Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Cantik, Berjilbab, tapi Perokok

23 Juli 2011   17:48 Diperbarui: 4 April 2017   16:35 21759 11

Coba bayangkan. Dia cewek cantik, pakai jilbab, tapi suka merokok. Rokoknya pun tak tanggung-tanggung. Lumrahnya para cewek hanya doyan rokok berasap tipis semacam A-Mild. Ini orang malah lahap nyedot Marlboro. Edan tenan.

Melihat dia sedang merokok, saya ngomong, “Percuma pakai jilbab, Mbak. Kalo mau merokok, mbok ya lepas jilbab saja.”

Tentu saja saya hanya berani ngomong dalam hati. Saya tidak siap bila tiba-tiba sepatu hak tinggi cewek berjilbab itu mendarat di pelipis saya.

Di tempat kerja yang dulu, saya juga punya teman cewek yang keranjingan rokok. Yang dia hisap juga Marlboro. Saya waktu itu masih demen Dji Sam Soe. Kalau kami merokok bareng, wuih, depan kantor kami langsung penuh jelaga.

Melihat teman sekantor yang perokok berat itu saya merasa tidak ada yang janggal. Alasan saya sederhana: dia nggak pakai jilbab.

Lama tak berjumpa dengan dua teman tadi, kini saya suka merenung sendiri. Saya sering bertanya-tanya begini: Apa salahnya cewek berjilbab merokok? Kalau cewek tak berjilbab merokok, kenapa rasanya wajar saja?

Iseng-iseng saya coba membuka fatwa MUI tentang rokok. MUI hanya bilang, merokok itu haram. MUI tak pandang bulu, tak peduli bulu rimbun laki-laki, bulu tipis perempuan maupun bulu tak menentu para banci. MUI juga tak pernah menyatakan perokok berjilbab lebih besar dosanya ketimbang perokok tak berjilbab.

Jadi, berdasarkan fatwa MUI, sesungguhnya sikap saya keliru.

Kini saya berburu referensi yang berbau ilmiah. Disebutkan bahwa wanita perokok terancam mandul, selain gampang kena kanker. Tak pernah ada keterangan bahwa perokok berjilbab beresiko lebih tinggi ketimbang perokok tak berjilbab.

Lagi-lagi sikap saya ngawur.

***

Kebetulan, pasangan saya seorang perempuan berjilbab. Dulu, sewaktu masih pacaran, kami punya pengalaman menggelikan.

Sambil menghayati debur ombak pantai, saya asyik saja merokok. Duduk di samping saya, mendadak pacar saya memungut sebatang rokok saya. Benar-benar sebatang rokok lho.

Tak hanya itu, dia langsung menyelipkan rokok itu di bibirnya. Ketika tangannya kemudian meraih korek api, saya segera bereaksi, “Sampean mau merokok, Dik? Nggak salah nih?”

“Iya, Mas. Emang kenapa?”

“Nggak pantes lah. Masa cewek, apalagi pakai jilbab, merokok?”

“Lho, emang hanya cowok yang pantas merokok?”

“Hemmm….Nggak juga sih.”

“Kalau gitu nggak usah ngelarang-larang dong. Silahkan Mas merokok, dan biarkan aku merokok. Kalau Mas berhenti merokok, aku juga tidak akan merokok.”

“Ya sudah, aku nggak merokok deh.”

Sempat bersitegang sebentar, kami pun akhirnya tertawa lepas. Adegan berikutnya gampang ditebak. Dua bibir tanpa asap rokok itu kemudian…..

Ah, agar tidak terkesan norak, kita sensor adegan itu ya.

Sekarang mari ikuti lamunan saya. Saya sedang melamun jadi cowok baik-baik yang anti-rokok. Oya, saya masih bujang! Boleh-boleh saja dong membikin lamunan yang 180 derajat berbeda dengan kenyataan.

Sebagai cowok baik-baik, saya dianugerahi pacar cantik. Dia berdarah Sunda, berjilbab, dan perokok berat.

Berbekal pengalaman sebelumnya, suatu ketika saya hendak menghentikan kebiasaan buruk pacar saya.

“Sayang, kalau kamu merokok, aku akan merokok juga lho,” saya membuka percakapan.

“Oya? Bagus pisan atuh, A’.”

Sambil deg-degan, keringat merembes deras, saya merespon, “Ehmmmm…. Bagus ya?”

“Bagus dong, A’. Itu artinya Aa benar-benar pria!”

Derrrr…. Saya tak sanggup berkata-kata lagi. Emangnya dia pikir saya cowok apaan? Cowok jadi-jadian?

Eh, belum lenyap pikiran aneh-aneh itu, dia nyeletuk, “Aa, kita ngerokok bareng yuk. Tapi biar lebih asyik, kita minum ini ya.”

“Ini minuman apaan?”

“Ini teh bir.”

“Oh, teh bir. Kirain minuman keras.”

Mendengar kata-kata itu, seketika pacar saya melotot.

Lho, emang saya salah omong? Nggak, kan, pembaca?

Rawamangun, 24 Juli 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun