memang bertugas untuk memberi pelayanan kesehatan terlepas dari mendapat dukungan atau diacuhkan, karena memang secara otonom menurut Kant, itulah yang menjadi kewajibannya dan harus dilakukan. Persoalan penerapan etika utilitarianisme tentu saja telah menjadi masalah besar dalam kasus ini. Apalagi belakangan terungkap fakta bahwa memang ada dalam kasus orang-orang yang meninggal bukan karena Covid-19 namun secara sepihak oleh rumah sakit dinyatakan meninggal karena Covid-19.  Meskipun bukan berarti kita memandang remeh akibat-akibat mematikan dari Covid-19 dan menutup mata terhadap jasa para tenaga medis dan tenaga kesehatan, melainkan semestinya hakim bertindak arif dan bijaksana dalam memberi pertimbangan hukum agar dari proses peradilan tersebut dapat dicapai keadilan.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Etika Utilitarianisme bukan tanpa masalah jika diterapkan dalam tataran praktis di dunia hukum. Ia bisa saja jadi pelarian hakim dengan alasan kepraktisan penggunaannya dengan lebih mementingkan kepentingan nasional atau orang banyak meskipun pada dasarnya bertentangan dengan hukum. Setiap hakim yang menjatuhkan vonis perkara di pengadilan seharusnya memutuskan sanksi hukum kepada subjek terhukum atas dasar etika. Keputusan hakim di pengadilan bukan pertama-tama untuk menghukum terdakwa, melainkan untuk melindungi moralitas dan nilai-nilai etis dalam realitas kehidupan. Dengan ini seorang hakim terhindar dari kesempitan perspektif dimana hanya menghukum seseorang tanpa kesadaran moral-etis di dalamnya. Jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa kesadaran moral-etis, keputusan itu kurang adil bagi terdakwa. Maka suatu putusan benar-benar harus dilandasi oleh nilai etika dan maksud baik bagi kebaikan terdakwa di masa depan (Fios, Frederikus, 2012 : 306).

Utilitarianisme kadang dianggap menjadikan manusia sebagai dimensi statis yang boleh saja dieksploitasi sedemikian rupa untuk mengungtungkan pihak-pihak tertentu (Pranowo, Yogie. 2020:178). Anggapan ini bisa saja benar, karena memang syarat utama sebagaimana disebutkan Franz Magnis-Suseno agar utilitarianisme tidak menjadi teori yang buruk adalah haruslah diterapkan dengan prinsip keadilan, tanpa prinsip keadilan utilitarianisme dalam putusan hakim tak lebih dari sekedar kenaifan belaka yang justru mendatangkan ketidakadilan. []



Daftar Pustaka:

Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta. Gramedia.

Harahap, M. Yahya. 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika.

Magnis-Suseno, Franz. 1987. Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Rahayu, Kartika Muji. 2018, Sengketa Mazhab Hukum, Sintesis Berbagai Mazhab dalam Pemikiran Hukum. Jakarta: Gramedia.

Fios, Frederikus. 2012. Keadilan Hukum Jeremy Bentham dan Relevansinya bagi Praktik Hukum Kontemporer. Humaniora, Volume 3 Nomor 1, hlm 299 -309.

Pranowo, Yogie. 2020. Prinsip Utilitarianisme sebagai Dasar Hidup Bermasyarakat. Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi dan Sosial Budaya, Volume 26 Nomor 2, hlm 172 – 179.




Putusan:

Putusan Nomor 828/Pid.Sus/2020/PN.Dps,



Undang-undang:

Undang-Undang Dasar 1945

Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun