tak apa meski bukan untukku, pura-puralah untukku.
sebaik itu pula kagumku kupikatkan seolah tak mungkin benar
jika bukan untukku semata, dan itu seluruhnya gladiola
sebab aku tahu kepada siapa puisi itu bernama,
aku mana bisa pura-pura tak cemburu
meski hujan melarikan air mataku ke mana-mana.
seakan biasa saja, menahan cemburu di dada Juni
yang tabahnya disunting puisi-puisi sore
memburam di pagar bambu, menanamkan milyaran wangi
rindu tak terbayar. Berpendar di ujung bulan. aku menulis tentang siapa yang paling tabah
jawabnya tiada, sedangkan di harum hujannya
engkau menabur debaran nektar, hingga sketsamu tak pernah gagal
menumbuhkan gemetarku.
21 Agustus 2014
Untuk kau tahu, andai kau belum tahu, akulah yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Untuk kau tahu akulah yang lebih hujan dari kerinduan mata, kesedihan jiwa dan kesadaran utuh menahannya dalam teguh.
Untuk kau tahu, andai kau belum tahu, akulah yang lebih tabah dari hujan bulan Juni. Untuk kau tahu akulah yang lebih hujan dari kerinduan mata, kesedihan jiwa dan kesadaran utuh menahannya dalam teguh.
Rindu yang abadi telah disederhanakan oleh setiap tetes hujan, lalu mengapa kau bertanya lagi?
Bukankah yang cukup dirasakan tak perlu dikatakan? Bukankah yang harus dikatakan telah sampai ke hatinya? Dan jika dia batu juga, setiap tetes hujanku akan mengikisnya, sampai bekunya menjadi debu dan diambil oleh hujanku, ke muara-muara terbaik tempat ruh kami dipertemukan, berubah menjadi uap, yang dimohon turunnya ketika jengah teriknya tak kuasa.
Puisiku hanya sanggup menyebut satu nama, dan Juni sudah tahu itu. Bintang-bintang tahu itu, rumput-rumput tahu itu. Engkau pun tahu itu. Tuhan telah menebarkan pengetahuan ini ke dalam akal dan naluri setiap makhluk, hanya saja nama tampannya masih terperam baik-baik, dalam hatiku saja. Di sini dan di semua bulan yang menggelantung di tangkai malam.
Inginku tak banyak hanya kamu yang paling. seorang berdiri gemetar di tepi jendelanya yang datar menyebut namaku dengan kelu, mengabaikan gelas kopinya, terus melemparkan desah biru jauh ke balik tirai hujannya, mencari gambaran wajahku yang setiap detik berlalu bertambah cantik dalam kerinduan temaram. Lalu tiba-tiba, tak bisa dicegah, lelaki pendiam itu terdesak sedemikian rupa untuk menulis puisi yang kesemuanya tak bisa tidak tertuju padaku. Di antara milyaran manusia aku berpendar sebagai cahaya indah yang tak mampu dikalahkan oleh Pisces dan Gemini, oleh Orion dan Nebula. Dan seluruh debu yang singgah di sampul buku-bukunya yang berjajar di rak kayu terus menyimpulkan ikatan majazi itu, bahkan tak perlu lagi metafora untuk menyamarkan bibirnya, hatinya terang-terangan tak henti berteriak, “Aku merindukanmu.” hanya aku. dan bukan orang lain. jadi saat ini bagaimana aku tak cemburu. bahkan saat air hujan_nya menyamarkan tangisku.
(medio, Neft. 21 Agustus 2014)