“mbak….bisa minta tolong ga?” suara itu mengagetkan saya yang sedang asik menggulung pita – pita sisa sulaman sore tadi.
Bergegas saya menuju pintu dan mendapati Nining, adik kos saya yang kamarnya paling ujung bersender pucat di tembok.
“mbak..bisa minta tolong anter aku ke dokter??”suaranya lirih…dibawah temaram lampu teras bibir yang biasanya ceriwis itu tampak pucat kuyu.
“kamu kenapa…”saya gugup sambil memegang tangannya yang dingin.
“kepalaku pusing banget mbak..badankku lemes”tiba- tiba tubuhnya merosot ke lantai..tangan saya yang kecil tak sanggup menahan tubuhnya. Terseok saya pandu tubuh itu ke kamar. Lalu saya mencari bantuan ke teman2 di lantai satu yang masih terjaga. Menggosok tangannya dengan minyak kayu putih, beberapa teman lalu berinisiatif membantu mengantar ke RS, karena memang tidak ada dokter praktek yang masih buka di jam segitu. Bertiga kami naik taksi berbekal gugup dan kuatir membawa Nining mendapatkan petolongan dokter. Ternyata semua disebabkan Nining kelelahan. Saya hanya bisa memaklumi itu. Aktifitasnya memang sangat padat, bahkan terlampau padat untuk ukurannya sebagai mahasiswa.
Nining Wulandari, gadis kelahiran 23 desember 23 tahun yang lalu. Dia seorang penari dan disisi lain Saat ini dia juga menempuh kuliahnya di jurusan tari istitut Seni Surakarta. Aktivitasnya dimulai Pukul 7.30 pagi hingga siang dia menjalani kewajibannya menuntut ilmu di kampus, setelah itu bersiap menjalani sesi latihan untuk produksi dari para koreografer senior di atasnya hingga maghrib. Malamnya jika musim pesta atau event dia masih “ketiban sampur” menari di acara- acara pernikahan dan event – event lainnya. Jangan pernah berharap hari minggu akan bertemu dia di kos atau mengajaknya jalan – jalan ke mall, karena hampir setiap pesta pernikahan dilaksanakan hari minggu.
Dan hari itu, Nining sudah merasakan tubuhnya kewalahan sejak pagi. Namun kontrak menari sudah dia terima jauh – jauh hari. Dia tak mau di anggap tak profesional. Job itupun dia jalani.
Menari bukanlah perkara mudah, meski itu dia lakukan hampir setiap hari. Butuh energi dan stamina yang prima. Namun inilah yang dia sebut tanggung jawab. Nining menyelesaikan tarian srimpi hari itu dengan sempurna walau mungkin tak segesit biasanya. Roncean melati tak mampu membuatnya lebih segar, tubuh itu ambruk ketika sampai di kamar kosnya yang sederhana. Sampai akhirnya dia tak sanggup bertahan da lalu mengetuk pintu kamar saya malam itu.
Fenomena Nining di atas hampir setiap hari saya lihat di tempat ini. Mahasiswa yang nyambi menjadi penari, mahasiswa yang nyambi menjadi pesinden, mahasiswa yang nyambi menjadi penabuh gamelan pengiring dalang. Mereka melakukannya dengan senang hati, masalah ekonomi bukan semata – mata yang mereka cari. Memang sebagai mahasiswa yang menggeluti bidang ilmu yang berhubungan dengan skill seperti mereka, jam terbang menjadi hal yang sangat dipertimbangkan ketika mereka akan bergabung dalam sebuah produksi. Mereka percaya Semakin banyak mereka memiliki jam terbang menari, nyinden atau ikut nabuh gamelan pementasan wayang (apalagi dalang terkenal) maka kemungkinan terkenal dan laku di jagat kepenarian, sinden maupun pedalangan juga akan semakin lebar.
Satu hal yang saja mereka lupa, ragawi mereka bukan benda otomatis yang senantiasa stand bye dan tak kenal aus. Setidaknya Nining dkk harus belajar banyak dari pengalaman ambruk seperti ini. Ketika kapasitas tubuh tak mampu lagi, maka jangan dipaksakan untuk terus mempekerjakannya. Semua ada batas dan masa kadaluarsanya.
Dan hari ini, Nining mengemas “alat tempur”nya kembali. Sebuah acara pesta pernikahan mengundangnya memberikan sajian indah dari gemulai tangan – tangan lentiknya. Nining kembali berjuang, Menekuni langkah dan mensyukuri nasib, walaupun kadang banyak kemerdekaan yang terasa terenggut. Namun buah perjuangan itu mulai nampak, setidaknya kini Nining tak lagi menengadahkan tangannya kepada orang tua untuk membeli bedak dan lipstik. Bahkan untuk benda- benda kesenangan lain Nining mampu memenuhinya secara mandiri, bahkan membawanya melanglang buana hingga ke luar negeri.
Di altar mungil pojok kamarnya nining memejamkan mata menghadap memohon restu sang hyang widi wasa. Setangkai dupa dan sekelumit do’a mantra suci menyertainya membuka perjalanan pagihingga malam nanti.
Menarilah dan terus tertawa…
Walau dunia tak seindah surga….
Bersyukurlah pada yang kuasa……..
Cinta kita di dunia…selamanyaaa…..