"Kita harus rilis ini," kata Reza, rekan kerjanya. "Ini tugasmu sebagai fact checker."
Sarah menggeleng pelan. "Tidak sesederhana itu."
Dokumen itu berisi bukti bahwa "Program Harapan" - inisiatif nasional yang telah memberi semangat pada jutaan orang selama pandemi - dibangun di atas data yang dimanipulasi. Angka kesembuhan yang memberi harapan, kisah-kisah inspiratif yang membangkitkan semangat, projek-projek pemberdayaan yang menghidupi mimpi - semuanya dibangun di atas fondasi yang tidak sepenuhnya benar.
Tapi dampaknya? Nyata.
"Lihat ini," Sarah menunjukkan folder berisi ribuan testimoni:
"Program Harapan membuat saya berani bermimpi lagi..."
"Berkat Program Harapan, saya tidak jadi bunuh diri..."
"Program ini menyelamatkan keluarga kami..."
"Truth without compassion is just another form of cruelty," gumam Sarah, mengutip kata-kata mendiang ayahnya yang juga seorang jurnalis.
Dilema moral ini menghantuinya. Sebagai fact checker senior dengan reputasi tanpa cela selama 15 tahun, ia selalu percaya bahwa kebenaran harus diungkap, apapun konsekuensinya. Tapi kali ini...
"What's the price of truth?" ia menulis di jurnalnya malam itu. "And what's the value of hope?"
Suatu pagi, Sarah memutuskan mengunjungi salah satu pusat Program Harapan di pinggiran Jakarta. Di sana, ia melihat langsung dampaknya:
Seorang ibu yang akhirnya bisa tersenyum lagi setelah kehilangan suami karena Covid.
Sekelompok anak muda yang menemukan tujuan hidup melalui program pemberdayaan.
Komunitas yang bangkit dari keterpurukan berkat semangat kolektif.
"Mbak Sarah?" sapa Ibu Marni, koordinator program. "Saya kenal Mbak dari artikel-artikel fact checking-nya. Mbak tau? Program Harapan ini yang bikin saya percaya lagi sama masa depan. Bukan karena angka-angkanya, tapi karena semangatnya."
Sarah tertegun. "Jadi bukan datanya yang penting?"
"Data mah angka, Mbak. Yang penting kan dampaknya. Lihat itu," Ibu Marni menunjuk ke arah sekumpulan anak yang sedang belajar. "Mereka punya harapan lagi. Itu yang nggak bisa diukur dengan angka."
Malam itu, Sarah membuat keputusan yang mengubah hidupnya. Ia menulis dua artikel:
Yang pertama, sebuah expos tentang pentingnya integritas data dan sistem yang lebih baik untuk program-program sosial - tanpa menyebutkan Program Harapan secara spesifik.
Yang kedua, sebuah feature mendalam tentang dampak nyata program-program sosial dalam membangun resiliensi masyarakat - fokus pada cerita manusia di balik angka-angka.
"Sometimes," ia menulis dalam jurnalnya, "the biggest truth isn't in the data, but in the lives it transforms."
Setahun kemudian, Sarah sudah tidak lagi bekerja sebagai fact checker. Ia mendirikan lembaga "Ethics in Truth" - sebuah organisasi yang fokus pada keseimbangan antara kebenaran faktual dan dampak sosial.
Di kantornya yang sederhana, ada sebuah dinding dengan tulisan:
"Not all truths need to destroy hope
Not all facts need to break spirits
Sometimes, the greatest truth
is knowing when to let hope heal
before reality wounds.
Because in a world hungry for facts,
sometimes what people need most
is reason to believe."
Dan setiap kali ada yang bertanya tentang keputusannya saat itu, Sarah akan menunjukkan foto-foto dari Pusat Program Harapan:
"Ada kebenaran yang lebih besar dari fakta.
Ada kejujuran yang lebih penting dari data.
Dan kadang, memberi orang alasan untuk bertahan
adalah kebenaran paling sejati yang bisa kita ungkapkan."
Karena pada akhirnya, kebenaran bukan hanya tentang fakta yang akurat, tapi juga tentang dampak yang bermakna. Dan terkadang, harapan yang menyelamatkan jiwa lebih berharga dari kebenaran yang menghancurkan semangat.
Di sudut ruangannya, Sarah menyimpan dokumen lama itu, bukan sebagai pengingat akan kebenaran yang tidak terungkap, tapi sebagai pelajaran bahwa kadang, keputusan paling benar adalah yang paling sulit - dan bahwa kita semua, sebagai penjaga kebenaran, juga harus menjadi penjaga harapan.