"De, orang lain sudah melesat dengan pembelajaran kontekstual," demikian bunyi chatnya.
"Wah, hebat. Saya masih jalan di tempat, Om!" balas penulis dengan emoji malu.
"Coba dengarkan pupuh sunda ini. Barangkali bisa menginspirasi!"
"Siap!"
Paman mengirimkan pupuh sunda yang sudah dikreasi liriknya dengan konteks yang sesuai dengan lingkungan budaya setempat.
"Wah, kreatif, ya, Om!" penulis berdecak kagum saat mendengarkan pupuh kreasi tersebut.
"Iya, saatnya kita berkreasi juga!"
"Kita mau bikin pupuh kontekstual juga, Om?" tanya penulis antusias.
"Ya, coba bikin lirik pupuh, semampunya saja!" paman mengakhiri chatnya.
Seharian itu, penulis menyimak pupuh kreasi, dan ternyata sangat menarik.
Dilansir dari posbaru.com pupuh adalah karya sastra suku Sunda yang menggabungkan seni sastra dan lagu sunda serta mempunyai rima dan jumlah suku kata yang membentuk pola di setiap padalisan/larik yang diikat dengan patokan yang baku.
Ada 17 jenis pupuh Sunda yang dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Sekar Ageung dan Sekar Alit.
Yang termasuk Sekar Ageung ada empat pupuh, yaitu: Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Pupuh Sekar Alir terdiri dari: Pupuh Lambang,. Pupuh Maskumambang,. Pupuh Pucung,. Pupuh Ladrang, Pupuh Balakbak, Pupuh Pangkur, Pupuh Magatru, Pupuh Jurudemung, Pupuh Mijil, Pupuh Wirangrong, Pupuh Gurisa, Pupuh Gambuh, dan Pupuh Durma.
Kuamati patokan Kinanti yang terdiri dari enam padalisan/larik di setiap pada/baitnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Larik kesatu 8u
Larik kedua 8i
Larik ketiga 8a
Larik keempat 8i
Larik kelima 8a
Larik keenam 8i