Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kisah Nyata Grand Depok City: Warga Berbagi Cerita

25 Juni 2012   14:53 Diperbarui: 4 April 2017   17:45 667 1

Gambar: rumah tanah yang disia-siakan pengembang GDC

Solusi Bersama, membangun amanah di GDC

Bayangkan anda berkeliling di perumahan Grand Depok City, dulu namanya Kota Kembang.Perumahan yang dibangun oleh grup besar ternama ini menyimpan permasalahan sejak awal tahun 2000 dan sampai sekarang.Ratusan warga mengalami keterlambatan penyelesaian rumah, atau belum diserahterimakan, belum mendapatkan surat-surat hak tanah, belum lagi persoalan fasilitas umum dan sosial yang disalahgunakan.Pengembang terus menjual rumah dalam ukuran kecil, bersengketa dengan konsumen di pengadilan, meminta bayaran ekstra dari setiap warga yang menuntut haknya.Bayangkan, anda berjalan-jalan di perumahan, mencari sekeping keadilan, mencari suatu penyelesaian, membangun lagi amanah yang telah dirusak.Bayangkan, anda mendengarkan sejumlah warga berbagi cerita. Inilah.

Surat rumah

Perempuan itu yang berusia 35-an ramah sekali bicaranya dan mudah pecah senyum. Dan ceritanya pun membuat kita yang mendengar senyum-senyum kecut.

“Kita beli rumah di Kota Kembang ini tahun 2000-an dengan mencicil.Nah, suatu hari kita denger rusuh-rusuh, katanya pemogokan di kantor Daksa, yaitu pengembang perumahan ini.Pegawainya digosipkan mau bakar-bakar surat2 rumah. Informasi itu didapat kami dari tetangga kita yang kerja di Daksa itu.Dengan membayar beberapa juta pegawai tersebut menyelamatkan surat-surat rumah ini, dari kantornya termasuk sertifikat yang diberikan kepada kami” tukasnya menutup cerita dengan senyum lebar.

Warga Kompak Berjuang: Surat Rumah Didapat

Lain lagi cerita seorang ibu muda warga GDC di kluster lain. Sambil menimang-nimang bayinya, dia mengenang kembali betapa kompaknya dia dan warga di kluster itu untuk menuntut hak mereka atas serah terima rumah, dan surat-surat rumah.Mereka mengadakan demo secara rutin dan tiap kali menggagalkan acara jualan PT Daksa pengembang dan pemilik GDC.Satu per satu tuntutan warga terpenuhi, namun sampai sekarang masih banyak warga yang belum selesai urusan dan surat-suratnya.

Proses serah terima, pengukuran, AJB dan selanjutnya HGB dilaksanakan oleh pengembang dengan setiap kali meminta lagi sejumlah biaya dari tiap warga.Apabila tidak mau membayar, jangan diharapkan akan diurus.Padahal biaya-biaya ini tadinya sudah termasuk dalam brosur atau Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli.Warga pun merelakan denda yang mestinya mereka terima dari pengembang karena keterlambatan proses serah terima dan surat-surat itu.Apalagi ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial, lupakan dari yang dijanjikan di brosur pengembang, tukas ibu muda ini.

“Bayangkan saja. Kami dulu di awal tahun 2000 kebanyakan orang muda yang mati-matian mengusahakan rumah impian dengan kredit di Bank Artha Graha, eh, ditipu pula oleh pengembang. Banyak rumah kami yang tak terbangun, atau nggak sesuai standar.Fasilitas umum dan sosial yang dijanjikan tidak ada, bahkan yang untuk itu dibangun dan dijual oleh pengembang secara ketengan rumah kecil-kecil.Dulu lama sekali jalan di perumahan rusak berat.Warga urunan untuk pemasangan lampu jalan, musola, pintu gerbang dan pagar batas.Tidak hanya itu, satpam yang dipekerjakan pengembang nggak jujur, banyak mobil hilang, akhirnya kami tolak dan kami iuran menggaji satpam sendiri. Hikmah di balik semua ini adalah tumbuh keterikatan di antara warga lantaran sama-sama menghadapi persoalan grup pengembang bermasalah ini” demikian dia menyimpulkan ceritanya.

Terus Berjuang Sambil Hindari Konflik

Seorang bapak warga di kluster lain menuturkan: “Warga di kluster ini sedang mengumpulkan usaha untuk terus meminta hak kami penyelesaian surat-surat.Kebanyakan kita membeli rumah di sini awal atau sebelum 2000-an , sampai sekarang belum mendapat surat-suratnya.Kita diminta pengembang untuk membayar lagi untuk biaya membuat surat-surat padahal itu termasuk biaya pembelian dulu yang sudah lunas.Cerita yang sama diulang lagi oleh Bapak ini tentang ketidakamanan, fasilitas sosial dan umum yang tidak ada.Bahkan bapak ini menambahkan, banyak sekali rumah-rumah yang tidak bisa dihuni oleh konsumen karena belum diserahterimakan, lalu rumah itu rubuh dan terbelengkalai dan menjadi persoalan sendiri bagi warga.Dan selalu ada konsumen GDC yang akhirnya menyerah mendapatkan hak rumahnya, lalu diambil alih oleh pengembang atau pegawai-pegawainya, untuk dimiliki atau dijual kembali. Itu tuh, salah satu rumah yang diambil oleh staf marketing GDC” katanya sambil menunjuk sebuah rumah yang lagi dirubuhkan.

Pengembang “Memberikan” Rumah

Cerita bapak ini dilengkapi oleh cerita warga lainnya.Dengan polos seorang ibu bercerita: “Ini rumah anak saya, dulu kontraktor GDC, yang di belakang rumahnya juga, jadi ada dua. Sedangkan rumah saya sendiri di blok yang sana.Memang kita tidak mempunyai surat-surat, tapi lumayan dikasih beberapa rumah oleh pengembang.” Seorang warga berkomentar, di klusternya warga tak mengijinkan pengembang bertingkah. Ketika salah satu rumah yang ditinggalkan konsumen mau dijadikan markas marketing, warga menentang dan pengembang pun mengurungkan rencananya.

Sertifikat Ada Tapi Ukuran Kurang

Seorang warga yang tinggal di luar perumahan GDC urun cerita juga. Proses pembelian rumah di perumahan yang berdekatan dengan komplek GDC ini lancar-lancar saja.Tapi cerita temannya yang membeli rumah di GDC kedengaran aneh.Dia membayar pembelian rumah seluas sekian meter persegi.Surat sertifikat yang diterimanya ternyata mencantumkan kurang dari luas pembelian, dan ternyata sisa luasannya yang hanya beberapa meter persegi dimiliki oleh orang lain!

“Memang kacau pengelolaan rumah Kota Kembang GDC ini “ demikian tukas seorang pejabat Pemda.“Bukan saya menakut-nakuti, tapi ada kemungkinan ada banyak pembelian konsumen yang fiktif, artinya barangnya tidak ada, atau bermilik ganda”.

“Loh, kalau fiktif atau bermilik ganda, kenapa mereka bisa terus jualan, Pak?”

“ Itulah bapak/ibu.Ternyata kepemilikan asset GDC ini tidak pernah dialihkan dari pengembang yang lama PT Inti Daksa ke pengembang yang baru.Jadi pengembang yang baru ini tugasnya hanya management saja, tidak memiliki “ lanjut pejabat Pemda ini.“Artinya pengembangnya ya itu-itu saja, grup dengan nama besar ini. Saya juga heran kenapa mereka menjual terus dan ada saja yang membeli.”

“Banyak konsumen yang karena jalur pendekatan biasa tidak berhasil, dan diperdayakan terus oleh pihak pengembang, mereka lalu menempuh jalur litigasi.Pengembang ternyata mampu membayar pengacara mereka yang mahal-mahal itu, ketimbang menyelesaikan masalah konsumen. Kenapa begitu ya Pak, ternyata mereka nggak bermasalah dengan pendanaan kok”.

“Mereka pastinya tidak kekurangan dana, bapak/ibu, masak sih, sudah jelas mereka bisa membayar pengacara mahal, membiayai pengadilan, membangun dan membangun rumah-rumah kecil ketengan. Darimana dana itu, kalau bukan dari dana ibu-bapak?” lanjut pejabat Pemda ini.

Transaksi dan Surat Lancar, tapi…..

Beberapa warga yang baru saja setahun tinggal di GDC bercerita. Ada yang membeli rumah GDC dengan kredit BTN, dan lancar saja dan surat-suratnya beres.Ibu ini balik bertanya, dulu konsumen yang banyak bermasalah memakai bank apa?Diinformasikan kepada ibu ini bahwa pada awal 2000an semua konsumen yang mencicil harus melalui Bank Artha Graha, tidak ada pilihan lain.

Seorang ibu muda dengan simpatik bercerita bahwa keluarganya baru saja dua tahun yang lalu menempati rumah ini.Surat akta jual beli sudah diterima.Apakah sertifikasi sudah diurus?Belum katanya.Diusulkan kepada ibu ini agar cepat-cepat mengurus sertifikasi HGBnya supaya meyakinkan ini bukan fiktif atau kepemilikan ganda seperti beberapa kasus yang sudah terjadi.

Sambil terus berjalan, bayangkan anda berdoa untuk kemudahan urusan untuk para warga yang terus terzalimi ini. Semoga para pihak terkait yang membaca cerita warga ini dapat segera membantu, sigap mengulurkan tangan menyelesaikan persoalan.Mudah-mudahan urusan para warga yang baru bermukim di GDC ini lancar dan tidak bersengketa dengan warga yang lama.Mudah-mudahan kepercayaan dan amanah bisa ditegakkan kembali seutuhnya oleh pengembang, masyarakat dan Pemerintah Daerah di Depok.Kepercayaan adalah kekayaan milik masyarakat Depok yang tak terukur oleh nilai uang, dengan susah payah dibangun oleh setiap warga Depok. Semoga.

Depok, Juni 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun