Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Manusia Ngepet

23 November 2012   13:15 Diperbarui: 15 Januari 2019   19:39 1037 0

Sewaktu remaja dulu, saya sering mendengar cerita-cerita tentang pemujaan atau istilah populernya adalah ‘muja’. Saat itu tentu saja belum ada sinetron horror seperti sekarang ini, paling-paling yang ada tayangan film bioskop horor yang biasanya (selalu) dibintangi oleh Suzana atau Farida Pasha secara bergantian.

Dalam bayangan saya, setting tempat pemujaan adalah letaknya di gunung, ada gubuk atau gua tempat bertapa dengan asap dan bau kemenyan yang khas. Biasanya ada batu yang dijadikan altar dan ada dukun atau orang pintar yang menjadi tempat konsultasi orang-orang kota yang umumnya pedagang atau pengusaha. Barangkali selalu ada ‘klien’ sang dukun di semua kalangan masyarakat, mulai dari petani, pedagang, pegawai negeri, bahkan mungkin juga ada pelajar dan mahasiswa yang tercatat sebagai klien, mungkin saja.

Biasanya orang-orang yang nekat mendatangi markas dedemit itu adalah orang-orang yang sudah sedemikian desperate-nya ingin cepat kaya, ingin punya jabatan. Kalau sudah menjabat, ingin naik jabatan yang lebih tinggi lagi berbekal usaha yang minimal tentunya (bisa dibayangkan seperti apa kualitas manusianya ya). Kalau saya gunakan istilah sesedikit mungkin usaha artinya adalah tanpa modal yang berarti (kalau bisa modal dengkul saja). Modal dibatasi hanya modal awal berkonsultasi dengan sang dukun berikut ongkos transportasi ke gunung sana. Akomodasi bisa jadi gratis karena sudah termasuk biaya konsultasi dengan sang dukun. Jadi setelah berkonsultasi bisa numpang nginap di goa atau gubuk sang dukun, sambil sekalian bertapa, sangat praktis.

Dalam film atau komik seputar dukun, biasanya digambarkan percakapan antara sang dukun sebagai wakilnya setan dengan manusia yang sudah memutuskan untuk mengejar kehidupan dunianya saja. Dukun akan bertanya apa tujuan kedatangan si klien (mungkin pertanyaan basa-basi, mestinya sebagai dukun dia sudah tahu kan apa isi kepala orang yang mendatanginya). Konon, orang yang berkonsultasi tersebut akan diberikan jimat atau aji-ajian untuk diamalkan. Pastinya amalan yang diperintahkan sang dukun tidak ada yang sesuai dengan akidah agama manapun. 

Adakalanya guna mencapai tujuan agar banyak uang, sang klien diberikan amalan supaya bisa mengubah diri menjadi babi ngepet. Setelah itu ia akan berkeliaran di malam hari untuk mencuri uang orang lain termasuk para tetangganya sendiri sementara istrinya harus tinggal di rumah untuk menunggui lilin. Mungkin ada juga teknik-teknik derivatif lainnya, seperti memelihara tuyul, jimat, dsb. Semuanya sama saja tujuannya yaitu mengambil uang orang lain alias mencuri.

Apakah hal seperti itu cara mudah untuk mencari uang? Bagi saya justru menjadi babi atau menyusui tuyul merupakan pekerjaan yang tidak terbayangkan, apalagi kalau masih ada lagi syarat lain yang irrevocable and unconditional dari si klien yang wajib ditepati berdasarkan perjanjian berbau kemenyan tersebut. Disamping itu mungkin akan ada kewajiban penyerahan tumbal. Konon tumbal juga beragam jenisnya. Bisa jadi tumbalnya kehilangan anak, rumah yang tidak boleh bermegah-megah, mungkin tidak boleh tidur di atas kasur yang empuk padahal uang hasil babi ngepet tadi bisa membeli lusinan tempat tidur sekelas King Koil. Parahnya lagi tampaknya tidak ada kesempatan untuk pensiun. Tampaknya perjanjian itu berlaku sampai maut memisahkan nyawa dari raga. 

Saya pernah dengar, salah satu tumbal yang paling mengerikan adalah anak. Akan ada suatu masa dimana orang tersebut harus menyerahkan nyawa anaknya (entah untuk digunakan sebagai apa) alias kematian anak atau anak-anaknya. Saya hanya membayangkan bagaimana teganya si bapak yang memutuskan melakukan praktek muja dengan mengorbankan anaknya hanya untuk mendapatkan kekayaan yang dipikirnya merupakan satu-satunya tujuan hidup di dunia yang fana ini. 

Tampaknya perjanjian kemenyan ini bisa jauh lebih efektif daripada perjanjian setebal kaleng kerupuk yang dibuat oleh seorang lawyer internasional yang mewakili bank sekalipun. Namanya juga melangsungkan perjanjian dengan setan, ya sudah pasti enforcementnya terjamin, bukan setan namanya kalau tidak sadis. 

Perjanjian itu juga kurang lebih setara efektifnya dengan perjanjian leasing motor. Dengan modal uang Rp 500 ribu seseorang bisa membawa pulang motor, mudah dan murah bukan. Memang mudah dan sangat murah, tapi coba saja mangkir bayar cicilan motor, sekejap motor ditarik, meskipun si debitur yang bersangkutan tengah mengendarai motor itu beserta anak dan istrinya atau sedang bertamu di rumah calon mertua. Akan tiba saatnya waktu untuk membayar semua kenikmatan semu yang sudah dinikmati selama ini. Persis seperti pengendara motor yang ngemplang cicilan dimana motornya langsung dirampas tanpa bisa berbuat apa-apa, tukang muja juga harus siap menghadapi kenyataan anaknya ‘dirampas’, wallahualam. 

Sekarang, kita lihat kondisi yang ada di sekitar kita saat ini. Istilah muja sudah lama tidak hadir dalam percakapan dengan teman-teman sehari-hari, sepertinya kata muja itu sudah menjadi satu istilah purbakala yang biasanya diberi referensi ‘archaic’ di dalam kamus bahasa Inggris. 

Mari kita bayangkan suatu percakapan yang terjadi antara orang-orang yang terhormat. Mereka orang-orang berpangkat, kerap berjas dan berdasi, tidak jarang mengenakan kemeja batik sutra dengan harga jutaan. Biasanya tempat yang paling sering menjadi tempat pertemuan mereka adalah lobby lounge dari suatu hotel berbintang 5, atau pembicaraan sambil makan malam di restoran yang tarifnya lebih dari 250 ribu rupiah per orang. Melihat setting tempat yang demikian bisa kita bayangkan harum ruangan bercampur dengan harumnya parfum mahal yang dipakai oleh para manusia yang terlibat pertemuan di sana. 

Sepenggal percakapan yang biasanya terjadi antara seorang yang ‘butuh’ dan seseorang yang ‘dibutuhkan’ sebagai contoh percakapan seorang polisi dengan seorang broker nasional Indonesia yang sudah barang tentu networknya tidak perlu diragukan lagi. Sang polisi telah memutuskan akan melakukan lobi (istilah modern untuk ‘muja’) supaya bisa merubah nasibnya agar dapat segera setara dengan kolega polisi lainnya yang sudah lebih dahulu hidup mentereng.

“…jadi saya mohon bantuan bapak agar dapat memindahkan saya ke posisi yang saya ceritakan tadi itu pak.” 

“Mmhh…jadi begitu.” Sang ‘godfather’ berkata sambil manggut-manggut sebelum melanjutkan,

“…ah itu sih perkara mudah buat saya. Kamu akan saya pastikan sampai Jenderal, tapi satu syarat yang harus kamu penuhi.” Si polisi mendengarkan dengan seksama, hampir-hampir lupa bernapas. Sebentar lagi dia akan menduduki posisi basah (tak heran Jakarta selalu kebanjiran, terlalu banyak orang-orang yang berdoa untuk mendapatkan posisi basah), “ah...sebentar lagi saya akan jadi orang kaya dan berpengaruh” demikian kurang lebih pikirannya.

“Apapun yang bapak minta, saya akan penuhi.” Nah ijab kabul perjanjian dengan setan dimulai. Pak polisi tidak sabar menyerahkan segala yang dia miliki demi mendapatkan janji dari sang broker yang sudah mulai berlagak seperti tuhan. Sepertinya sang broker sangat menikmati pengulangan adegan yang sama dengan pengalamannya sendiri sewaktu menyerahkan jiwa dan raganya pada saat perjanjian dengan setannya (brokernya) yang pertama dulu.

“Saya akan jadikan kamu Jenderal tapi kamu tidak boleh lupa melayani saya kapan pun saya membutuhkan. Kamu harus memback-up saya dan keluarga saya sampai kapan pun. Bagaimana, sanggup?” si polisi yang sudah sangat desperate manggut-manggut mantap, ah kalau cuma itu sih masalah kecil, disuruh menyerahkan istri atau anak gadisnya pun barangkali dia sudah siap, yang penting kaya dan pangkat.

Alhasil komitmen keduanya telah terbentuk, sang godfather siap mengorbitkan si polisi dengan segala cara. Sebagai konsekuensinya, tentunya si polisi siap berkorban jiwa raga untuk godfathernya itu. Sungguh mirip bukan dengan adegan muja gaya primitif yang sering kita dengar jaman dulu itu. Hanya bedanya kostum para pelaku berbeda, aroma yang tercium berbeda. Kalau muja gaya primitif sarat dengan bau kemenyan, muja gaya modern ini penuh dengan wangi yang memabukkan, belum lagi wangi essential oil yang harum yang dibakar di tempat-tempat pertemuan tersebut. 

Perbedaan lainnya adalah jika muja gaya primitive menggunakan teknik transformasi wujud pelaku, misalnya menjadi babi atau menyewa tuyul, kalau muja gaya modern semua itu sudah tidak perlu lagi dilakukan. Muja gaya modern sungguh praktis, kenapa? Dalam muja gaya modern transformasi bentuk menjadi babi atau melalui bantuan tuyul tidak lagi diperlukan karena sudah digantikan oleh orang itu sendiri. Kalau dulu kita kenal orang yang muja itu sebagai babi ngepet, nah sekarang para pelaku muja gaya modern itu sendiri yang menjadi manusia ngepet. 

Sejalan dengan perkembangan teknologi telekomunikasi yang semakin canggih dimana segala fasilitas yang dulu tidak terbayangkan sekarang sudah dirancang built-in dalam suatu perangkat keras, contoh telepon genggam. Dulu mana terpikir bisa memasukkan camera device ke dalam telepon genggam. Kinipun teknologi muja di jaman modern ini mengalami pembaruan seolah-olah dilengkapi built-in ngepet device, semacam itulah. Orang yang sudah dilengkapi built-in ngepet device ini yang bisa kita sebut sebagai ‘manusia ngepet’, begitu kurang lebih.

Terdapat benang merah antara kedua kisah diatas, yaitu masalah irrevocable and unconditional surrender. Sekali janji dengan setan sudah terucap, tidak ada lagi pembatalan. Jika dulu setan merampas anak sebagai tumbal, kini apa yang akan dirampasnya melalui perjanjian aromatherapy semacam itu. Bisa jadi suatu hari anak sang broker kedapatan sedang berpesta narkoba di suatu tempat dan sang polisi adalah petugas yang berwenang menangani perkara tersebut. Kira-kira apa yang terjadi? Boleh jadi dia akan mencari sejuta cara agar anak sang godfather lolos dari jerat hukum. Atau misalnya, sang godfather terlibat suatu skandal, akankah si polisi yang pada saat itu mungkin sudah jadi pejabat mampu meloloskan godfathernya dari jerat hukum? Pasti si polisi akan dan wajib berupaya melakukan hal itu, karena hal itu merupakan bentuk pembuktian dari penghambaannya kepada si godfather, jika tidak tamatlah karirnya (setidaknya begitulah keyakinannya).

Pertanyaannya sekarang, ada berapa banyak pejabat pemerintah atau aparat negara ini yang melakukan praktek muja gaya modern semacam ini? jika benar praktek demikian yang terjadi di banyak kalangan pejabat, mimpi untuk memiliki negeri yang bersih dari kelaliman dan kezaliman akan semakin jauh dari kenyataan. Sesungguhnya orang-orang seperti itu yang kita lihat saat ini begitu terhormat, terpandang dan berkelebihan, tidak lebih dari segerombolan ‘manusia ngepet’. Saya tidak hendak membicarakan persoalan ini dari sudut pandang agama karena mau dilihat dari sudut pandang agama manapun praktek seperti itu tidak dibenarkan. 

Semestinya kita selalu mengingat bahwa segala bentuk penghambaan atau unconditional surrender kepada sesama mahluk ciptaan Sang Khalik itu merupakan dosa besar. Tanpa sadar kita telah melakukan tindakan syirik, sungguh tidak ada guna uang atau harta yang kita dapatkan dengan cara seperti itu. Pada akhirnya kita semua kembali hanya membawa kain kafan yang melilit di badan, tidak lebih. Semoga kita semua senantiasa dijauhkan dari hal-hal demikian. Amin.

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun