Sore itu mendung lagi, kulihat di langit awan hitam menggumpal-gumpal dari arah barat, ku khawatir terjadi badai lagi. Tidak seperti biasanya, entah kenapa sore ini hatiku begitu galau, tanpa sebab yang jelas. Entah karena cuaca yang mempengaruhi moodku atau sebab-sebab yang lain. Tapi setelah kurunut, tidak ada alasan apapun yang menghubungkannya. Kecuali mungkin karena mendung yang semakin gelap menggantung. Dari dulu memang aku tidak suka suasana sore menjelang magrib, ditambah mendung yang gelap seperti ini. Tapi sore itu tidak seperti biasanya, hatiku benar-benar kacau, kulihat juga burung beterbangan tidak seperti biasanya, seakan juga menunjukkan kegelisahan dan kekalutan. Ah benarkah badai ini akan datang lagi? Aku sungguh tidak mengharapkannya, tetapi dari tanda-tandanya itu akan terjadi. Kenapa ini harus terjadi? Pertanyaan yang tak perlu dijawab barang kali, toh hujan badai peristiwa alam yang biasa terjadi. Sebagaimana tidak ada asap kalau tidak ada api, demikianlah kiranya badai, tak ada badai kalau tak ada angin yang memulai. Inilah yang menggelisahkanku, jangan-jangan badai itu datang karena aku ikut menabur anginnya. Badai yang dahsyat dan menghancurkan. Setelah serentetan badai-badai itu, angin itu tetap ditaburkan, aku telah terjebak ditengah para penyemai badai. Para penabur angin itu ternyata penyemai badai, sebab yang ditabur bukan angin kebaikan tetapi justru angin-angin keburukan, itulah yang akan menuai badai-badai kehancuran yang akan meluluh-lantakkan. Sekarang ternyata awan badai itu telah muncul dipelupuk mata, dan  angin-angin keburukan yang dulu ditabur itu telah tumbuh subur menemukan tempat-tempat tumbuhnya, aku tanpa sadar telah ikut menumbuhsuburkannya. Dan nampaknya sekarang saat-saat menuai itu telah hampir tiba. Duh, ternyata selama ini aku telah berkaca pada cermin yang kusam, sehingga tak jelas bayanganku sendiri baik buruknya. Aku kini menjadi egois dan akhirnya autis karena asik dengan duniaku sendiri. Aku bahkan tak peduli dengan angin macam apa yang telah ikut kutebarkan kesekelilingku. Walaupun aku datangya belakangan, aku ikut dalam euforia itu, yang kusangka berbeda, tetapi ternyata sama. Ikut kusokong penumbangan penyemai badai yang lalu, tetapi ternyata malah digantikan beribu-ribu penyemai badai yang baru. Kini aku sadar, tetapi badai telah dipelupuk mata, tak ada yang bisa diperbuat kecuali berlindung akan amukannya dan menunggu sampai badai itu reda. Sambil masih berharap bisa terselamatkan karena masih adanya kesadaran, untuk bisa melihat perubahan dan punya kesempatan untuk menebus kesalahan. Nampaknya badai kali ini harus terjadi lagi, agar dirasakan oleh penyemai-penyemainya sendiri. Agar pupuslah generasi-generasi penyemai badai, berganti dengan penabur-penabur angin pembawa berita gembira dan kebaikan. Aku berharap, semoga masih bisa selamat dari prahara ini, agar bisa menyaksikan dan ikut menghantarkan tumbuhnya generasi-generasi baru, generasi penabur-penabur angin pembawa berita gembira dan kebaikan. Yang menyemai dengan penuh cinta, kesungguhan, dan keihlasan. Sehingga yang turun adalah hujan rahmat yang menyuburkan tanaman, bukan badai yang merusak dan menghancurkan. Kelak jika waktunya tiba, badai itu tidak bisa dimajukan atau diundurkannya.
Ketika awan hitam menggelayut di hati hati yang sedang gelisah, daun-daun pun akan jatuh berguguran, satu satu akan jatuh ke pangkuan. Karena telah ada yang tenggelam ke dalam dekapan, dimusim yang lalu. Kini semua memang bukan milikku, karena musim itu telah berlalu. Dan mataharipun akan segera berganti. Badai akan datang dan pasti berlalu (*) dalam rengkuhan sang waktu. Dan sang kala-pun kelak akan menampakkan rahasianya, rahasia KALA SUBA. (*)= disadur dari syair lagu 'badai pasti berlalu'
KEMBALI KE ARTIKEL