***
Syukurlah saya bukan tipe orang yang gampang panik. Mungkin karena saya pekerja lapangan yang sudah saya tekuni selama 25 tahun terakhir ini dan kerap melihat keadaan di sekitar sehingga cukup "mendewasakan" saya dalam berpikir dan bertindak. Bagi saya kepanikan akan mengikis nalar kewarasan saya sehingga menyulitkan saya untuk berpikir jernih.
Kebetulan pula saya bukan tipe perempuan yang "lapar mata" atau konsumtif, yang belanja ini belanja itu tanpa perhitungan. Saya bukan tipe orang yang suka beli-beli barang yang tidak sesuai skala prioritas atau sesuai kebutuhan. Saya selalu mengajarkan anak-anak saya untuk berbelanja sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Terlebih dalam keadaan pandemi Covid-19. Karena faktanya, apa yang kita inginkan belum tentu sesuai dengan yang kita butuhkan.
Dan, kebetulan juga saya bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan waktu yang tak jelas atau menyediakan waktu khusus untuk nongkrong. Saya lebih suka menghabiskan waktu bersama anak-anak di rumah. Jadi, setelah menuntaskan tugas pekerjaan, saya lebih memilih pulang daripada "mampir-mampir", kecuali untuk urusan pekerjaan.
Bagi saya berkumpul bersama kawan-kawan yang berbeda kantor dalam satu kegiatan yang sama dalam rangka pekerjaan, saya artikan sama saja dengan nongkrong atau hang out. Ini menjadi hiburan tersendiri buat saya. Biasanya, kegiatan yang kami hadiri di lokasi berbeda-beda. Kadang di mall, sekolah, pasar, perkantoran, kafe, restoran, hotel, tempat wisata, bank, terminal, pelabuhan, bandara, kampus, bahkan di tempat kumuh sekalipun semisal tempat pembuangan sampah atau lokasi kebakaran.
Semuanya itu saya anggap ya nongkrong. Bekerja sambil hang out sambil berkumpul bersama kawan-kawan sambil bercerita, bercanda, tertawa, plus mendapat wawasan tambahan atas hasil kerja hari itu. Tentunya sambil ditemani aneka kudapan dan minuman. Saya happy, kawan-kawan saya happy. Keluarga saya happy. Semua happy.
Jadi, ketika pandemi Covid-19 memaksa kita akhirnya harus "lock down" ya saya tidak panik. Saya biasa-biasa saja. Toh selama ini pekerjaan saya juga tidak mengharuskan saya harus ke luar rumah setiap hari. Tergantung penugasan saja. Kalau tidak ada penugasan ya saya stay at home. Laporan saya kerjakan di rumah. Jadi kalau selama tiga bulan lebih di rumah saja, ya saya anggap saja saya sedang tidak ada penugasan ke lapangan, meski kerja tetap dari rumah (work from home).
Kalau pun ada rasa khawatir menurut saya masih dalam batas wajar. Saya artikan masa pandemi ini waktunya saya untuk lebih banyak meluangkan waktu untuk anak-anak. Lebih mempererat bonding saya dengan anak-anak, juga suami. Jadi, bisa mendampingi anak-anak mengerjakan tugas-tugas sekolah atau mendengarkan segala keluh kesahnya. Saya ajak anak-anak untuk lebih mendekatkan diri dengan Allah, Tuhan Pemilik Kehidupan.
Terkadang kepala saya mumet juga ketika saya mendapati anak-anak bercanda yang ujungnya "bertengkar" dan ada yang menangis, biasanya anak bungsu saya yang baru berusia 9 tahun. Sebisa mungkin membawa suasana yang nyaman karena kenyamanan juga mempengaruhi daya tahan tubuh.
Ketika saya melihat orang-orang memborong kebutuhan pangan, di awal-awal pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), saya tidak lantas latah ikut-ikutan. Saya malah heran, apakah harus sampai sebegitunya? Dengan memborong banyak makanan? Saya hanya tidak ingin kalau bersikap seperti itu akan membuat barang-barang jadi langka, kalau pun ada harganya pasti mahal. Tentu yang ngomel bukan orang banyak, tetapi saya juga.
