Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sampang, Dimensi Kemasyarakatan dan Religi

28 Agustus 2012   01:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:15 112 0
Kerusuhan Sunni - Syiah di Sampang Madura sangat menyayat hati. Saat kedua belah pihak mengaku ber-Tuhan yang yang sama: Allah aza Wazala. Kedua memekikan takbir yang sama "Allahu Akbar". Lantas…. kenapa selalu ada pihak yang merasa paling berhak mengatur Tuhan? Ya benar kita seringkali mengatur Tuhan!!!

Salah satu sengketa yang paling umum orang yang memiliki keyakinan keberagamaan adalah penggambaran moralitas dalam Alkitab, Al-Quranul Karim. Kemudian mengklaim bahwa "kesempurnaan" menyembah-Nya adalah kesesuaian dengan pilihan yang dia anut. Tata cara ubuddiyah kepada Allah yang kita lakoni tiap hari bersumber pada "informasi" serentetan hadits yang kita "pilih" dari sekian banyak hadits lain yang kita tolak sebagai Dhaif. Dilengkapi dengan berbagai kitab yang mengatur tata cara ibadah: hubungan dengan sang khalik dan hubungan sesama manusia.

Selanjutnya terjadi internalisasi dalam perilaku individu. Mengejawantah dalam komunitas. Kohesivitas terbentuk hingga sangat mengkristal namun rigid. Alhasil, munculah klaim paling ber-Tuhan dan pembela Tuhan (mengapa Tuhan harus dibela? bukankah Tuhan yang harus membela kita?). Menganggap paling bermoral dan paling berhak. Lantas pertanyaan saya, Apakah Tuhan Bermoral?


Apakah kita pernah jujur ​​melihat moralitas Allah sendiri? Tidak. Allah harus kita pandang dengan cara keluar dari penjara pikiran, karena menurut keyakinan saya, Dia adalah sumber dari segala sesuatu yang baik, sempurna, penuh kasih, dan adil. Jika ia adalah sumber moralitas, maka dia harus 100% moral (yaitu yang baik). Setiap bukti sebaliknya harus berbasis pada kesalahpahaman atau karena berpikiran tertutup penuh kebencian. Tidak ada kemampuan dalam pikiran kita untuk memikirkan diri sebagai lebih bermoral daripada Tuhan. Jika saya, lalu mengapa menyembah dia? Mengapa percaya padanya? Mengapa saya harus menyerahkan hidup saya untuk Dia jika standar saya tampaknya melampaui dari Yang Mahakuasa? Saya tidak dapat bahkan membuat pertanyaan ini ada. Dengan demikian, Saya telah membangun tembok pelindung di dalam pikiran saya: kritis berpikir dan menantang asumsi saya pada satu Tuhan.

Banyak kaum Atheis melihat Agama sebagai kekejaman Tuhan, yang digambarkan dalam tindakan keji para penganut Alkitab sebagai alasan utama mengapa mereka meninggalkan iman. Ini sering merupakan titik menusuk bagi orang Beragama yang berpikir bahwa jika mereka bisa menunjukkan bagaimana Tuhan adalah semua cinta, para kafir akan datang kembali dalam Agama tuhan. Ini bahan bakar bagi "kaum Atheis!" Dan argumen "Jika Anda benar-benar memiliki hubungan dengan Tuhan, anda akan ___".

Jangan sampai seperti kekhawatiran saya dalam tulisan sebelumnya, Ketika Tak Beragama Menjadi Lebih Baik!Praktik-praktik peribadatan yang selama ini kita lakukan, seperti puasa, salat, zakat, haji, masih terkonstruksi dalam pengertian bahwa itu semua dilakukan karena perintah Allah dan untuk menyembah-Nya. Tak sedikitpun terbersit dalam nalar-keimanan kita bahwa, Allah sebagai Zat Mahakuasa tidak membutuhkan ibadah dan sesembahan apapun. Bagaimana mungkin Zat Yangmahakuasa meminta sesuatu dari ciptaan-Nya?Semua ibadah kita seharusnya membaikan moralitas diri!

Peribadatan yang berdimensi antroposentris memiliki arti bahwa semua peribadatan tidak satupun dimaksudkan untuk menyembah Allah, apalagi dengan pemahaman bahwa Allah mempunyai kepentingan terhadap ibadah tersebut. Dimensi antroposentrisme ibadah, hanya dimaksudkan untuk kepentingan umat manusia semata, supaya mereka mendapat ketenangan setelah keruhnya kehidupan dunia. Sebaik-baiknya implementasi ibadah juga harus tertransformasi kepada dimensi sosial yang lain. Jadi, ibadah tidak hanya untuk kepentingan privat-antroposentris, melainkan juga untuk kepentingan sosial-antroposentris

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun