"Daddy, hari Rabu aku ada tugas ke Palembang, mungkin pulangnya Sabtu," lapor saya suatu ketika pada suami melalui pesan WhatsApp seraya melampirkan tiket pesawat dan jadwal agenda kegiatan.
"Ok," balasnya.
"Perlu panggil enin nggak buat urus anak-anak?" tanya saya memastikan. Enin adalah ibu saya, yang biasa dipanggil enin oleh cucu-cucunya.
"Nggak usah. Daddy bisa kok urus anak-anak. Nggak enak ntar ngerepotin enin. Enin udah tua, ntar kecapean," katanya.
"Yakin bisa?" tanya saya memastikan, yang dijawab "yakin". Ia meminta saya untuk meneleponnya subuh agar tidak telat mengurus anak-anak.
Maklum, walaupun ada mbak yang membantu, tetapi dia tidak menginap. Ia akan tiba di rumah jam 7 pagi, kadang lewat. Jadi, saya tidak bisa terlalu mengharapkan si mbak mengurus anak-anak saya sekolah.
Ternyata, suami saya bisa juga mengurus anak-anak. Ketika saya telepon, suami saya mengaku tengah menyiapkan air hangat buat mandi si kecil. Terdengar suara anak saya memanggil-manggil saya.
Saya pun tenang dan fokus pada kegiatan saya. Tak lama suami pun "melaporkan" kalau anak-anak sudah sarapan, dan si kecil sudah dijemput mobil jemputan.
"Anak-anak sudah sarapan bun, daddy buatin telor ceplok sama telor dadar," katanya sambil mengirimkan foto anak-anak yang tengah sarapan.
"Bocil (bocah cilik) sudah dijemput. Kakak Putik sama Kakak Najmu biar aja daddy yang antar, nggak usah pesan ojek online," kata suami saya lagi.