Pandemi ini terjadi atas ijin Allah sebagai ujian bagi kita. Kita diberi akal sehat dan kesadaran untuk menilai dengan ilmu bukan dengan framing atau reframing apalagi hoax. Lindungi diri dan keluarga secara semestinya dan yang terpenting lengkapi diri dengan ilmu yang relevan, itu prioritas.
Tugas kita sederhana. Jika PSBB menjadi aturan yang mengikat kita, maka jalani sebagai bukti ketaatan. Agar menjadikannya sebuah keuntungan akhirat, maka sertai niat bahwa ketaatan itu dikarenakan menaati perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang menyuruh kita taat kepada ulil amri bukan karena kecintaan kita kepada mahluk yang diidolakan. Mahluk pada akhirnya tidak lebih dari hamba yang penuh khilaf.
Ketaatan terhadap aturan PSBB jangan membuat kita berdiam diri. Lakukan upaya penguatan ketahanan diri dan keluarga. Di masa PSBB jilid 2 yang akan dimulai besok ini hendaknya kita memiliki ikhtiar tambahan. Ikhtiar yang insyaa Allah akan  menyelamatkan kita dan keluarga dari syubhat pandemi. Ikhtiar yang mengukuhkan taat kita menjadi tawakal.
Allah berikan ujian pasti sudah ada takarannya, sebagaimana Allah berikan penyakit pasti ada obatnya. Jadi jika ada yang berteriak suatu penyakit tidak ada obatnya, jangan-jangan dia belum cukup teliti melihat ke dalam dirinya. Obat itu ada di sana.
Ketika kita sibuk mencari obat bagi suatu penyakit, kita fokus pada penyakitnya dan melupakan doa kepada Dia yang mengirimkan sakit itu. Apalagi sampai memikirkan kenapa Dia memberi suatu penyakit kepada kita, apa hikmah dibalik ujian sakit yang diberikanNya? Sudah kah kita berpikir ke sana?
Mari kita buka mata dan telinga, cernalah dengan kejernihan hati. Kenali kondisi diri masing-masing. Kita mati karena malaikat maut tuntas menjalankan tugasnya sesuai perintah Allah, bukan Covid. Protokol dibuat dan ditaati tapi kita harus ingat itu belum menjadi solusi atas akar masalah. Memangnya apa akar masalahnya? Imunitas.
Mari kita kosongkan gelas agar bisa menerima ilmu yang mungkin belum pernah sampai ke kita sekalipun kita sudah merasa memiliki ilmu yang super hebat. Â Ingat prinsip ada langit di atas langit.
Yuk kita bicara tentang pandemi virus SARsCov2 atau Covid19 ini. Semua pakar kesehatan tahu dan tidak mungkin membantah fakta bahwa virus tidak ada obatnya kecuali antibody kita sendiri.
Solusi umum yang ditawarkan oleh dunia medis konvensional adalah vaksin. Cara kerja vaksin itu menyasar pada sistem imun manusia.
Vaksin itu sebuah bukti pengakuan dunia kedokteran konvensional bahwa setiap manusia sudah diperlengkapi dengan sel imun dalam sebuah sistem imun yang canggih. Â Peralatan proteksi diri karunia Allah Sang Pencipta yang akan melindungi ciptaanNya dari semua zat yang patogen dan merugikan kesehatan selama mereka hidup.
Lalu satu ketika kebiasaan buruk gaya hidup kita merusak keseimbangan sistem metabolik tubuh. Dimulailah drama demi drama penyakit menghampiri kita. Puncaknya sebuah pandemi. Lalu dengan pongah kita bilang kali ini tidak ada obatnya.
Apakah kita mau bilang Allah berbohong dengan mendatangkan penyakit yang tidak ada obatnya? Tidakkah kita berpikir, jangan-jangan ilmu kita yang tidak mampu menjangkau obat yang sudah diberikan Tuhan kepada kita.
Alat proteksi kita, sistem imun, masih ada di sana tapi aksesnya telah kita rusak atas nama gaya hidup. Kita sendiri yang merusak lalu kita bingung kenapa obatnya tidak juga ditemukan.
Jika kita akui pandemi ini karena virus maka solusi yang benar dan tepat adalah bangunkan sistem imun masing-masing. Kembalikan siskamling diri. Jika tidak bisa, cari apa yang menghalangi, pelajari dan atasi. Nah kita masuk ke dalam bahasan apa yang mempengaruhi kerja sistem imun. Â
Pahamilah teman-teman, sistem imun kita lemah karena lifestyle yang merugikan. Contoh, gaya hidup sedentary (mager, rebahan), makan yang berlebihan, stress berlebihan, miras dan konsumsi gula dan karbo diluar batas kemampuan liver secara terus menerus. Hasilnya jutaan manusia mengidap sindrom metabolik atau penyakit degeneratif (kerusakan pada sel-sel).
Siapa di antara kita mengidap diabetes, ibu segala penyakit, siapa yang menderita kanker, sakit jantung, ginjal, alzheimer dan penyakit tidak menular lainnya? Siapa di antara kita tengah berada dalam kondisi obesitas? Semua penyakit itu termasuk dalam kategori sindrom metabolik. Â Beranikah kita tanyakan secara jujur, siapakah yang membuat kita sakit? Jawaban jujurnya adalah hawa nafsu kita sendiri.
Setiap tindakan yang kita ambil selalu menimbulkan konsekuensi, itu sudah sunnatullah. Gaya hidup kita serampangan, abusive tentu akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Apa yang kita makan akan menentukan kesehatan kita.
Allah telah memerintahkan hambaNya untuk memperhatikan makanan mereka, bukan hanya halal tapi juga thoyyib. Nasi pasti halal kan, tapi bagi penderita diabetes dan sindrom metabolik tidak thayyib, terus masih mau terus disantap? Begitu juga jenis makanan lain untuk jenis penyakit lain.
Mereka terhalang makan makanan yang halal karena kondisi mereka sendiri. Ibaratnya halal itu ketentuan umum dalam makan dan minum bagi kaum muslimin dan thayyib adalah ketentuan khususnya. Konsekuensi pelanggaran prinsip halal akan ditanggung yang bersangkutan di akhirat sedangkan konsekuensi pelanggaran prinsip thayyib akan membawa yang bersangkutan ke tempat tidur (terkapar sakit), rumah sakit atau ke dalam kubur.
Sekarang Allah ijinkan mahluk super mini bernama covid19 hadir menguji kesehatan kita. Bukannya mikir bagaimana memperbaiki metabolic agar kembali ke fitrah, kita malah sibuk berpolemik di soal psbb atau tidak psbb. Persis sama dengan awal PSBB jilid satu dulu. Artinya tidak ada perubahan sikap yang dilakukan, tidak ada pelajaran yang dipetik.
Dulu kematian itu urusan masing-masing, kini tampaknya tidak lagi. Kini kebanyakan orang takut mati karena perbuatan orang lain padahal dia sendiri masih bergaya hidup tidak sesuai fitrah.
Kini orang-orang cenderung berani menuduh orang lain yang membuat dia sakit bukannya berpikir dia harus sehat dan kuat agar terhindar dari sakit.
Adalah aneh memiliki pandangan kita sakit akibat tertular OTG (istilah resmi sudah berbeda tapi bukan pokok bahasan). OTG itu siapa? Mereka orang sehat bukan, apakah kita jadi suudzon dengan setiap orang yang kita temui, jangan-jangan dia OTG. Â Yang salah itu sistem imun kita sendiri, bukan OTGnya. Â Itu namanya buruk muka cermin dibelah. Kita yang rentan sakit akibat gaya hidup tak sesuai fitrah, kok menyalahkan orang lain.
Lagipula apa sih yang dimaksud dengan OTG? Setiap orang sehat bugar yang suatu ketika kedapatan positif Covid setelah dilakukan swab test kah? Itukah yang dimaksud dengan pelabelan OTG? Kalo itu, berarti bisa saya, anda atau anggota keluarga kita, siapa pun.
Virus bisa saja menulari siapapun tapi pada OTG bisa jadi mampu dia atasi karena respon  imunnya bagus dan normal. Pada pengidap sindrom metabolic, respon imun mereka abnormal. Lalu kita sibuk menunjuk hidung OTG telah menulari kita bukannya berupaya meningkatkan kesehatan kita sendiri.
Berusaha lah terus untuk mengentaskan diri dari sindrom metabolic agar kita bisa punya respon imun yang normal. Â
Virus hanya bisa diatasi dengan antibody. Antibody dihasilkan oleh sistem imun yang sehat dan berfungsi maksimal.
Seseorang dengan sindrom metabolic umumnya memiliki respon imun abnormal maka dia sulit memiliki antibody karena antibody adalah produk akhir sistem imun setelah melalui serangkaian proses penanganan virus yang melibatkan tiga divisi di sistem imun manusia: innate immune system, adaptive immune system dan humoral immune system.
Vaksin ditujukan memotong sebagian peran innate dan adaptive immune sistem. Tujuannya memberikan data instan kepada humoral immune system kita yang dinamakan antibody.
Vaksin mungkin bisa bekerja pada orang sehat, yang sebetulnya justru tidak butuh vaksin untuk melawan suatu virus, tapi saya tidak yakin jika diberikan ke penderita sindrom metabolic karena sejak awal respon imunnya sudah tidak normal. Jangan sampai ketika vaksin yang dinanti tiba mereka tidak bisa mendapatkan manfaatnya.
Jika begitu silakan jawab dalam hati masing-masing mana yang prioritas untuk dilakukan, tunggu imunisasi dengan vaksin atau mulai lakukan optimalisasi metabolic conditioning?
Agaknya pengidap sindrom metabolic sendiri lebih berhak menentukan.
Alangkah baik jika PSBB jilid 2 ini disertai edukasi tentang optimalisasi metabolic conditioning sebagai upaya menekan fatalitas dan perbaikan respon imun masyarakat.
Jika ini dilakukan banjir pasien di rumah sakit bisa berkurang dan dokter/nakes pun tidak lagi jadi korban.
-nd