Tulisan ini dibuat disela-sela penerbangan Taipei menuju Hongkong untuk kemudian pulang ke tanah air. Masih belum belum hilang rasa gelo (jawa) penulis karena harus meninggalkan Taipei beberapa jam sebelum pertunjukan firework spektakuler yang digelar tiap pergantian tahun di 101 bulding, gedung yang awal tahun lalu turun peringkat menjadi tertinggi kedua di dunia.
Meski belum ramai, tapi pembicaraan mengenai sistem telekomunikasi generasi ke 4 (4G) sudah mulai terdengar. Beberapa operator di tanah air bahkan sudah melakukan uji coba perangkat 4G di medio 2010. Diharapkan, layanan 4G bisa dinikmati publik Indonesia satu dua tahun mendatang.
Sebenarnya ada beberapa teknologi yang digadang-gadang menjadi kandidat 4G, yaitu LTE, Wimax, UMB dan beberapa yang lain.
Pada tulisan ini penulis akan mengupas sedikit tentang LTE.
LTE/EPS (Long Term Evolution/Evolved Packet System) merupakan system komunikasi 4G yang pertama kali di standarisasi oleh 3GPP release 8 yang bertujuan memberikan memberikan jawaban atas beberapa kekurangan teknologi generasi ke 3 (3G), antara lain masih terbatasnya bit rate, user plane latency yang masih lebih besar dari 30 ms serta kompleksnya perangkat atau terminal 3G. Sementara di sisi pengguna membutuhkan click-bang respond dengan harga yang murah.
Layanan ini dirancang untuk memenuhi kebutuhan layanan data selama 10 tahun, dari tahun 2010 sampai 2020 dan setelahnya.
Performa yang dijanjikan sesuai spesifikasi mencapai diatas 150 Mbps untuk downlink dan lebih dari 50 Mbps uplink dengan latensi antara 10-20 ms. Sistem ini sanggup mensupport UE/terminal yang bergerak dengan kecepatan sampai dengan 500 km/jam menjamin ketersediaan layanan untuk user yang mobile seperti sedang mengendarai mobil, kereta api dan lain-lain.
System ini juga dirancang untuk memungkinkan interworking dengan sistem lain yang berbeda teknologi semisal GSM dan 3G/WCDMA, CDMA2000 (3GPP2) maupun non-3GPP standard, seperti Wimax dan WLAN.
Network Architecture
Layanan yang nge-trend di sebut LTE ini sebenarnya bernama asli EPS/SAE (Evolved Packet System/System Architecure Evolution). LTE sendiri merupakan salah satu subsystem pada bagian radio access, terdiri dari dua subsystem, LTE untuk radio access dan EPC (Evolved Packet Core) untuk core networknya.
Sesuai bidang penulis, penulis hanya akan membahas pada bagian radio access/LTE.
LTE subsystem sendiri mempunyai struktur jaringan yang lebih sederhana dibandingkan teknologi sebelum nya (2G/GSM maupun 3G) atau yang sering disebut dengan flat architecture dimana hanya terdapat single Network Element, yaitu eNodeB yang berfungsi layaknya BTS/NodeB pada 3G juga mempunyai fungsi sebagai Radio Resource Management (RRM) yang pada jaringan 3G dilakukan oleh RNC.
Seperti tampak pada gambar di atas, jaringan 3G terdiri dari NodeB/BTS dan RNC untuk radio access. Sedangkan core network-nya terdiri dari SGSN dan GGSN. Sedangkan pada LTE, hanya terdapat eNodeB yang juga menjalankan fungsi RNC. “penghilangan” RNC ini diharapkan akan mengurangi latensi yang pada gilirannya akan mendongkrak bit rate.
Air Interface
LTE mengusung teknologi OFDMA (Othogonal Frequency Division Multiple Access) pada air interface-nya. Ini berbeda dengan 3G yang saat ini ada yang menggunakan WCDMA. Pada OFDMA, user akan menempati satu atau beberapa sub-carrier. Jumlah sub carrier yang diduduki akan menentukan bite rate yang didapat masing-masing user.
Kelebihan sistem ini dalam masalah frekuensi adalah scalable bandwidth. Artinya, bandwidth yang digunakan tidak harus fixed seperti pada WCDMA dimana setiap carriernya menempati bandwidth selebar 5 MHz, atau CDMA2000 1,2288 MHz. LTE bisa bekerja dengan bandwidth mulai dari 1,4 MHz sampai 20 MHz dengan pilihan (1,4 MHz, 3,5 MHz, 5 MHz, 10 MHz, 15 MHz dan 20 MHz) ini memungkinkan operator sebagai penyelenggara layanan mempunyai lebih flexibel dalam penggunaan bandwidth. Namun tentu saja, makin lebar pita frekuensi, makin tinggi pula data rate yang didapat karena jumlah sub-carrier juga lebih banyak.
Kelebihan lain adalah frekuensi yang digunakan selain bisa menempati pita frekuensi baru semisal 2,6 GHz, LTE juga bisa menempati frekuensi eksisting sistem yang sudah ada atau biasa disebut refarming dari frekuensi GSM 900 MHz maupun 3G 2,1 GHz seperti yang digunakan di tanah air. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi operator yang sudah mempunyai lisensi frekuensi GSM dan WCDMA sehingga tidak perlu berinvestasi lagi untuk penggunaan frekuensi.
Perangkat
Perangkat LTE dirancang untuk meminimalkan investasi sedemikain rupa sehingga sangat kompatibel dengan perangkat 3G yang ada sekarang. Bahkan, salah satu vendor terkemuka mampu membuat perangkat/hardware sedemikian rupa sehingga eNodeB LTE bisa menggunakan perangkat 3G NodeB. Hanya diperlukan software upgrade untuk mengubah BTS 3G menjadi BTS LTE. Dengan demikian, operator 3G bisa menggunakan perangkat yang sekarang sudah dimiliki.
Bahkan, dengan teknologi multiradio dan teknik concurrent mode configuration, 2 teknologi GSM dan LTE bisa digabungkan ke dalam satu perangkat. Caranya, dengan menghubungkan perangkat pengolah sinyal baseband/digital GSM dan LTE ke RF module yang sama (pengolah sinyal radio), maka RF module tersebut bisa memancarkan sinyal GSM dan LTE melalui antenna sistem yang sama.
Tak terasa, beberapa saat lagi pesawat akan touch down di bandara Hongkong. Seluruh perangkat elektronik diharuskan dimatikan termasuk komputer saya ini. Sehingga tulisan ini harus berakhir sampai disini....di tulisan selanjutnya akan di bahas sistem LTE secara lebih detail (termasuk bagaimana perhitungan data rate sehingga mendekati 150 Mbps) dan bagaimana masa depan LTE di Indonesia. Selamat Tahun Baru 2011.....:)
Bersambung...
Salam,
Penulis adalah 3G/4G Radio Access Techical Trainer di NSN Academy Asia Pacific – China