Cermin Perilaku
Tidak dapat disangkal banyak orang yang menduga di dalam setiap bencana selalu ada pesan tersembunyi yang patut untuk direnungkan bersama. Saat Wasior dilanda banjir bandang yang menyebabkan ratusan nyawa melayang, banyak pihak menuding sana sini, merasa diri paling benar dan berhak menghakimi. Saat musibah gempa bumi dan tsunami melanda Mentawai pun banyak pihak beradu argumen dan mencari pembenaran sendiri. Mulai dari tidak berfungsinya peringatan dini tsunami sampai dengan tidak responsifnya pemerintah dalam menanggapi bencana alam.Â
Ceritanya sedikit berbeda ketika Merapi ikut mengamuk. Kita saksikan kembali betapa rapuhnya kita ketika berhadapan dengan alam yang tidak bersahabat. Tidak banyak yang dapat dilakukan masyarakat Jogja dan sekitarnya selain bersabar dan nrimo keadaan itu, namun tetap berusaha maksimal untuk bisa survive. Sepanjang pengetahuan saya, tidak saya dengar ada pihak yang malah sibuk beradu argumen dan saling menyalahkan dalam peristiwa Merapi kali ini, entah kenapa.
Bila kita mencermati, peristiwa-peristiwa tersebut seakan ingin sekali lagi mengingatkan kita bahwa ada yang harus segera diperbaiki oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini. Sudahkah kita sebagai bagian dari alam semesta ini ikut menjaga keseimbangannya dengan berperilaku yang baik? Jawabannya terpulang pada diri kita sendiri, mau mengakui perilaku buruk kita - mengakui dalam hati sekalipun - atau malah berusaha mencari pembenaran atas perilaku buruk kita selama ini.
Awal Perubahan
Terjadinya bencana pasti membuat siapa saja ingin mengetahui informasi terbaru mengenai kondisi terakhir di lokasi bencana. Ada yang menarik dari peristiwa bencana Merapi kali ini yaitu adanya liputan langsung yang menggambarkan situasi terbaru dari kawasan bencana. Dengan menggunakan alat komunikasi HT atau yang sering disebut walky talky para koordinator petugas dan relawan di kawasan Merapi saling berkomunikasi dan bertukar informasi situasi terkini. Komunikasi antar koordinator petugas dan relawan inilah yang kemudian disiarkan melalui gelombang radio dan diumpankan ke jaringan internet. Dengan jaringan internet, informasi penting sekecil apapun di kawasan bencana dapat diketahui secara cepat oleh siapapun di seluruh dunia.
Metode komunikasi seperti ini tampaknya menarik untuk dijadikan model komunikasi penanganan bencana yang sering sekali terjadi di Indonesia. Selain mempercepat informasi, metode ini tampaknya juga dapat mengeliminasi adanya kesimpang siuran informasi yang dapat menyebabkan kepanikan massa. Seorang kompasianer pun sempat mengeluhkan kecerobohan sebuah stasiun televisi dalam menyampaikan informasi sehingga sempat menyebabkan kepanikan.
Namun metode ini bukan tanpa kendala. Kalau dahulu jangkauan penerimaan siaran hanya dapat diperluas menggunakan repeater, tampaknya kendala jangkauan penerimaan siaran sudah dapat teratasi dengan adanya jaringan internet. Kendala mendasar yang belum sepenuhnya teratasi dari komunikasi yang menggunakan frekuensi bersama adalah adanya jammer (pengganggu). Seringkali, pada saat-saat genting, informasi penting (adanya bahaya) tidak dapat diterima dengan jelas oleh para petugas dan relawan karena terganggu oleh ulah jammers.
Semoga saja hal tersebut menjadi awal sebuah perubahan dari penanganan bencana di Indonesia yang terkesan lambat dan kurang terkoordinasi. Dan yang terpenting adalah semoga bencana-bencana ini menjadi pembelajaran yang berharga untuk media massa, para pengambil keputusan, petugas lapangan dan relawan, Â serta tentu saja kita semua yang tidak merasakan langsung bencana-bencana tersebut. Sudahkah kita benar-benar belajar? Apakah alam tidak juga dapat menyadarkan kita?