Saya hanya berbelanja di warung tetangga atau minimarket atau di lapak gerobak sayuran yang mangkal di depan kompleks rumah. Saya juga berbelanja tidak tiap hari. Saya membatasinya untuk stok sepekan. Jadi seminggu kemudian saya baru ke luar rumah untuk berbelanja kebutuhan nutrisi keluarga. Selama 4 bulan terakhir ini saya malah belum sekalipun menjejakkan kaki di supermarket.
Dengan cara seperti itu, saya bisa membatasi interaksi saya, membatasi peredaran uang saya mengingat uang menjadi salah satu perantara penularan virus Corona. Saya juga tidak perlu tiap hari ke luar rumah untuk menjaga diri saya dan keluarga dari terpapar Covid-19.
Ketika gaji suami dipangkas perusahaan tempatnya bekerja akibat efek Covid-19, saya juga tidak panik atau khawatir berlebihan atau marah-marah. Kebetulan saya buka tipe istri yang suka menuntut macam-macam minta dibelikan ini belikan itu, kecuali untuk kebutuhan anak-anak (suami saya pasti bersyukur mendapatkan istri "sebaik" saya). Kebetulan saya juga punya penghasilan sendiri, jadi saya masih bisa memenuhi kebutuhan nutrisi anak-anak dan saya pribadi tanpa harus meminta pada suami.
Saya juga tidak terpengaruh untuk mengambil uang simpanan secara "besar-besaran" (rush). Biasanya kalau sudah dalam keadaan terdesak, dan stok uang di tangan benar-benar menipis, baru saya melakukan tarikan tunai. Itu pun juga seperlunya sesuai kebutuhan. Saya ingin ikut andil menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Tindakan kecil sih tapi menurut saya cukup membantu pemerintah.
Perilaku saya itu hanya ingin ikut berperan serta menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Kalau saya ikut berkontribusi menciptakan ketidakstabilan sistem keuangan, maka saya sebagai bagian dari masyarakat juga akan terkena dampaknya yang bisa berimbas pada keluarga saya. Tentunya saya tidak ingin kembali mengulang kisah kelam saat krisis moneter melanda negeri kita yang tercinta ini.
Dalam menjaga SSK, memang menjadi tugas Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral dengan menjaga stabilitas moneter serta stabilitas keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Namun, untuk menjaga kestabilan sistem keuangan, tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah dan berbagai lembaga keuangan seperti Bank Indonesia, tetapi juga seluruh masyarakat, termasuk saya di dalamnya. Dengan begitu, inflasi serta berbagai krisis keuangan lainnya dapat dihindari
Kalau berbelanja di minimarket saya lebih sering melakukan transaksi secara online. Bisa secara debit, bisa pakai e-money semisal Gopay dan Ovo. Ya seperti biasa sebelum Covid-19 mendera. Jadi sebenarnya tidak ada perbedaan mencolok bagaimana saya saat bertransaksi keuangan. Oh iya, saya tidak punya kartu kredit. Jaman begini tidak punya kartu kredit? Saya hanya ingin membiasakan diri saja untuk tidak berhutang dalam memenuhi suatu kebutuhan.
Saya juga menerapkan kepada diri saya untuk bijak berperilaku dalam media sosial. Sebagai pekerja lapangan, saya terbiasa membaca berita di online. Kalau berita yang saya baca bermanfaat untuk diketahui publik biasanya saya share ke Facebook (Neng Sari) -- satu-satunya media sosial saya. Kebetulan saya tidak punya twitter, Instagram, atau yang lainnya. Jadi saya tidak perlu dipusingkan oleh postingan-postingan yang tidak penting.
Begitu pula saat saya menyikapi informasi yang dibagi di group WhatsApp. Jika setelah ditelusuri kebenarannya dan ternyata informasi tersebut hoax, saya meminta teman yang memposting untuk menghapusnya. Saya juga meminta anggota group untuk tidak membagikan lagi postingan tersebut. Kalau sudah terlanjur membagikan, saya minta segera untuk menghapusnya. Saya juga menghimbau sebelum mengshare informasi tersebut harus mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu, dan harus dipikirkan pula manfaat tidaknya postingan itu.
Demikianlah pengalaman saya "berperilaku cerdas di tengah ketidakpastian". Sejauh ini sih berjalan lancar tanpa ada hambatan berarti. Semoga saja "ketidakpastian" ini mampu menuntun kita untuk beradaptasi dan mencari cara positif bagaimana kita harus menyikapinya jika suatu ketika kembali menghadapi "ketidakpastian".