Kepada Gadis Anindita, Maaf kalau saya lancang dengan surat ini. Maaf sekali. Namun menurut saya, tulisan tangan ini lebih sopan ketimbang surat elektronik. Saya ingin kamu tahu Tulisan tangan saya. Saya ingin kamu tahu betapa menggebunya saya menulis surat ini. Akh, mungkin kamu tidak akan sadar. Gadis, maaf saya menggunakan cara 80-an begini dengan mengirim surat. Tapi saya tahu, kamu adalah gadis modern berpola pikir 80-an. Saya tahu saya selalu kuno, tapi saya tahu kalau kamu suka sesuatu yang klasik dan kuno. Jadi surat ini tidak mengapa ya? Jam ini jam tidur saya Dis. Biasanya saya begitu lelah untuk tetap membuka mata dan butuh istirahat. Hari saya penuh dengan kegiatan mencari pahala, ilmu dan uang. Sembilan jam bahkan lebih saya habiskan untuk memenuhi kewajiban saya di perusahaan itu. Saya begitu bersemangat, Dis, karena saya ingin keluarga saya suatu hari nanti bisa hidup cukup tanpa kekurangan yang pokok. Tapi hingga dua jam masuk hari selasa, saya masih tidak bisa tidur, Dis. Saya malah membuka folder-folder di dalam laptop saya, melihat lagi foto-foto kamu yang sungguh banyak. Mukamu cerah dan seneng banget Dis, waktu kita pergi ke TMII. Maaf saya tidak punya keberanian untuk ajak kamu pergi. Hari itu kamu yang ajak saya ke tempat yang kamu suka. Saya tahu, kesukaanmu tidak jauh dari TMII, Kebun Binatang, taman hijau, Planetarium, tapi saya tidak pernah punya keberanian untuk ajak kamu. Padahal hati saya begitu melonjak kegirangan ketika kamu mengeluarkan kata-kata sakti “hari ini jalan-jalan yuk!”. Kamu itu kuno, Dis. Dan saya mengagumi ke-kuno-an mu. Saya menikmati sekali bekal-bekal makanan yang selalu kamu bawa dari rumah saat kita pergi jalan-jalan. Hanya bekal sederhana, nasi dan perkedel, atau nasi dan chicken nugget. Tapi saya begitu menyukainya. Duduk di taman rekreasi, sambil makan bekalmu itu sungguh kenikmatan untuk saya. Saya kebingungan menanggapi segala pertanyaan dan celetukanmu yang asal, namun saya selalu berusaha menjawab kamu, Seaneh apapun jawaban dan pertanyaannya. Saya selalu suka gaya dan tawamu yang lepas itu. Saya kaget waktu saya tanya, kalau boleh berandai-andai, apa yang kamu mau dapatkan di sepuluh tahun kedepan? Jawaban kamu adalah, kamu ingin jadi ibu rumah tangga yang mengurus keluarga dengan baik. Kamu ingin membesarkan anakmu dengan tangamu sendiri. Ini 2010, Dis!. Kamu sungguh 80-an. Ini era nya wanita karir!. Tapi saya bersyukur mendengar jawabanmu. Saya begitu terharu ketika suatu hari saya sakit, dan pagi-pagi kamu sudah ada di rumah saya. Kamu bawakan bubur ayam yang kamu beli di ujung gang rumah kamu, ditambah beberapa kaleng susu steril yang rutin kamu minum. Kemudian kita sarapan bersama orang tua saya. Saya melihat rona bahagia di wajah mereka, ketika mendengarkan kamu bercerita kalau kamu dikejar anjing saat menuju rumah saya. Maaf merepotkan, dan saya sungguh terharu. Saya suka cara jalan kamu yang tak segaris seperti model, bahkan beberapa kali kamu hampir jatuh tersandung saking cueknya kamu. Saya suka cara tertawa kamu yang lepas dan suara tawa kamu yang keras. Saya suka pada celotehanmu yang sering membuat saya yang jarang terpingkal ini tertawa hingga sakit perut. Saya suka pada pertanyaanmu yang aneh,namun membuat saya berfikir untuk mencari jawabannya. Namun saya tidak suka ketika kamu bercerita tentang orang-orang yang menyakiti kamu. Saya tidak suka mendengarkannya. Saya tidak bisa membayangkan kamu ada di posisi itu dan menghadapinya. Saya ingin melindungi kamu, saya ingin ada untuk kamu. Maaf ya, Dis, saya membuat hubungan kita berjarak. Jarak yang sebenarnya memang jauh, juga jarak antar perasaan kita. Saya merasa begitu pengecut hingga saya tega tidak membalas sms kamu. Saya merasa saya keterlaluan ketika saya menjawab teleponmu dengan hanya bicara sekedarnya. Maaf, Dis. Selain kegiatan saya disini sedang begitu padat, saya juga tidak tahu harus balas apa. Saya begitu kaku, saya begitu bingung harus membalas apa. Maaf Dis, saya gengsi. Saya begitu tega menggantungkan hubungan ini. Sungguh saya berharap dengan kamu, dan saya berharap kamupun begitu. Maaf sikap saya membuatmu jauh. Saya tidak pernah terganggu denganmu. Saya justru senang dengan segala “gangguanmu”. Maafkan ketololan dan kebodohan saya yang tega membiarkan kamu berharap disana, tanpa ada kepastian apapun. Maaf Dis… Saya merasa kamu begitu berharga. Kamu tidak pernah memberi saya janji atau mimpi apapun, tapi kamu memberikan saya kehidupan. Kamu membuat saya merasa begitu hidup. Kamu menggerakkan sisi manusiawi saya, tentang apa itu merasa membutuhkan dan ingin dibutuhkan, merasa diinginkan dan menginginkan. Saya suka kepolosan kamu dan ketulusan sikap kamu yang tak dapat saya gambarkan. Sungguh saya minta maaf atas sikap saya selama ini yang seperti membuat jarak dan membuat kamu menjauh. Saya tahu saya bodoh, dan akan lebih bodoh lagi kalau surat ini tidak saya tulis dan kirimkan ke kamu. Saya sayang dan cinta kamu, Dis. Selama satu tahun di Biak, ada tiga orang yang selalu ada di benak saya. Mereka orang tua saya, dan kamu. Ya, saya merasa kamulah orangnya. Akhir bulan ini tugas saya selesai. Saya sungguh berharap ketika saya kembali ke Jakarta lagi, bukan hanya ayah dan ibu saya yang menantikan, tapi kamu juga menunggu saya. Beberapa minggu lagi, dan akan saya bayar segala perasaan bersalah saya ke kamu. Tama Putera Akbari
KEMBALI KE ARTIKEL