Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Berpuasalah dengan Hati

15 Juni 2015   11:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:02 21 1
H-2 menjelang dilaksanakannya ibadah puasa, media sosial diramaikan dengan aksi pro dan kontra terhadap pernyataan menteri Agama terkait "Tidak ada pelarangan Warung Makan Selama Ibadah Puasa". Kritikan tajam dan pedas pun bermunculan terhadap pernyataan menteri ini.

Dalih beliau sih, supaya menghormati pihak yang tidak berpuasa. Sejujurnya, jika hanya beranjak dari dasar itu, saya selaku non-muslim, setuju dengan teman-teman muslim yang menentang dibukanya warung-warung saat berpuasa. Kenapa? karena saya sadar, berasal dari kaum minoritas di negeri ini. Saya juga sadar, kepentingan mayoritaslah yang perlu dijunjung tinggi. Tapi saya tidak setuju warung-warung ditutup, karena memikirkan bagaimana pemasukan pemilik warung yang non-muslim. Jika sebulan penuh, warung ditutup di pagi-siang hari, dan boleh beroperasi malam hari saja, dengan apa mereka meutupi omset yang menurun. Sudah kah pihak mayoritas memikirkan hal itu?

Apakah ada segelintir yang bergumam, itu bukan urusan kami??? Lalu, itukah esensi bulan puasa? Bulan yang penuh hikmah hanya untuk mengejar pahala masing-masing namun tak mengindahkan kehidupan sekitarnya?

Okelah, tak perlu memikirkan pemilik warung non-muslim. Biarlah mereka tidak usah berpenghasilan selama sebulan. Tapi berpuasa kah namanya ketika seluruh lingkungan menjauhkan anda dari sumber cobaan? Bukankah inti dari puasa adalah melawan sumber cobaan? Saat sumber cobaan tak nampak, berpuasakah anda?

Lepas dari hal tersebut, ada pula sebagian saudara muslim yang menantang menteri agama untuk turut menyatakan pelarangan terhadap Budhis Bali dgn budayanya saat hari raya nyepi, dan meminta pak menteri juga mengeluarkan statement supaya pohon dan akssoris Natal tidak perlu ada di mall ataupun toko-toko bahkan di jalan raya. Saya melihat beberapa meme terkait hal itu pagi ini. Katanya, demi rasa keadilan, mestinya pak menteri juga meminta hal tersebut dilaksanakan.

Saya pikir, saudara muslim yang setuju akan hal itu sudah gagal paham. Budaya nyepi di Bali, hanya berlangsung sehari saja. Seluruh aktivitas kota dan desa benar-benar seolah mati. Menjadi kebingungan di benak saya, di hal mana saudara muslim merasa dirugikan dengan budaya nyepi di bali ini. BUkan kah baik dalam hal hemat energi? hehhehehhehe.. Lagian Bali adalah daerah dimana mayoritas warganya terlihat jelas, seperti Aceh. JIka bali dan nyepinya yang hanya sehari dijadikan konteks pembanding pernyataan menteri terkait tidak perlu ditutup warung selama sebulan, sebandingkah?

Okelah untuk permintaan saudara muslim yang kedua soal aksesoris Natal, saya setuju jika itu menjadi perbandingan. Dan saya tidak keberatan apalagi tersungging eh tersinggung kalau pak menteri melarang pemasangan pohon cemara di mall dan resto. Toh saya tidak pernah juga pasang pohon Natal di rumah. Tapi tidak berarti saya kehilangan moment Natal. Karena Natal bukan soal hiasannya.  Hiasan saat Natal hanyalah simbol. Berpohon cemara atau tidak berpohon cemara tidak membuat pahala saya bertambah atau berkurang. Jadi lagi-lagi, saudara gagal paham dalam membandingkannya.

Teman-teman muslim, beribadah lah dengan hati. Kami yang minoritas cukup tau diri kok untuk menghormati kalian yang sedang berpuasa. Saya sudah terbiasa menikmati makan siang saya di toilet hanya untuk menjaga perasaan dan ibadat teman-teman saya di lingkungan kerja. Tapi untuk pelarangan masuknya rejeki pemilik warung, berempati lah sedikit saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun