Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

# Terhapus

31 Desember 2024   13:53 Diperbarui: 31 Desember 2024   13:53 67 2
Nama saya masih Mada Prasta, meskipun dunia mencoba menghapusnya.

Hari ini tepat setahun sejak hashtag #MadaPenipu trending di Twitter. Tiga ratus enam puluh lima hari sejak seseorang, entah siapa, memutuskan bahwa saya pantas dihancurkan. Video itu - dipotong, diedit, dimanipulasi - menunjukkan saya seolah mengaku telah menggelapkan dana donasi untuk panti asuhan. Tujuh menit yang mengubah seluruh hidup saya.

"Kita harus mengadili dia!"
"Buktikan kalau kamu tidak bersalah!"
"Penipuan berkedok kemanusiaan!"

Mereka tidak tahu bahwa video lengkapnya adalah saya menjelaskan tentang modus penipuan yang mengatasnamakan panti asuhan, sebagai peringatan. Mereka tidak mau tahu. Di era di mana kebenaran diukur dengan likes dan retweets, siapa yang peduli dengan konteks?

Dalam seminggu, saya kehilangan pekerjaan sebagai guru TK. "Maaf, Bu Mada. Orangtua murid complain." Toko bunga kecil saya di daerah Kemang Selatan tutup karena diboikot. Bahkan panti asuhan yang selama lima tahun saya bantu, terpaksa menolak bantuan saya untuk menghindari kontroversi.

Lucu bagaimana dunia digital bisa mencabut kemanusiaan seseorang dengan begitu mudah. Satu tuduhan, satu hashtag, dan tiba-tiba Anda bukan lagi manusia - Anda adalah monster yang perlu dimusnahkan dari muka bumi.

"Kamu harus melawan!" kata Ibu saya. "Tunjukkan bukti!"

Tapi bagaimana melawan algoritma? Bagaimana menjelaskan kebenaran pada massa yang sudah memutuskan Anda bersalah? Video lengkapnya sudah saya upload berkali-kali, tapi selalu tenggelam di bawah badai kebencian.

Sampai suatu hari, saya menerima email dari seseorang yang mengaku bernama Karim.

"Saya tahu Anda tidak bersalah. Dan saya tahu siapa yang memulai semua ini."

Karim bekerja sebagai Analis data digital - semacam forensik untuk jejak-jejak yang ditinggalkan di internet. Ia menunjukkan pada saya bagaimana video itu pertama kali diunggah dari sebuah akun anonim, kemudian disebarkan oleh bot-bot yang terorganisir.

"Ini bukan kebetulan," katanya sambil menunjukkan pola penyebaran yang terlalu sempurna untuk menjadi viral secara organik. "Seseorang menginginkan Anda hancur."

Dalam penelusurannya, Karim menemukan bahwa serangan ini berawal dari sebuah Yayasan sosial yang merasa tersaingi dengan program literasi anak-anak yang saya jalankan di panti asuhan. Mereka kehilangan donor setelah banyak yang beralih mendukung program saya.

"Tapi saya tidak butuh pembalasan," kata saya pada Karim. "Saya hanya ingin nama saya bersih."

"Sayangnya," Karim tersenyum getir, "di dunia digital, tidak ada yang benar-benar bersih. Ada jejak di setiap sudut internet. Yang bisa kita lakukan adalah menulis ulang narasi."

Malam itu, saya membuka laptop yang sudah lama tak tersentuh. Membaca lagi ribuan komentar kebencian yang dulu membuat saya ingin mengakhiri hidup. Tapi kali ini berbeda. Kali ini saya melihatnya sebagai bukti betapa mudahnya manusia kehilangan kemanusiaannya di balik avatar digital.

Saya mulai menulis. Bukan pembelaan, bukan bantahan. Saya menulis tentang anak-anak di panti asuhan yang dulu saya ajar membaca. Tentang Dini yang akhirnya bisa menulis puisi sendiri. Tentang Adi yang sekarang sudah bisa membacakan dongeng untuk adik-adiknya.

Saya menulis tentang bagaimana media sosial telah menciptakan sistem peradilan baru - di mana seseorang bisa dihakimi dan dihukum tanpa pernah diberi kesempatan membela diri. Di mana keadilan diukur dengan jumlah retweet, dan hukuman dijatuhkan dalam bentuk kebencian massal.

"Mereka yang membenci Anda tidak mengenal Anda," kata Karim suatu hari. "Mereka hanya mengenal versi Anda yang ingin mereka benci."

Perlahan, cerita-cerita saya mulai mendapat perhatian. Bukan viral, tidak trending, tapi mengalir pelan seperti air yang mengikis batu. Satu per satu, mantan murid dan orangtua mereka mulai bersuara, membagikan pengalaman mereka dengan saya.

Yayasan yang tidak suka dengan saya akhirnya terbongkar kecurangannya sendiri, tapi saya menolak untuk bergabung dalam "pembatalan" mereka. "Lingkaran kebencian harus diputus di suatu tempat," tulis saya.

Setahun setelah pertemuan saya dengan Karim, saya membuka sebuah platform bernama "Digital Sanctuary" - ruang aman bagi mereka yang pernah menjadi korban keadilan digital. Tempat di mana mereka bisa berbagi cerita tanpa takut dihakimi.

"Namaku Sarah," tulis salah satu anggota. "Aku kehilangan karir sepuluh tahunku karena sebuah foto yang diambil out of context."

"Aku Ramon. Restoran keluargaku bangkrut karena review palsu yang terorganisir."

Setiap cerita adalah lukisan detail tentang bagaimana kehidupan bisa hancur dalam hitungan klik dan share. Tapi lebih dari itu, setiap cerita adalah tentang bangkit kembali, tentang menemukan kemanusiaan di tengah kebencian digital.

Suatu hari, saya menerima email mengejutkan. Dari seorang gadis bernama Luna, yang mengaku sebagai salah satu admin akun yang dulu gencar menyerang saya.

"Saya tidak bisa tidur nyenyak selama berbulan-bulan," tulisnya. "Setiap malam, saya membayangkan berapa banyak kehidupan yang telah saya hancurkan dengan keyboard saya. Saya pikir saya menegakkan keadilan. Tapi sekarang saya sadar, saya hanya menjadi alat kebencian."

Luna sekarang menjadi salah satu volunteer paling aktif di Digital Sanctuary. Ia membantu korban cyber bullying menavigasi proses hukum dan pemulihan reputasi online. "Ini cara saya menebus dosa," katanya.

Karim, yang tetap menjadi teman dekat, sering mengingatkan bahwa internet tidak pernah melupakan. "Tapi," tambahnya, "internet juga bisa belajar memaafkan."

Hari ini, saya kembali mengajar. Bukan di TK, tapi di sebuah ruang kelas digital, mengajarkan literasi media dan empati digital kepada generasi yang tumbuh dengan smartphone di tangan. Saya bercerita pada mereka tentang bagaimana sebuah share atau like bisa menjadi peluru yang melukai nyawa seseorang.

"Tapi Bu Mada," tanya seorang siswa, "bagaimana kita bisa tahu mana yang benar dan salah di internet?"

Saya tersenyum. "Mulailah dengan mengingat bahwa di balik setiap username, setiap avatar, ada manusia yang bernafas. Ada kehidupan yang bisa hancur karena keputusan impulsif kita untuk menekan tombol share."

Yayasan itu kini telah tutup, terbongkar oleh investigasi jurnalistik yang dipicu oleh tulisan-tulisan saya. Tapi alih-alih merayakan kejatuhan mereka, saya memilih untuk mengunjungi mantan karyawannya, menawarkan tempat di program literasi yang baru saya buka.

"Kenapa?" tanya salah satu dari mereka, bingung dengan kebaikan yang tidak mereka harapkan.

"Karena keadilan tanpa belas kasih," jawab saya, "hanya akan melahirkan lingkaran kebencian baru."

Malam ini, sebelum tidur, saya akan membuka laptop dan menulis lagi. Bukan untuk membela diri, bukan untuk menyerang balik, tapi untuk mengingatkan dunia bahwa di era digital ini, kita semua adalah hakim dan terdakwa, korban dan pelaku, dan yang paling penting, kita semua masih manusia yang berpikir bukan seperti bot.

Dan mungkin, dalam dunia yang semakin terhubung namun terasa semakin terpisah ini, pengingat itulah yang paling kita butuhkan.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun