Pembahasan mengenai pemimpin yang memenuhi syarat kepemimpinan merupakan topik yang tidak berujung. Apalagi jika seorang pemimpin tersebut merupakan seorang perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama ini dan ternyata ide itu memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah Terminologi publik dan privat.
Kepemimpinan perempuan pada posisi eksekutif dan legislatif menjadi fenomena penting di Aceh, karena jumlah keterlibatan perempuan dalam setiap aktivitas publik atau politik belum signifikan sampai saat ini.Data dari Badan Kepegawaian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia menunjukkan bahwa pada wilayah kerja di Kota Banda Aceh masih minim peningkatan kepemimpinan serta ketenagakerjaan perempuan. Data pemimpin pada pemerintahan Kota Banda Aceh di tahun 2015 menyebutkan hanya terdapat lima dari empat puluh instansi yang diketuai atau dikepalai oleh seorang perempuan, sedangkan selebihnya dikepalai oleh laki-laki. Setelah pergantian pimpinan sejak awal 2017 juga diketahui tidak terdapat penambahan dari jumlah pimpinan perempuan dalam pemerintahan. Hasil temuan riset yang dilakukan Puskapol FISIP UI juga turut menjabarkan rendahnya presentasi keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu. Pada periode 2013- 2018 diketahui hanya terdapat 5 anggota perempuan dari total 17 anggota Bawaslu di 6 Provinsi (Aceh, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu masih belum memenuhi ketentuan pemenuhan kuota 30% yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2007.