ilustrated by ney
Kembali ku pejamkan mataku mencoba untuk segera terlelap. Sudah hampir dua jam ini aku terbaring dan waktu sudah menunjukkan jam 2 dini hari. Pikiranku aku harus segera tertidur untuk recharge power buat kerja esok hari. Ku rapatkan selimutku, ku coba menghalau bayangmu. Teringat kembali aku dengan kata-katamu tadi.
“Maafkan aku, ku rasa aku juga sudah berusaha sebaik mungkin menyayangimu, tapi ternyata jika usahaku kurang…. Aku hanya manusia biasa,” katamu.
“Bukan, bukan seperti itu…. Aku tau dan menyadari kamu manusia biasa, tapi kamu sepertinya bahkan tidak melakukan usaha apa-apa…” kataku setengah menangis. Gemas sekali aku seolah kamu benar-benar tidak mengerti apa yang ku maksud.
“Bagaimana sih…”
“Kamu ini…. Sulitkah bagimu untuk tau perempuan itu seperti apa? Apa kamu benar-benar tidak mengerti? Atau kamu sengaja mencari pertengkaran… “ aku sudah tidak kuasa menahan air mata. Beberapa saat kita terdiam dan kamu masih saja mengacuhkanku dan air mataku, padahal aku ingin sekali dipeluk dan ditenangkan untuk meredam emosiku, tapi kamu hanya diam. Bah, aku benar-benar semakin lebih jengkel.
“Aku harus bagaimana…” katamu setengah berbisik kemudian.
“Dengar ya…. Biarkan aku bercerita, jangan kau bantah, dengarkan saja… lantas kau ambil kesimpulan dari ceritaku…”
“Jangan pojokkan aku.” Kamu menjawab seolah berkelit dengan ekspresi yang membuatku terpancing emosi.
“Kamu jangan mulai lagi… dengarkan aku dulu bercerita… belum-belum kamu sudah defense… gimana kamu bisa ngerti?” ujarku menahan amarah yang mulai muncul lagi.
“Kamu emosional….” Bantahmu lagi
“Just listen to me or I will not tell you anything!”
“….hmm…”
“Kamu tahu, sejak kamu memintaku menjadi istrimu, aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk menjadi yang terbaik untukmu. Melakukan apa yang kau minta dan menjaga rasa kita dan apa yang sudah kita bina untuk masa depan. Kau tahu, cinta itu untuk terus dipupuk setiap hari. Tidak begitu saja. Begitu aku sudah menjadi milikmu tidak kau abaikan begitu saja. Bukan aku nuntut terlalu banyak. Kau lihat saja gimana dulu kamu kejar aku sedemikian rupa, kau tarik perhatianku sedemikian rupa… jangan anggap kayak lagu… tapi begitulah keadaannya…”
“Kau sekarang hanya sibuk dengan dirimu saja… seolah kau lemparkan kebahagianmu menjadi tanggung jawabku. Asal aku diam dan berada dalam jangkauanmu kau baik-baik saja dan bahagia. Jika aku bertingkah normal, bikinin kamu apalah, kopi atau makanan.. atau ngurusi keseharianmu itu adalah hal normal bagimu, tapi kamu tak pernah berterima kasih untuk itu. Jika aku lalai sedikit saja karena aku capek atau sakit atau jenuh kamu bisa cuek ke aku dan cemberut seharian, seolah aku sudah melakukan kesalahan besar dan mengecewakanmu…”
“Tapi fungsiku tidak itu saja…. Aku juga manusia. Aku tidak saja ada untuk ngurusi segala tetek bengekmu. Aku juga ingin ngurusi diriku sendiri, aku juga punya kerjaan, aku juga punya kesukaanku sendiri…”
“Tapi yang lebih dari itu semua, prioritasku adalah kebersamaanku bersamamu, tapi seolah kamu gak anggap penting itu semua…. Selalu saja kamu seolah berkata dan bersikap hanya kamu saja yang paling penting…”
“Aku lelah seolah aku seperti berusaha sendiri menjaga semua tetap normal… jika aku penting bagimu, hargai aku seakan kamu enggan kehilanganku satu detik pun…”
Bah, panjang banget…. Aku gak tau kamu bisa ngerti atau tidak…
“Jadi kamu ingin aku berterima kasih padamu atas apa yang udah kamu lakukan… aku kan tidak memintamu melakukannya, kalau kamu enggan melakukannya ya jangan dilakukan… kamu ini masih nuntut aja.” Katamu sambil mulai menyalakan rokokmu. Aku sudah down lagi… kamu benar-benar tidak mengerti. Setidaknya, aku sudah tidak menangis lagi, hanya perasaan sedih yang teramat sangat sampai sekarang yang sangat menusuk hati.
“Sudahlah…” aku jadi enggan bicara sampai sekarang. Jika kamu sudah mengerti apa yang sudah ku ucapkan tadi, semoga kamu segera kangen aku dan mencariku untuk menemani hidupku lagi. Bagiku kau tetap yang terindah untuk aku tetap menambatkan hatiku.