Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Gadis Laba-laba dari Xinjiang

23 November 2009   02:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:13 1439 0
Xinjiang, atau Daerah Otonomi Uygur Xinjiang terletak di perbatasan barat laut China seluas 1.66 juta km persegi, dihuni oleh 21 juta jiwa, dengan 60% diantaranya adalah kelompok minoritas di China. Terdapat 47 kelompok etnik di Xinjiang, Uyggur sebagai kelompok etnis utama, selain suku Han, Kazak, Hui, Mongol, Kirgiz, Xibe, Tajik, Uzbek, Manchu, Daur, Tatar dan Rusia. Agama mayoritas penduduk Xinjiang adalah Islam, diikuti kemudian Budha, Protestan, Katolik dan Tao. Beberapa kelompok etnis masih menjalankan praktek animisme. Cuaca begitu cepat berubah. Dalam konteks ini, cuaca memang layak disandingkan dengan kata-kata politisi atau suasana hati perempuan. Unpredictable! Dua hari yang lalu terang benderang, kemarin angin dingin dan kuat berhembus. Hari ini entahlah. Tapi apapun yang terjadi, rain or shine, aku harus nyuci. Stok pakaian bersihku tinggal berumur dua hari lagi. Dan sialnya, aku belum orientasi, adakah laundry koin macam di Malaysia, atau laundry kiloan macam di Jogja? Maka dengan segala keterbatasan, aku mencuci di wastafel kamar mandi. Beruntung, aku membawa sabun cuci sachet dari Indonesia, yang kata labelnya memiliki kekuatan 10 tangan. Baru kali ini aku mencuci dengan 12 tangan. Luar biasa! Selesai mencuci, masalah berikutnya adalah jemuran. Setelah tengok kanan kiri, ternyata di depan jendela kamar ada besi melintang, yang memang umum dipakai untuk nyantelin cucian. Cuma, jaraknya lumayan dari jendela. Perlu keberanian ekstra untuk menjulurkan separuh badan dan menggapaikan tangan, meletakkan baju di jemuran. Sungguh karunia Allah yang tak terhingga, tinggi badanku sangat membantuku mengatasi kesulitan tersebut. Untung yang kedua, cuaca ternyata bersahabat. Matahari bersinar, ditingkahi semilir angin sepoi-sepoi menerbangkan uap-uap air yang meninggalkan baju. Harapanku, habis asar nanti, semua cucian bisa kering. Sambil leyeh-leyeh menunggu datangnya waktu makan siang, aku menyetel televisi di kamarku. Ada 5 channel, semuanya bahasa China. Nggak mudheng aku. Cuma kadang-kadang memang ada yang berbaik hati, ngasih subtitle bahasa Inggris. Bosan dengan cang cing cong yang tak ketahuan ngalor ngidulnya, aku memilih menggauli laptopku. Hiburan terlengkap yang aku punyai. Novel, kartun, komik, film, lagu-lagu mulai dari jaman Nat King Cole sampai Letto, atau mulai dari genre heavy metal macam Judas Priest, sampai petikan gitar Jubing Kristanto, semuanya ada di sana. Semakin siang, ternyata cuaca mulai berubah. Matahari masih tetap bersinar manis, tetapi angin mulai berubah liar. Kecepatan superfisialnya semakin meningkat. Membawa butiran-butiran air danau ke angkasa. Menjadikan hawa semakin dingin. Dari sudut mataku, seonggok bayangan hitam berkelebat ke bawah. Tapi aku tak begitu peduli, ah paling-paling jemuran tetangga di kamar atas jatuh. Kulihat jemuranku. Sial, beberapa baju posisinya bergeser ke tepi palang besi, yang artinya semakin jauh dari jangkauan tanganku. Atau mungkin bahkan tak terjangkau. Biarlah, dipikir nanti saja. Mudah-mudahan arah angin berbalik, dan baju-baju itu terdorong angin kembali ke tempat semula. Mendadak terdengar ketukan halus di pintu kamarku. Ketukan yang tak lazim. Biasanya ketukan keras khas dari Pakcik Haizal, atau dari Peter. Kubuka pintu, sesosok tubuh berdiri di depan pintu. Maaf, aku tak biasa menilai dan mendeskripsikan makhluk perempuan dari fisiknya. Yang pasti, dia perempuan, dengan ukuran fisik normal. Itu saja. “Maaf, baju teman saya terjatuh, dan nyangkut di plafon bawah jendela anda. Bolehkah saya ambil melalui jendela anda?” Sapanya dengan bahasa Inggris yang cukup lancar untuk kategori mahasiswa Cina. “Silahkan, tapi tunggu dulu sebentar ya” Aku bergegas mengamankan barang-barang yang tak semestinya terlihat orang asing. Setelah itu aku persilahkan dia masuk. Pintu kamar tentu aku biarkan terbuka lebar. Dia mendekati jendela yang memang sudah aku buka. Laptop di atas meja di depan jendela sudah aku singkirkan. Herannya, dia tidak membawa galah, kawat atau alat apapun. Di luar dugaanku, dia melompat keluar jendela, hinggap di atas plafon di bawah jendelaku, dan merambat ke ujung dinding, menggapai baju yang tersangkut di sana. Aku menahan nafas, mencoba untuk tidak membayangkan hal-hal buruk. Kamarku di lantai empat, sekitar 10 meter di atas permukaan tanah. Kalau Pak Kerto menek klopo, tibo iso dadi Janoko. Lha kalau ini, tibo opo ora dadi perkoro? Setarikan nafas kemudian, dia sudah masuk lagi melalui jendela. Sambil mengucapkan terima kasih, dia meninggalkan kamar. Meninggalkan aku yang masih terbengong-bengong. Seminggu kemudian. Selepas makan malam. Aku hendak masuk ke bangunan International Exchange, ketika sebuah suara memanggilku, “Ni hao, hallo”. Gadis laba-laba itu. Kemudian dia bertanya: “Are you Malaysian? Are you moslem” Aku paling benci kalau dituduh sebagai orang Malaysia, maka aku jelaskan dari mana aku berada. Alhamdulillah, dia tahu persis di mana Indonesia, dan tahu kalau Indonesia is the bigger country than Malaysia. “Kamu shalat kan? Rutin lima waktu?” tanyanya lagi. “Well, Insya Allah”, jawabku, sambil sedikit keheranan, darimana dia tahu kebiasaan seorang muslim? “Aku muslim juga, dari Xinjiang” katanya seolah tahu keherananku. Ooooo, kamu ketahuan …… batinku. Selanjutnya dia memanggil beberapa temannya, yang ternyata komunitas muslim dari Uzbekistan, Kazakhstan, Kyrgistan, Turmenikstan dan beberapa tempat lain. Sayangnya, tak satupun di antara mereka bisa berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Kepada beberapa teman laki-lakinya, dia meminta untuk menjemputku hari Jum’at nanti untuk Jum’atan di tempat biasanya mereka melakukannya. Xinjiang …. mungkin suatu saat nanti aku akan sampai ke sana …. *ilustrasi dari www.travelchinaguide.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun