hatinya tengah gundah, berulang kali ia menelan ludah, lara yang sudah-sudah, ternyata dijalaninya tak mudah, sampai kelu lidah, mengapa ini tak indah?
"aku mencintaimu segenap rasa, ini bukan cinta biasa, hidup tanpamu aku tak bisa, aku tak kuasa, sungguh aku tersiksa," katanya lirih menuliskan prosa.
rindunya selalu menjelma, tak mampu lagi dipendam sekian lama. "mengapa kita tak bisa bersama? bukankah kita selalu seiring seirama?" bisiknya menyebutkan nama.
meski dia ada di pulau seberang, cintanya yang dulu masih sama sampai sekarang, kian kuat bagaikan batu karang, di hatinya hanya dia seorang, tak ada yang bisa melarang.
"bila bukan cinta, mengapa di hatiku kau selalu bertakhta? dan rasa sayangku kian nyata? sungguh tiada dusta," ujarnya menggoreskan kata, dalam secarik kertas bertinta.
di bongkahan batang, tubuh seorang pria telentang, menatap langit membentang, di malam tanpa bintang, "kapan kau datang?" ingin dia berteriak lantang, namun hatinya menentang.
"ucapkan saja cintamu itu, biar kau dan dia bisa bersatu, jangan kau buang waktu, jangan sampai tertutup pintu, nanti kau tak mendapatkan restu," kataku menggerutu.
aku menatap wajahnya, aku tahu dia bukan lelaki buaya, yang banyak tingkah banyak gaya, sungguh aku tak percaya, dia begitu tak berdaya, seperti orang teraniaya.
"jangan biarkan dia pergi, jangan sampai terulang lagi, jangan kau buang energi, kau pilih sakit hati atau sakit gigi? temui dia esok pagi," suaraku agak meninggi.
cinta itu butuh perjuangan, butuh kepastian, butuh pengorbanan, seperti rangkaian puisi yang setia menampung curahan rasa, seperti  setianya rembulan pada malam