Wabah corona seakan tak ada habisnya. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memutus rantai penyebarannya. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) akhirnya dipilih pemerintah sebagai senjata pamungkas. Di atas kertas, PSBB sangat ideal diterapkan di negara demokrasi seperti Indonesia. Para pengamat telah memprediksi apabila PSBB diaplikasikan dengan benar, maka Juni 2020, Indonesia akan terbebas dari corona.
Bahkan Presiden Jokowi memaksa target penurunan kasus Covid-19 dapat tercapai pada bulan Mei ini. Pada Sidang Kabinet Paripurna Pagu Indikatif RAPBN 2021 di Istana Negara, 6 Mei 2020, ia berharap kasus Covid-19 memasuki posisi sedang pada bulan Juni 2020, dan mencapai posisi ringan pada Juli 2020. Mantan Gubernur DKI ini meyakini jika semua pihak disiplin menjalankan protokol kesehatan, maka penyebaran corona dapat ditekan.
Sumber : CNN Indonesia [Jokowi: Kurva Corona Harus Turun Bulan Mei dengan Cara Apapun]
Visi atau harapan Presiden sudah baik. Tapi apakah akan sesuai dengan kenyataan nanti? Sementara eksekusi guna mencapai visi tersebut masih amburadul. Kita mulai dari PSBB. Sudah lebih dari sebulan PSBB berlaku, namun pelanggaran demi pelanggaran PSBB terutama di daerah non-Jabodetabek terus terjadi. Menurut politikus PDIP Sri Rahayu, masyarakat seperti abai dalam menerapkan physical distancing. Perusahaan-perusahaan padat karya seperti pabrik rokok juga masih beroperasi. Belum lagi kegiatan keagamaan yang masih melanggar prinsip yang tertuang dalam PSBB.
Sumber : Â Bisnis [PSBB Lebih dari Sebulan, Pelanggaran Masih Banyak, APD Kurang]
Hal tersebut menunjukkan bahwa PSBB yang seharusnya dapat diterapkan sebagaimana mestinya, telah dimodifikasi dan tak lagi utuh sesuai dengan arahan pemerintah pusat. Sebab, bagaimana mungkin perusahaan padat karya tidak esensial dapat beroperasi di tengah PSBB tanpa persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat.
Lantas apakah hanya korporasi yang bersalah? Tidak juga. Seperti kata Sri Rahayu, masyarakat tetap menjalankan kegiatan keagamaan tanpa mengindahkan prinsip dari PSBB. Tengok saja di Surabaya, meski sudah ada PSBB yang melarang kegiatan keagamaan untuk sementara waktu, namun masih ada 290 masjid yang menyelenggarakan salat tarawih berjamaah.
Sumber : Tirto [Langgar PSBB, 290 Masjid di Surabaya Gelar Tarawih Berjamaah]
Pembangkangan sejumlah daerah terhadap mekanisme PSBB yang ditetapkan pusat, maupun sejumlah potensi kegagalan PSBB di sejumlah daerah, semakin disuburkan dengan adanya pembangkangan di tubuh pemerintahan pusat terhadap Permenkes yang mengatur PSBB.
Hal ini terlihat saat Kementerian Perindustrian (Kemenperin) yang terus mengeluarkan pemberian Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) kepada perusahaan di Jakarta yang tak seharusnya beroperasi sleama PSBB. Kini ada 1056 perusahaan yang mendapatkan IOMKI di seluruh Ibu Kota. Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansah sangat menyayangkan sikap Kemenperin yang tidak melibatkan Pemprov DKI dalam pemberian izin itu. Menurutnya, seharusnya ada koordinasi antara Kemenperin dengan Pemprov DKI dalam mencari solusi terbaik terkait pemberian IOMKI guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Padahal apabila benar ingin mengacu pada PSBB berdasarkan Pergub Nomor 33 tahun 2020 maka hanya beberapa sektor perusahaan yang boleh beroperasi selama PSBB.
Sumber : Â Okezone [Kemenperin Izinkan 1.056 Perusahaan di Jakarta Beroperasi Selama PSBB]
Pembangkangan juga dilakukan oleh Kemenhub yang melakukan pelonggaran transportasi di tengah pandemi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengubah ketentuan dari Peraturan Menteri Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H lewat peraturan turunan. Pelonggaran yang akan berlaku pada 7 Mei 2020 dilakukan dengan alasan agar perekonomian nasional tetap berjalan.
Sumber : CNN Indonesia [Menhub Izinkan Semua Moda Transportasi Operasi Lagi Besok]
Dengan adanya pelonggaran ini, maka Kemenhub akan kembali memberikan izin operasi untuk berbagai transportasi penumpang ke luar daerah. Menurut Anggota Komisi V DPR RI Sigit Sosiantomo, relaksasi aturan transportasi menunjukkan penanganan pandemi oleh pemerintah amburadul. Padahal perintah dari presiden sudah jelas, yakni melarang mudik. Pelonggaran hanya akan mengorbankan rakyat demi perekonomian. Oleh karena itu, ia mendesak Kemenhub membatalkan kebijakan pelonggaran izin operasional seluruh moda transportasi selama mudik. Sebab jika peraturan itu dilonggarkan, maka akan banyak masyarakat yang memilih untuk mudik dan PSBB menjadi sia-sia.
Sumber : Â Detik [Angkutan ke Luar Daerah 'Boleh' Lagi, Upaya Tangkal Corona Amburadul!]
Tidakkah mereka yang melanggar dan melonggarkan aturan sadar bahwa apa yang mereka lakukan justru menyambung kembali mata rantai penyebaran Covid-19? Tak menengokkah mereka bahwa klaster-klaster penyebaran Covid-19 selama ini ada pada perpindahan manusia (transportas), perusahaan padat karya (korporasi non esensial yang tetap beroperasi), dan peribadatan (klaster pelatihan haji, salat berjamaah, dan klaster tabligh akbar Gowa).
Maka tak salah pula ketika Singapore University of Technology and Design (SUTD) yang awalnya memprediksi pandemi Covid-19 di Indonesia selesai pada 6 Juni 2020, bergeser menjadi 23 September 2020.
Sumber : Â Detik [Prediksi Akhir Wabah Corona Mundur, Indonesia Jadi 23 September]
Apabila pembangkangan terhadap aturan PSBB terus dilakukan, maka jangan harap visi dari PSBB dapat terwujud. Jangan harap bulan Juni ataupun Juli wabah ini akan tuntas. Ingat visi tanpa eksekusi hanyalah halusinasi.