Predikat kota Yogyakarta sebagai kota pelajar menjadi tempat bertemunya para pelajar dan mahasiswa dari segala penjuru pelosok Tanah Air.Beberapa dari mereka merupakan penggemar kopi karena berasal dari daerah penghasil kopi seperti daerah Lampung,Aceh,Tana Toraja,Flores hingga Papua.Nah,para pelajar dan mahasiswa pecinta kopi tersebut ketika pulang kampung dan kembali ke kota Yogya selalu saling berbagi kopi dengan kawan-kawannya.Berawal dari saling berbagi kopi inilah terbentuk kebiasaan ngopi dari serbuk kopi bukan kopi instan sachet yang saat ini marak diwarung warung.Sementara di Yogyakarta sendiri juga memiliki produk kopi meskipun tidak banyak, seperti Kopi Merapi yang ditanam di lereng Gunung Merapi serta kopi Lingga yang ditanam di dataran tinggi Samigaluh,Kulonprogo.Kedua jenis kopi tersebut ditanam dengan menggunakan sistem tanam organik.
Kondisi tanah vulkanik di Pulau Jawa khususnya di wilayah Yogyakarta yang kaya nutrisi dengan sistem drainase yang baik memberi cita rasa unik dan berbeda dibanding kopi dari wilayah lain. Paduan karakter yang kaya aroma serta rasa herbal pada aftertaste, membuat Java coffee dipuja pencinta kopi di seluruh dunia.Untuk lebih mengenal sejarah kopi Jawa (Java Coffee) yang pernah menjadi ikon industri kopi dunia,berikut ini ringkasannya.
Tentu kita masih ingat dengan Cultuur-stelsel atau sistem tanam paksa yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1830-1870 di Pulau Jawa serta pulau pulau lainya. Pemerintah Belanda kala itu memaksa setiap warga di Pulau Jawa wajib menyediakan seperlima bagian tanah pertanian mereka untuk ditanami jenis tanaman ekspor,di antaranya kopi.Bagi rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian,mereka wajib bekerja di perkebunan milik pemerintah selama seperlima tahun (66 hari) tanpa upah sebagai pengganti pajak.
Belanda berhasil membudidayakan tanaman kopi arabika di Pulau Jawa sehingga wilayah ini jadi penghasil utama kopi dunia sekaligus sebagai benih awal kopi arabika yang ditanam di Amerika Tengah.Kopi arabika yang ditanam di Pulau Jawa berasal dari Ceylon (Sri Lanka),yang juga jajahan Belanda. Kala itu Belanda menemukan perkebunan kopi yang ditinggalkan para pedagang Arab ketika Ceylon dikuasai Portugis.Belanda kemudian menjadikan negeri ini sebagai kebun penelitian tanaman kopi.Di sinilah ahli botani Carolus Linnaeus menemukan sistem budi daya tanaman kopi.Linnaeus menamakan genus tanaman itu Coffea arabica. Kata "Coffea" diambil dari kata "qahwa", sedangkan "arabica" ditambahkan karena Linnaeus mengira tanaman itu berasal dari Arab, sebab ditanam pedagang Arab yang sempat bermukim di Ceylon.Genus tanaman ini dibawa Henricus Zwaardeeroon untuk ditanam di Pulau Jawa pada 1699, tahun yang disepakati industri kopi Indonesia sebagai titik awal tanaman Coffea arabica atau kopi arabika mulai ditanam di Indonesia. Seiring penyebaran tanaman kopi ke berbagai negara, masyarakat dunia menyebutnya sebagai coffea arabica atau arabica coffee (kopi arabika).
Pada 1707 di Batavia, Gubernur Jenderal VOC, Willem van Outshoorn,mengundang Bupati Priangan untuk dilibatkan dalam budi daya tanaman kopi di Pulau Jawa. Bupati diminta menanam dan menjaga volume produksi kopi yang hasilnya akan dibeli VOC.Setiap pikul kopi (sekitar 61 kilogram) dari Bupati Priangan akan dibeli VOC seharga 5-6 ringgit Belanda. Perjanjian dagang antara VOC dan Bupati Priangan dalam komoditas kopi ini disebut Koffiestelsel,titik awal Coffea arabica ditanam dalam skala perkebunan besar,yang melibatkan bupati serta penduduk pribumi di Priangan.Hasilnya sebanyak 400 kilogram kiriman kopi perdana Bupati Cianjur Aria Wiratanudatar dibawa VOC ke Balai Lelang Amsterdam pada 1711.Kopi tersebut berhasil memecahkan rekor harga lelang tertinggi dan menempatkan Pulau Jawa sebagai wilayah penghasil kopi di luar Mocha.Sekitar 10 tahun kemudian,di Priangan Barat,terutama di Kabupaten Cianjur tumbuh lebih dari 1 juta pohon kopi,sehingga produk kopi dari Pulau Jawa mulai mendominasi Pasar Eropa dan populer dengan nama Java coffee.
Apresiasi pasar terhadap produk kopi dari Pulau Jawa tetap bertahan meski 200 tahun lebih Java coffee diperkenalkan dan diterima sebagai a high grade coffee.Inilah yang membuat "Java" identik dengan kopi, bahkan menjadi pengganti kata kopi di industri kopi dunia.
Nah,salah satu tempat ngopi di kota Yogya yang menyajikan Kopi Jawa adalah Prada Coffee Shop, yang lokasinya bersebelahan dengan toko buku Toga Mas di kawasan Kota Baru.Nama Prada ini tidak ada kaitannya dengan merk tas yang digandrungi kaum hawa yang harganya membuat banyak orang tercengang.Menurut penuturan dari mas Koko selaku pemilik sekaligus baristanya, kata Prada ini kalau orang Jawa membacanya menjadi Prodo.Bagi yang mengenal proses pembuatan kain batik, pasti akan menemukan adanya goresan emas.Nah,goresan emas itulah yang namanya Prodo.Artinya mas Koko ini ingin menggoreskan tinta emas di dunia perkopian di kota Yogyakarta ini.Cita cita mulia yang harus diperjuangkan.
Awalnya saya penasaran dengan cerita seorang teman yang pernah mampir ke Prada ini menceritakan nikmatnya minum kopi Jawa yang diracik langsung ditempat.Sebagai pecinta kopi kemasan,cerita teman tersebut membuat saya kepengin menikmati sensasi ngopi yang berbeda. Beberapa hari yang lalu saya sekeluarga berkesempatan mengunjungi Prada Coffe Shop ini setelah sebelumnya mampir ke toko buku disebelahnya membelikan buku untuk si sulung. Malam itu suasana di Prada sudah lumayan ramai,beberapa tempat duduk sudah terisi dengan penikmat kopi,ada yang ngobrol dengan sesamanya,ada juga yang asyik sendirian dipojokan melototin laptopnya sambil berselancar di dunia maya dengan memanfaatkan fasilitas free wifi-nya.