Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

Rukmini Tak Mau Diremehkan

3 Desember 2010   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:04 617 5

Rukmini celingak-celinguk. Mobilnya tak ada di parkiran. Sopirnya, si Badut, juga tak tampak batang hidungnnya. Dan Rukmini cuma butuh batang itu, bukan batang yang lain. Maksudku batang rokok, karena Rukmini paling anti terhadap perokok, terutama perokok bergelar DRS alias Doyan Rokok Sembarang.

Rukmini memijat tombol-tombol HPnya. Dia menelpon Badut. Tut-tut-tut. Yang dia dengar cuma nada kentut. Badut tak tak mengangkat panggilan itu. Mungkin dia sedang mengangkat tangannya, karena ditodong polisi gadungan di jalan, yang doyan uang saweran, tak peduli yang ditodong hanya punya uang recehan.

Rukmini lalu mengirim SMS. Isinya: “Badut sontoloyo, di mana lo? Gue nungguin lo udah dua menit lebih 52 detik. Bayangkan, sebentar lagi gue nungguin elo tiga menit! Gue kan tadi bilang, gue ke salon cuma sebentar. Cuma lima jam, 44 menit, 32 detik. Kok lo ngeloyor gak bilang-bilang sih. Buruan ke sini, sopir kaleng!”

Langit Jakarta sedang mendung. Hujan segera mengguyur. Tapi Rukmini tak mau masuk ke salon lagi. Dia berdiri di pinggir jalan, dengan mata melirik kiri-kanan, berharap ada brondong lewat dan menatap betisnya yang konon lebih mulus ketimbang aspal tol Cipularang. Setengah jam kemudian Badut datang.

“Punten, Mbak. Saya terlambat. Jalannya macet banget. Ayo silahkan naik. Mangga, Mbak,” kata Badut, sesaat setelah turun dari mobilnya. Mobil itu berhenti persis dua centi di hadapan Rukmini. Andai rem mobil itu tak pakem, terlindaslah jempol Rukmini. Kuku-kuku indah yang baru saja di-padicure itu terancam remuk. Dan itu artinya Badut bakal mengalami musibah terbesar sepanjang hayatnya. Semacam gempa bumi yang meluluhlantahkan usus-usus di perut gendutnya.

Rukmini tak mempedulikan kata-kata Badut. Dia ayunkan tangannya. Plokkkk. Tamparan itu secara telak mengenai rahang badut. Yang ditampar meringis kesakitan. Setengah berbisik dia berkata, “Kuring hayang nakol biwir anjeun, Mbak!”

“Ngomong apa lo?” kata Rukmini, sambil berkacak pinggang. Seketika itu, paras ayunya pudar, berganti paras nenek-nenek yang tua bangka, yang kering kerontang dihajar menophouse, tapi masih banyak maunya.

Dangdut berdiri terpaku. Wajahnya ditekuk. Lalu Rukmini membentaknya, “Kenapa gue tadi nelpon nggak lo angkat dan gue SMS nggak lo balas?!”

“Kata Pak Polisi, dilarang mengemudi sambil mengangkat telpon, Mbak.”

“Huh, alasan! Gue lihat elo mulai belagu ya. Inget ya, elo itu baru kerja kemarin sore. Lo mulai sombong dan lupa diri. Emang lo siapa, ha?”

“Abdi mah cuma sopir, Mbak.”

“Makanya jadi sopir itu yang bener. Disiplin! Apa lo nggak inget waktu kita di Hotel Hilton dulu. Lo tiba-tiba menghilang, eh tak tahunya foto-fotoan sama respesionis. Lo itu kurang ajar, Dut!”

“Sanes, Mbak. Abdi cuma kurang kurus aja, Mbak.”

“Diam! Rupanya lo ngeremehin gue. Kalau elo emang sudah nggak becus ngelayani gue, lo mundur aja. Gue nggak mau dilayani sopir nggak profesional kayak elo!”

“Abdi selalu propesional, Mbak.”

“Pro-fe-si-onal! Pake F, bukan P!”

“Iya, Mbak. Propesional pake Ep.”

“Ngomong aja belepotan, gimana mau ngelayani orang. Sudah-sudah, lo nggak usah jadi sopir gue lagi. Gue mau nyari sopir lain yang lebih profesional pake F.”

Maka berjalanlah Rukmini menyusuri Kemang. Untunglah tak jauh dari salon itu ada beberapa orang yang sedang nongkrong. Kepada mereka, Rukmini mengabarkan bahwa dia memerlukan sopir untuk mengantarnya ke rumah. Alamatnya di Jalan Imah Cageur, di seberang Jalan Kuli Tinta dan berdekatan dengan Jalan Post Power Syndrome.

“Beta tak bisa nyetir mobil,” kata seseorang yang manis mukanya, “Kalau nagih utang, beta mau. Inga…inga…”

“Kau salah orang, Butet!” kata seorang lagi, “Aku ini sopir bus kopaja yang ugal-ugalan. Bukan begitu, Lay?”

Seorang lagi menyahut, “Nyong ora isa nyupir. Nyong pengusaha Warteg, Mbak.”

“Akika bisa, Jeng,” tiba-tiba seseorang menukas, “Akika dulu belajar pegang setir di Taman Lawang. Yuk mari….”

Rukmini hanya bisa geleng-geleng kepala. Tak satupun di antara mereka yang memenuhi kriterianya. Maka kembalilah dia ke Badut, yang tampak kuyu seperti anak kerbau yang sudah tiga hari tak bisa menyusu.

“Dut, gue minta maaf ya. Kita jalan yuk,” kata Rukmini. Intonasi suaranya turun setengah oktaf.

Badut pun mengangguk. Sambil memegang setir, dia menggumam, “Makanya, ulah songong, Mbak.”

“Ngomong apa lo?”

“Punten, Mbak. Itu artinya, Mbak Rukmini itu cantik. Geulis pisan!”

“Makasih, Dut. Tapi omong-omong, kita ini mau ke mana, Dut. Kok lewat jalan ini. Apa lo nggak salah arah?”

“Bukannya Mbak Rukmini tadi bilang mau ke restoran?”

Gubrakkk! Tekanan darah Rukmini langsung melonjak. Ternyata dugaannya betul: Badut itu cuma mikir perut, perut, dan perut. Ingin sekali dia menjewer telinga sopirnya itu, namun dia batalkan. Dia sudah terlanjur minta maaf, dan sebagai orang tua yang baik hati, dia tak mau jadi keledai yang terperosok dua kali di lobang yang sama, apalagi bila lobang itu adalah lobang telinga Badut yang rada bolot.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun