Dari mulai anda menginjakan kaki untuk berperkara yaitu mendaftarkan surat kuasa, anda pasti diminta untuk menyetorkan sejumlah uang, yang biasa dinamakan biaya administrasi. Biaya pendaftaran surat kuasa yang sebetulnya tidak ada dalam SOP Pengadilan Negeri/TUN.
Untuk mereka para Pengacara/advokat yang berhonor bisa ratusan dollar per menit, uang seratus, dua ratus ribu bahkan mungkin bisa sampai 1 juta, memang tidak ada harganya, tapi untuk para petugas macam aku yang berasal dari instansi pemerintah dan gajinya sudah bisa diitung dengan jari, biaya ini sangatlah membebani.
Kelakuan para petugas di bagian pendaftaran surat kuasa ini, dari tahun jebot sebelum angin reformasi berhembus, hingga sekarang ketika reformasi birokrasi yang katanya sudah ditegakkan, ternyata masih tetap punya mental sama yaitu mental pengemis. Aku nyatakan demikian karena mereka sering terang-terangan tanpa malu-malu meminta biaya administrasi. Jika biaya tersebut resmi dari lembaga peradilan seharusnya mereka mau mengeluarkan kuitansi, sehingga aku tidak kesulitan untuk mengklaim ke kantor, berapapun biaya yang diminta. Namun kenyataannya, mereka dengan tidak malu-malu pula menyatakan bahwa tidak dapat mengeluarkan kuitansi. Entah di daerah mana sekarang ini kebiasaan petugas administrasi di bagian pendaftaran surat kuasa ini sudah tidak lagi bertingkah macam preman, coba saja barangkali ada pembaca yang mengetahuinya.
Kejadian yang baru kualami kemaren siang di sebuah lembaga peradilan, dapat aku ceritakan dalam dialog berikut:
Aku : siang pak, saya mau ambil surat kuasa yang sudah didaftarkan oleh rekan saya, untuk saya serahkan kepada panitera.
Petugas : oh iya bu, tapi Maaf bu, sebelum ibu ambil surat kuasa ini, saya beritahu bahwa ada biaya administrasi
aku : ooh, berapa biayanya, pak?
Petugas : serelanya saja bu.
Aku : iya tapi berapa ya pak, saya gak punya uang kalau harus bayar banyak-banyak, dan kalau memang ada biaya administrasi tolong kasih saya kuitansi supaya saya bisa mengklaim ke kantor saya.
Petugas : tidak ada bu....sudah ibu kasih berapa aja, serelanya...
Aku : adanya cuma segini pak (sambil menyerahkan uang kembalian dari tukang sayur, dengan kondisi masih terlipat2 dan lecek) sebanyak Rp 20.000.,
Petugas : ya sudah bu tidak apa-apa (sambil menerima uang tersebut)
Sungguh kejadian pada siang itu membuatku tidak habis fikir, ternyata di era reformasi seperti ini, mental preman masih saja melekat di lingkungan peradilan dimana seharusnya manusia yang bekerja dan mengabdi di sana harus bertingkah mengayomi masyarakat pencari keadilan. Sungguh aku tidak menduga bahwa dibalik safari yang mentereng, dan Blackberry  yang ditenteng, ternyata masih bersembunyi mental pengemis sehingga uang lecek Rp 20.000 saja masih diterima dengan senang hati.
Aku jadi berfikir, apakah petugas tersebut memang tidak punya harga diri???? ataukah gaji yang didapat masih kurang???? siapa yang salah dalam hal ini?????
Sepanjang jalan, aku merenung.... alangkah rendahnya nilai manusia semacam itu, di balik safari masih meminta uang receh Rp 20.000, subhanallah.