Pengantar: Tulisan ini repost dari blog lama saya. Sebuah lakon wayang kulit yang disampaikan oleh dalang favorit saya Ki Hadisugito almarhum, yang tentunya sudah saya ubahsuaikan dengan gaya bertutur saya. Kahyangan Suralaya…. Suralaya, kahyangan tempat bersemayam para dewa, adalah tempat yangwingit, gawat keliwat-liwat, dan penuh wibawa. Dari sanalah sumber kekuatan yang menguasai jagad. Sebagi tempat persemayaman para dewa, sungguh sangat diluar jangkauan akal, seorang titah ngarcapada mampu mencapainya, kecuali bahwa ia memiliki nyali dan kemampuan yang luar biasa. Sesuai namanya, suraberarti berani, dan laya yang berarti kematian, maka seorang titah yangkementhus menjejakkan kakinya di Suralaya wajib menyadari bahwa dirinya saat itu tengah berjudi dengan taruhan nyawa. Demikain wingitnya, sampai-sampai diibaratkan sato moro sato mati, jalmo moro keplayu. Dari singgasana yang penuh cahaya, kahyangan Suralaya memberikan nuansa yang penuh wibawa, tak terbatas kekuasaannya atas jagad yang gumelar, sak lumahing bumi, sak kurebing langit. Kewingitan Jonggringsalaka, sebutan lain untuk Suralaya, semakin terasa dengan keberadaan kawah Candradimuka, tempat para dewa nakal yang perlu diluruskan akhlak dan perilakunya. Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru, penguasa tunggal kayangan Suralaya, sebagai pemilik wewennag dan tanggung jawab memberikan contoh bagi para titah, mengelola jagad gumelar, menjadi raja bagi seluruh bumi seisinya. Memberikan kelimpahan rezeki dan makanan bagi para penghuni jagad dari arahkiblat papat. Bathara Guru, dikenal juga sebagai Sanghiang Manikmaya, dalam menguasai jagad, menjadi ratuning poro ratu, dibantu oleh para dewa, parabathara dan bethari. Keempat tangan Bathara Guru, menggenggam kembang Dewandaru, Cupu Manik Astagina yang berisikan air kehidupan. Tergenggan pula pusaka cis trisula dan cis jaludara, sebagai lambang penguasaan terhadap hajat hidup seluruh titah ngarcopodo. Hari itu, Sang Hyang Guru sedang duduk di singgasana Marcu Pundhamanik. Tampak Sang Bathara Guru sedang dirundung kegalauan. Tak ada para Dewa yang berani mendekat. Hingga akhirnya beliau memanggil patihnya, Sang Hyang Kanekaputra, alias Bathara Narada. Narada adalah seorang dewa yang lurus, teguh dalam pendirian serta terkenal jujur. Narada menghadap didampingi dua puterannya Bethara Masno dan Bethara Panyarikan. Sementara di luar, para dewa berkumpul. Mereka menantikan apa yang akan disabdakan oleh Bathara Guru. Hening, penuh ketegangan. Angin laksana berhenti berhembus, daun-daun seakan tak bergerak. Sayup-sayup terdengar gamelan Lokananta, yang berbunyi tanpa ada yang menabuhnya, menambah tintrim suasana. Beberapa saat membisu, akhirnya Bathara Guru membuka suara: + ”Kakang Narada, mudah-mudahan tidaklah menjadikanmu terkejut, hari ini ulun panggil secara mendadak” - ”Terus terang saya bertanya-tanya sejak dari luar, dan saya sangat menantikan sabda paduka Adi Pramesti” + ”Sebelumnya, ulun ingin mendengar kabar tentang para dewa, bagaimana keadaan mereka, apakah segalanya baik-baik saja” - ”Pangestunipun, semuanya aman terkendali, seluruh kebutuhan tercukupi tanpa kekurangan suatu apapun Adhi Pramesthi” Seperti yang sudah-sudah setiap kali ada pisowanan, Bathara Guru menanyai satu per satu para dewa yang hadir dalam pisowanan tersebut. Sampai akhirnya, Sang Hyang Guru kembali berpaling ke Narada. + ”Kakang Narada, ulun percaya, kalau segala sesuatu yang ada di atas bumi dan di bawah langit berjalan dengan sempurna, tak kurang satu apapun. Namun, sampai saat ini, ada satu hal yang masih mengganjal di hatiku, masih menyisakan satu noda bagi kita para dewa dalam nggulawentah jagad seisinya” - ”Seandainya boleh tahu, apa yang membuat adhi Guru gundah gulana? Tidakkah semua prestasi yang telah adhi Guru raih dalam memakmurkan seluruh alam raya telah menghantarkan kedamaian dan kepuasan bagi batin Adhi Guru?” + ”Seperti telah kita tahu bersama, ulun dan kita para dewa adalah ratunya para ratu. Tak ada titah yang tidak menghormati kita. Semuanya tunduk dan patuh kepada kita para dewa. Namun ada hal yang menjadi klilip. Ada sementara titah yang tidak bisa bertatakrama. Jangankan kepada sesama titah. Bahkan dengan kita para dewa pun mereka nungkak kromo. Maka ulun berkehendak ingin membersihkan anasir-anasir buruk itu dari muka bumi, sehingga seluruh alam semesta, terlebih lagi kahyangan Suralaya, tidak terkotori oleh mereka” - ”Lalu siapakan yang Adhi Guru maksud?” + ”Tak lain dan tak bukan adalah Werkudoro, Antasena dan Wisanggeni yang tak tahu tata krama, tak tahu menghormati para dewa. Yang selanjutnya adalah Priyagung Madukara Raden Janaka, yang dengan berani-beraninya mengawini para bidadari. Karena itu, ulun ingin membinasakan mereka, agar pengaruh buruk yang mereka timbulkan tidak menyebar di kalangan para dewa maupuntitah ngarcopodo, sehingga kahyangan Suralaya tetap terjaga kesucian dan kewibawaannya, tidak terlecehkan oleh sikap dan perilaku mereka” Narada terkesiap. Tampak rona wajah memerah, menahan rasa terkejut atas titah dari Bathara Guru. Sejenak dia terdiam, sampai akhirnya keluar kata-kata dari mulutnya. - ”Perkenankan saya mengemukakan pendapat. Kesalahan para titah tadi, sebenarnya bersumber dari kesalahan adhi Guru sendiri” + ”Lha kok malah aku yang disalahkan?” - ”Pertama, Werkudara. Werkudara itu sejak kecil dimomong oleh Bathara Bayu. Sepanjang yang kita tahu, Bathara Bayu itu memang tidak bisa bertutur kata yang lembut dan sopan. Kesalahan Adhi Guru, mengapa Adhi tidak mampu mengajar cucu Adhi, Bathara Bayu untuk bisa berbahasa yang halus dan bertutur kata yang sopan, sehingga hal yang serupa juga diturunkan kepada Werkudoro?” Narada melirik Bathara Guru, yang masih dengan seksama menyimak argumentasi Narada tanpa membantahnya. - ”Selanjutnya, Antasena. Sejatinya, Antasena itu telah meninggal, saat diminta menjadi martir di kahyangan Suralaya. Hidupnya Antasena itu karena kekuasaan Sang Hyang Wenang yang mentakdirkan Antasena tetap hidup tetapi punya cacat mental tak bisa bertata krama. Nah salah Adhi Guru, anak yang masih belum cukup umur kok diajukan untuk membela kahyangan Suralaya.” - ”Tentang Wisanggeni, ingatkah Adhi, sewaktu Wisanggeni berusia tujuh bulan dalam kandungan Dewi Dresanala, Adhi Guru mencoba menggugurkan kandungannya, karena ingin menikahkan Dresanala dengan Dewasrani, putera dari Bathari Durga. Akhirnya Wisanggeni lahir prematur. Karena saking takutnya Bathara Bromo terhadap Adhi Guru, maka Bathara Bromo berusaha untuk membunuh Wisanggeni. Tapi atas kekuasaan Sang Hyang Wenang, Wisanggeni tak mampu dilenyapkan nyawanya oleh Bromo, malah akhirnya ngamuk di kahyangan Suralaya. Ingat nggak, Adhi Guru? Makanya, jangan sekali-kali menyiksa jabang bayi yang masih ada di gua garba, karena justru jabang bayi dalam kandungan itu memiliki kekuatan yang luar biasa. Apalagi sampai berusaha menggugurkannya” Tampak dari rona wajah Guru semakin memerah, manndakan kemarahan yang mulai naik. Namun sebagai seorang penguasa jagad, Guru masih berusah meredakan emosinya + ”Tentang Janaka. Terus terang saya merasa sangat terhina dengan kenekatannya memperistri para bidadari. Padahal sudah takdirnya bahwa bidadari bukanlah pasangan titah ngarcopodo. Ini sama saja dengan merusak tatanan yang sudah ulun buat. Hal ini tak bisa diterus-teruskan” - ”Coba Adhi ingat-ingat. Siapa sebenarnya Janaka? Dia tak lain adalah pangejawantahan Sang Hyang Siwerna. Makanya dia mampu memperistri dan menata para bidadari sebagai pendamping hidupnya. Dan semuanya berawal dari Adhi Guru. Ingatkah Adhi Guru, saat Janaka diminta tolong untuk mengusir Prabu Niwatakawaca dari kahyangan, kemudaian atas keberhasilannya, Adhi Guru mengijinkan Supraba untuk diperistri Janaka? Sejak itulah, para bidadari berlomba-lomba untuk diperistri Janaka. Seandainya tak ada contoh sebelumnya, saya kira tak akan terjadi hal tersebut” Kali ini, Bathara Guru sudah tidak lagi mampu mengendalikan emosinya. + “Sekarang, ulun mau tanya. Siapakah sejatinya dirimu? Kamu itu adalah seorang patih. Hanya patih. Sudah jamak, seorang patih itu sendika dhawuh kepada ratu. Akulah ratu. Tak perlu mendebatku. Atau kakang Narada memang sudah bosan jadi patih? Sudah bosan jadi dewa?” - “Saya memang hanya patih. Tapi tugas patih juga untuk mengingatkan raja, apabila raja hendak berbuat sesuatu yang menyimpang dari paugeran. Apa adhi Guru tak ingat, kalau Sang Hyang Wenang pun menghendaki agar pandhawa tidak diganggu gugat hingga Perang Baratayuda nanti? Selamanya pandhawa harus tetap lima, tak boleh dirubah jumlahnya. Apa adhi Guru hendak menentang kehendak Sang Hyang Wenang?” - “Diam, aku tak perlu nasihatmu. Sekarang, aku hanya ingin jawabanmu. Kamu mendukung, atau menolak putusanku untuk membinasakan para titah ngarcopodo yang kurang ajar itu?” + “Ya sudah, nggih sumonggo. Mau dibinasakan, ya saya nggak ikut-ikut. Saya sendiko dhawuh saja. Tapi saya nggak mau nanggung resikonya. Tugas saya mengingatkan sudah saya lakukan. Kalau adhi Guru tetap berkeinginan untuk membinasakan Werkudoro, Janaka dan anak-anaknya, ya silahkan. Tapi kalau nanti sampai terdengar oleh para titah ngarcopodo, terus pada tahu kalau adhi Guru membuat keputusan yang tak bijaksana, ojo takon dosa, kalau sampai suatu saat nanti adhi Guru akan dipermalukan. Apalagi kalau kakang Semar sampai tahu, terus ngamuk menuntut balas di kahyangan. Apa nggak tambah repot? Tapi ya kalau memang sudah jadi keputusan adhi Guru, ya saya
sedermo nglakonikewajiban saya sebagai patih” Sang Hyang Pramesthi Bathara Guru bergeming. Tetap pada keputusannya untuk membinasakan Werkudoro, Janaka, Antasena dan Wisanggeni. Dengan suara menggelegarnya dia memberikan instruksi pada Bathara Panyarikan untuk menghadirkan Bathara Bromo, tak lain adalah eyang dari Wisanggeni, serta menyuruh Bethari Durga untuk menjemput puteranya Dewasrani, yang akan ditugasi untuk menghabisi nyawa Janaka. Narada hanya tertunduk lesu. Tampak kekecewaan yang sangat mendalam tergambar di wajahnya. Namun apa daya, dia hanyalah seorang patih, yang harus tunduk dan patuh pada sabda sang raja. Hatinya masih galau, tak mampu menggambarkan apa yang akan terjadi nantinya.
(Bersambung)
KEMBALI KE ARTIKEL