“Saya memang seorang hedonis, yang hidup untuk menempuh kenikmatan. Dan, itu adalah Seks.”
-Soesilo Toer
Aku tidak menyangka sosok sastrawan yang aku idolakan ditelanjangi dari dalam oleh adik kesayangannya sendiri yang pernah aku temui di PATABA beberapa bulan lalu. Kunjunganku memang untuk menapak jejak langkah idola pengarang terkemuka yang pernah dimiliki Indonesia itu langsung di rumah kelahirannya di Blora. Karena Pram sudah meninggal, aku bersama rekan-rekan penulis dari Solo mewawancari Soesilo Toer. Dan di buku terbarunya Pram dari Dalam, ia benar-benar membuatku terkejut dengan pengakuan serta pembeberan yang belum pernah diungkapkan oleh siapapun. Sangat personal buku itu.
Bagian-bagian menarik membuatku hanyut. Mendebarkan: sering miris. Tetapi ada bagian yang membuatku terpingkal-pingkal karena Pramsecara pribadi oleh adiknya sendiri dibuka dari dalam sekali tanpa ditutupi.
Pram menikah dua kali. Dari istri pertamanya lahir tiga perempuan. Pram diusir istrinya dan cerai. Sementara Soesilo menikah empat kali.
Memenuhi dorongan hormon dalam adegan percintaan bagi Soesilo adalah kenikmatan paling puncak yang dijalani sampai sekarang. Baginya hedonisme sesungguhnya adalah persenggamaan. Ia begitu menikmati legit dengan perempuan yang berkulit hitam manis. Istrinya sekarang. Dan walaupun terkena prostat, ia masih getol memerdekakan syahwat hedonismenya sampai mati. Walaupun ia menganggap dirinya gagal. Tetapi optimisme berupa semangat bekerja yang membuatnya bertahan.
Naluri seks bagi Soesilo Toer jika disalurkan dengan baik mampu melancarkan metabolisme positif yang selalu rindu dan membisu untuk dilakukan. Dorongan seks yang disalurkan mampu menyehatkan jasmani dan rokhani. Penyakit prostat menurutnya diakibatkan karena kurang lancarnya hubungan berumah tangga.
Buku ini kaya akan renungan. Pengetahuan penulis yang luas dengan terus menyinggung Pram benar-benar dari dalam membuatku tak bisa berhenti membaca. Disinilah aku meminum pengetahun sesungguhnya dari pengalaman eks tapol yang menisbahkan dirinya menjadi pemulung. Memulung memeroleh barang yang bernilai lebih absolut. Walau dirinya paham bahwa Indonesia adalah negeri makmur.
Berdasarkan motto sekolah yang didirkan ayahnya, Mastoer yaitu Belajar, Bekerja dan Berkarya membuat aku berpikir dan merenung: selama ini aku belajar, kemudian bekerja, dan aku berusaha berkarya sesuai dengan yang kuyakini.
Soesilo Toer ((2013: 104) lebih jauh memaparkan, “ada anggapan kerja tanpa bakat akan menghasilkan sesuatu yang wajar. Jika ditambah bakat akan memperoleh sesuatu yang fenomenal. Sebaliknya, kerja ogah-ogahan dengan bakat besar akan menghasilkan sesuatu yang tidak berarti.
Hard Skills dan Soft Skills harus digabung menjadi satu sehingga hasil pekerjaan menjadi sempurna.
Masalah seks adalah bagian dari kodrat, yang tidak bisa terpisahkan dari hidup kita sejak lahir. Nafsu adalah hidup itu sendiri. Dari banyaknya jenis nafsu, seks mungkin yang terbesar. Tanpa kursus semacam itu, untuk urusan yang bersifat mendasar ini, pasti akan pintar dengan sendirinya, (lihat hal. 108). Pram pulang dari Pulau Buru dengan badan seperti jago angkat besi. Namun bagi orang yang paham, ia hanya indah dibentuk, tetapi payah di manuk. Ia sudah tidak mampu melahirkan anak-anak badaniah lagi, (lihat hal. 115).
Mastoer membuang Mas dari namanya sehingga tinggal Toer, barangkali ingin disebut nasionalis. Anehnya, anak pertama Pram dari istri kedua menyandang nama Ananta Toer di belakang namanya. Artinya ia menjadi anak inses bapak Pram, walau lahir sesudah Toer mati lima tahun sebelumnya. Ia bangga dengan tansah ora enak rasane, walau kenyataannya ia bergelimang kekayaan dan kemewahan hasil keringat lelaki impoten yang hidup kesepian di tengah lautan manusia, istri anak dan cucunya. Sangat wajar ia ungkapkan dalam salah satu bukunya, Saya Terbakar Amarah Sendirian, (Lihat hal 145).
Akhir Hidup Pram
Halaman 196-199 adalah puncak penuturan akhir hidup Pram. Ini sangat tragis bagiku. Sangat tidak berperikemanusiaan istri dan anak-anak Pram. Sisa hidup Pram yang dihabiskan untuk mengkliping harus seperih itu. Pram ingin memperbaiki kuburan orangtuanya di Blora. Keinginan itu ditolak oleh istri dan anaknya: tidak ada dana. Alasan yang tidak masuk akal. Pengarang sebesar Pram sampai tidak dana? Oh sungguh kasihan.
Soesilo Toer menuturkan Pram ngambek. Tiga tahun kemudian setelah permintaannya ditolak ia ingin beristirahat di Blora, tapi ia minta pulang ke Jakarta. Pram kemudian tidak makan, hanya minum kopi dan wine ketika sampai di rumah sambil terus mengkliping. Bagi Soesilo ini adalah bunuh diri. Pram kecewa berat pada istri dan anak-anaknya.
Dengan tidak makan, Pram berusaha mengakhiri hidup. Mogok makan. Soesilo yakin seandainya Pram tidak mogok makan sampai sekarang mungkin Pram masih hidup. Pram meninggal tahun 2006.
Dua paragraf pamungkas tentang akhir hidup Pram digambarkan begitu satire. Ini aku kutip di halaman 243-244.
“Itulah hidup yang harus dia lakoni. Ia merasa telah berguna, tetapi tidak berguna. Dan hanya selangkah bedanya. Itu memang hanya jejak langkah manusia di bumi, yang akan menjadi cerminan anak-cucu semua bangsa dalam bingkai rumah kaca yang selalu akan menjadi tontonan buram untuknya sepanjang masa. Memang Pram bukan segalanya, tidak akan menjadi segalanya. Karena ia hanya manusia biasa, yang berbicara dengan bahasa manusia, yang pasti dibuat oleh manusia juga seperti dirinya. Tidak lebih tidak kurang.
Pram berdiri di antara karya dan keluarganya. Mampukah ia menjaga keseimbangan tubuhnya untuk harta bagi keluarga yang tidak suka membaca, kecuali foya-foya dan ketenaran nama demi keabadian bumi manusia. Sejarah akan membuktikannya dan kini sudah terbukti. Karena, Pram sudah tidak bisa melakukan kesempatan penyelamatan lagi, justru ia yang dilompati orang banyak kala penguburannya di Karet Bivak Jakarta, 2006. Termasuk anak-anak dan cucu-cucunya. Kepengarannya telah menyelamatkan hidup dan nyawanya, tetapi pada saat yang sama atas nama tugas nasionalnya dengan menulis pula ia dibantai oleh anak badaniahnya sendiri.”
Aku menghormati Pram tidak hanya atas karyanya, tetapi juga konsistensi sikap yang dibangun. Bahwa menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Tugas pribadi menjunjung tinggi kemanusiaan supaya cinta keadilan, keindahan dan mampu membangkitkan kepribadian. Tugas nasional bertanggung jawab mendidik bangsa agar Nusantara lebih baik dan sadar akan sejarahnya.
Kartasura, 2 Maret 2013