Sawahlunto menyimpan sebagian kisah penjajahan Belanda. Pada tahun 1868, penemuan deposit batubara besar oleh  insinyur pertambangan Belanda Willem Hendrik de Greve di  salah satu sungai Sawahlunto di Sungai Ombilin menarik perhatian. De Greve meninggal di arus Sungai Ombilin, tetapi penelitian terus berlanjut. Penggalian pertama dilakukan pada tahun 1890 oleh ribuan orang yang dirantai (tahanan yang terus-menerus diinjak-injak) dan pekerja, keduanya dari berbagai daerah. Produksi pertama pada tahun 1892 sebanyak 40.000 ton dari ladang Sungai Durian.
 Ekspansi dilanjutkan dengan penggalian ke jantung kota di  Tambang Soegar, lubang pertama Sawahlunto, digali pada tahun 1898 dan ditutup pada tahun 1930, dibuka kembali pada tahun 2007 dan menjadi daya tarik wisata tambang Sawahlunto dengan nama Mbah. Tambang Soero, diambil oleh Mbah Soero,  mandor terkenal, wali.
 Tambang Batu Bara Sana Ombili tidak bisa jauh dari keberadaan Kota Sawahlunto. Hal tersebut berdampak besar pada berbagai aspek yang mempengaruhi kehidupan masyarakat kota Sawahlunto hingga saat ini (Arya Saloka dkk, 2016: 290). Berkat tambang Ombilin, kota ini dikenal sebagai kota multietnis karena masuknya berbagai budaya yang dibawa oleh para pekerja dari berbagai daerah. Di  Sawahlunto tidak hanya etnis asli  daerah  yaitu Minangkabau, tetapi juga perpaduan berbagai etnis seperti Jawa, Batak, Cina, Bugi, Makassar dengan Eropa terutama Belanda. Penduduk kota Sawahlunto yang bukan etnis, yaitu Minangkabau, sebagian besar  adalah keturunan penambang kolonial (SPPIP Kota Sawahlunto, 2.4).
 Para pekerja tinggal di Sawahlunto, meski sudah tidak lagi bekerja di tambang batu bara. Beberapa dari mereka bekerja di sana, menikah dengan penduduk setempat dan memiliki keluarga di Sawahluntos, yang memberikan ciri dan ciri khas tersendiri pada keragaman etnis di sini. Kehidupan di kalangan pekerja dan masyarakat lokal sangat erat kaitannya dengan pertambangan. Interaksi sosial yang terjalin berlangsung dalam ruang yang lebih besar. Ruang ini dibagi menjadi ekonomi dan politik, pendidikan, agama dan budaya. Interaksi ekonomi terjadi di pasar dan toko atau di koperasi  Belanda. Di ranah keagamaan, interaksi kerap terjadi di masjid dan gereja Katolik yang dibangun di tengah kota. Untuk interaksi sosial budaya di tempat pertemuan Gedung Socientit. Melalui berbagai interaksi tersebut, tercipta bahasa psi yang merupakan bahasa campuran para manajer tambang untuk komunikasi sehari-hari (Muhammad Afif, 2021:65).
 Tansi adalah  bahasa yang digunakan para penambang di wilayah Sawah Lunto Sumatera Barat pada masa penjajahan Belanda. Bahasa itu adalah kreol yang diciptakan oleh para pekerja ketika daerah itu menjadi distrik pertambangan modern. Beberapa orang menyebut  Tansi dengan nama lain bahasa Slunto (bahasa yang digunakan masyarakat Sawahlunto) Kata tansi juga merupakan modifikasi dari nama TANGSI.  Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan Tangsi sebagai asrama yang digunakan baik oleh TNI maupun Polri). Di satu sisi barak diartikan sebagai barak dan arti lainnya  adalah penjara.
 Dengan  bahasa tersebut memberikan identitas atau brand bagi para penambang yang terintegrasi dengan masyarakat kota Sawah Lunto. Hal ini dikarenakan bahasa ini merupakan bahasa yang mereka ciptakan agar mereka dapat  berkomunikasi satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari, dan bahasa ini hanya diketahui dan dipahami oleh masyarakat Sawahlunto. Dan bahasa trans ini telah menjadi warisan budaya dunia versi UNESCO.