Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Konversasi Da'i

12 Desember 2010   23:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:47 109 0
"Nahnu Du’at qabla kulli syai'..."

......

"Hahahahh..."

"Kenapa kau tertawa? Kau sudah gila ya?"

"Kau benar-benar terlihat lucu saat kebingungan. Sungguh bodoh"

"Bagaimana kau bisa tahu aku sedang kebingungan,...?"

"Pertanyaan bodoh"

"Jawab saja..."

"Kupikir penjelasannya sama dengan bagaimana aku bisa menjadi 'dirimu-yang-satu-lagi'..."

"Yah, terserah katamu sajalah. Mengerti tanpa kau bisa menyekanya percuma saja. Bercakap-cakap saja kau dengan telapak tanganku..."

"Hahaha, memangnya kenapa kau bisa bingung saat mereka mengajukan pertanyaan itu padamu? Macam orang munafik saja!"

"Kau gila??!! Tak pernah sedetikpun aku menjadi da'i di serangkaian kehidupan binalku. Lantas, kau mau aku bicara seperti apa? Kau mau aku meracau gombal, mengenai hal-hal normatif, sambil sesekali diselingi potongan ayat Al Qur'an dan Al Hadist agar terlihat alim? Begitu, ha?"

"Hahah, menurutmu?"

"Tolonglah, kau tahu aku kan? Lagipula apakah sebegitu pentingnya bagiku berceloteh tentang sesuatu yang bukan aku?"

"Hei..hei.. Aku tidak ingat menyuruhmu melakukan itu…"

"Menggelikan!!"

"Hmm, aku hanya bingung. Itu saja. Aku bingung bagaimana kau bisa berkata bahwa sepanjang hidupmu kau bukan seorang da'i"

"Aku memang bukan!!!"

"Kau tak ingat Kanjeng Nabi Rasulullah SAW pernah dhawuh, bahwa 'Setiap orang adalah da'i sebelum menjadi siapapun'..."

"Ya. Tapi aku memang bukan."

"Aku lebih senang mengatakan bahwa kau lari dari tanggung jawab!!!"

"Hei, jaga ucapanmu! Aku memang belum merasa pantas untuk berbicara menyeru pada kebaikan di muka khalayak. Aku hanya tak mau menjadi munafik. Kau tahu itu sungguh berat"

"Ehem, lalu?"

"Aku tak mau munafik kawan! Ingatkah kau apa yang dikemukakan ulama Hasan Al Bashri? 'Sesungguhnya lidah orang mukmin berada dibelakang hatinya, apabila ingin berbicara tentang sesuatu maka dia merenungkan dengan hatinya terlebih dahulu, kemudian lidahnya menunaikannya. Sedangkan lidah orang munafik berada di depan hatinya, apabila menginginkan sesuatu maka dia mengutamakan lidahnya daripada memikirkan dulu dengan hatinya’..."

"Kau tahu teman, dakwah bagai keutamaan taqwa, sejatinya kau tak selalu mampu melihatnya"

"Maksudmu?"

"Yah,apa kau pikir saat seseorang berceramah di muka khalayak lantas kau sebut mereka berdakwah? Kau pun telah tahu jikalau mereka tidak melaksanakan apa yang mereka ucapkan, sama artinya mereka sedang berdusta, bukan?"

"kau benar kawan, 'Amat besar kebencian di sisi Allah, bahwa kau mengatakan apa yang tak kau laksanakan'..."

"Kau mendapatkannya..."

"Yah, dan aku semakin takut berdakwah, teman..."

"Hmmh, kau tahu teman, dakwah terbaik bukan melalui lisan. Melainkan tauladan..."

"Yah, tapi kau tahu kan, bagaimana remuknya akhlaqku sehari-hari? Sudah cukup cakapkah aku menjadi figur seorang tauladan? Akhlaqku bahkan bermil-mil jauhnya dibanding akhlaq ustadz di masjid..."

"Aku tidak meihat itu memberimu alasan untuk tidak terus menerus berusaha memperbaiki diri dari masa ke masa..."

"Yah, kurasa kau benar. Tapi kau tahu kan, jika hanya melalui tauladan, tidak semua orang mampu membaca dakwah kita. Lantaas, bukankah dakwah kita menjadi sia-sia..."

"Tidak ada yang sia-sia di mata Allah, teman..."

"Aku tahu..."

“Lagipula apa pentingnya orang lain melihat dakwah kita? Tidak penting kan? Ya sudah… Istiqamahlah…”

"Yah, kau benar..."

"Kau tentu ingat Allamah Thabathabai kan?"

"Ya, penulis kitab tafsir Al Mizan itu, bukan?"

"Apa kau pernah mendengar cerita tentangnya dari murid beliau, Syaikh Taqi Misbah?"

"Emm, apa kau tidak berkeberatan menceritakannya padaku?"

"Kau tahu, sedikit orang yang mengetahui kedalaman ilmu Allamah, karena di majelis ia banyak diam. Jika tidak ditanya, ia tidak akan berbicara. Tetapi ketika ia berbicara, barulah seluruh perhatian orang-orang tercurah kepadanya..."

"Jadi, kawan?"

"Yah, apa kau masih berpikir, bertindak diam dan penuh hikmah itu sia-sia? Diam akan mengajarkanmu kerendahhatian dakwah, teman…"

"Apa kau menyuruhku diam pula dari Amar Ma'ruf Nahi Munkar? Kalau begitu, setahuku aku bahkan menjadi lebih tidak bertanggungjawab, bukan?"

"Kau tahu bukan, ibarat kau boleh menjadi bodoh, tapi kau tetap tak boleh kehilangan otakmu..."

"Hmmhh, yah, kau benar. Aku mesti tahu bagaimana menempatkan dakwahku..."

"Dan satu lagi kawan.."

"Katakan saja padaku teman..."

"Seorang da'i tidak pernah sekalipun merasa sempurna nan mulia perihal dakwahnya..."

......

Aku berjalan di bawah kegelapan. Tersenyum melihat bulan sabit yang merona canggung di balik pucuk-pucuk cemara bukit, kala sang api berbisik licik,

”Kabarkan kawan. Sesungguhnya ini luar biasa...”

--R.D. 2010--

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun