Diamku bukan berarti ku tak cinta.
Diamku bukan berarti ku tak peduli.
Namun diamku berarti seribu bahasa cinta.
Bahasa cinta yg tak kau mengerti
Bahasa cinta yg tak kau pahami
Dan bila saatnya halal,
Ku ingin mengajarimu bahasa cintaku
Diamku bukan berarti ku tak peduli
Diamku bukan berarti ku tak rindu
Namun diamku karna aku sayang padamu
Diam ku karna ku tak mau menyakitimu
Ku tak ingin kau merasakan sesaknya memendam
Biarlah aku yang merasakan beratnya tarikan nafas
Diam ku karna ku tak tau TakdirNya..
Aku hanya memohon,
Aku hanya berharap, suatu saat cintaku halal bagimu
Diamku tak berarti ku membenci,
Namun diamku karna ku taat pada Rabbku,
Diamku kerana ingin mencintaimu karnaNya
Diamku bukan berarti ku bisu
Diamku bukan berarti ku tak cinta
Diamku karana ku tak dapat mendefinisikan cintaku
karna cinta tak dapat didefinisikan dengan kata
mungkin saja kau bukan jodohku,
tapi mungkin juga iya…
jika kau adalah jodohku,
maka diamku adalah caraku mendapatkanmu
agar Dia memberikan senyumanNya ketika kita bersatu
memberikan rahmatNya ketika kita membangun rumah tangga,
karna senyumanNya adalah RidhoNya
jika kau adalah jodohku,
ku tak ingin mendapatkanmu dengan cara dilempar murka OlehNya
ku tak ingin cinta yg kita jalin tanpa ridhoNya
ku tak ingin memulai ibadah dengan maksiat
Bukan untuku mencari yang sempurna,
namun ku ingin menerimamu dengan sempurna…
Zahra, ia selalu memanggil namaku, dan Aqil itulah panggilan namanya. Aku masih teringat ketika ia berada dalam kebingungan panjang, karena harus meninggalkan amanahnya sebagai ketua salah satu organisasi yang fokus dalam pembinaan remaja dan anak-anak, sedangkan ia diterima kerja di salah satu perusahaan sebelum ia wisuda, ketika ia menghadapi kehilangan barang-barang berharganya yang dicuri maling di mobil dinasnya saat ia sedang shalat dhuhur, saat ia mencurahkan kebingungannya antara idealismenya dengan tuntutan perusahaan dalam marketisasi produk yang harus ia jual. Aku Masih teringat saat ia menginginkan untuk menikah dalam waktu dekat, aku tahu ia mengharapkanku, karena ketidaksiapanku aku pura-pura tidak tahu, dan akupun mencarikan seseorang yang siap menikah untuk kuhubungkan dengannya, demi membantu kebutuhannya, walaupun sebenarnya hati ini menginginkan dan mengharapkan permintaannya, sampai aku mendatangi sesorang atas permintaannya untuk dijadikan istri jika sudah siap menikah, dia adalah Imah adik kelasku di kampus, namun tidak bersedia karena ingin menyelesaikan studinya. Aku tak ingin mementingkan egois pribadi semata, perjalananku untuk keluargaku masih panjang di medan perjuangan. Akupun memberikan ia beberapa alternatif solusi yang membantunya dalam mengambil keputusan. Sesekali aku berfikir ia kuanggap sebagai adikku sendiri, yah walaupun aku hanya lebih tua setahun.
Seiring berjalan waktu aku merasa ada hal yang tak biasa, intensitas perhatian yang ia berikan terasa lebih, sehingga akupun tak nyaman. Aku bisa membacanya bahwa ia menaruh hati padaku dan mengharapkanku. Dia berusaha menghubungiku lewat SMS walau hanya sekedar menanyakan kabarku. Namun kembali lagi aku meresponnya biasa saja tak pernah menampakkan sekalipun bahwa sebenarnya aku mengharapkannya, hanya ingin menjaga hati ini, hingaa saat yang tepat itu datang. Aku berusaha ridho jika ia nantinya menikah dengan orang lain. Walau sebenarnya terasa berat di hati ini.
Pengabdianku di negeri seberang hampir berakhir. Sebulan ini bukan Aqil yang sering menghubungiku, tapi Ririn yang sering mencurahkan isi hatinya. Dialah sahabatku sejak pertama kami masuk kampus. Aku masih teringat saat semalaman aku harus mendengarkan curhatnya, saat ia menangis karena nilai mata kuliah agamanya mendapat nilai C, akupun meyakinkan dan mengantarkan ke Dosennya untuk membuktikan bahwa nilai itu salah. Sebulan ini ia banyak mencurahkan isi hatinya, bahwa ada seseorang yang memberikan ia perhatian lebih, sesorang yang istimewa bagi hatinya. Orang tersebut tak lain adalah Aqil, seorang pria yang selama ini menjadi bagian sejarah dalam hidupku. Sebenarnya hati ini sangat teriris-iris ketika aku harus mendengar sahabatku Ririn menceritakan segala sesuatu tentang Aqil, butiran air matakupun selalu mengalir selepas Ririn menelponku, antara aku yang masih menhgharapkannya ataukah aku mengalah untuk sahabatku Ririn. Aku tak pernah menolak, setiap Ririn meminta pendapatku tentang Aqil, saat itulah akhirnya aku menawarkan diri untuk menolongnya, meskipun dalam telpon saat itu juga air mata ini tak bisa kubendung. Aku tak tega melihat Ririn yang juga ingin segera menikah, hatinya yang demikian lembut dan secercah harapan kuat di matanya terpancar sesosok Aqil. Akupun berniat untuk menghubungkan Ririn dengan Aqil. Tak mengapa jika mereka harus menikah, biarlah kebahagiaan untuk mereka karena aku lebih tidak tega jika harus menyakiti orang lain. Aku sampai mebayangkan jika harus mendampingi sahabatku Ririn disaat ia menikah dengan orang yang selama ini juga aku harapkan. Aku yakin, aku pasti kuat.
Tiba-tiba salah seorang teman sekelasku menghubungiku bahwa ada seseorang yang ingin menikahiku. Rasa syok dan terkejut dalam hati ini. Aku tak bisa membayangkan jikalau orang tersebut adalah Aqil. Ternyata benar, apa yang diungkapkan teman sekelasku Tina. Seluruh kejadian ini membuat fikiranku guncang, seluruh badanku lemah lunglai, tak mampu menyantap makanan walau hanya sebutir nasi.
Aku mencoba mendatangi Ririn di kediamannya, jika memang Ririn masih sangat berharap dengan Aqil, maka aku akan mengalah dan biarlah niat Aqil untuk menyuntingku dibatalkan. Ternyata Ririn berubah fikiran, ia tidak jadi meminta pertolonganku untuk dihubungkan dengan Aqil, ia merasa ada hal prinsip yang membuat ia berbeda, sehingga merasa tak mungkin jika harus bersatu dengan Aqil. Hatiku sedikit lega dan akupun berterus terang bahwa sebenarnya Aqil ingin menikahiku.
Hampir sebulan ini tak ada kabar dari Aqil. Aku menantikan jawaban darinya tentang pengajuanku meminta waktu 6 bulan untuk persiapan menikah karena ingin mempersiapkan dan mengondisikan keluarga, sekaligus targetku untuk mengikuti program Tahfidz Quran agar kelak aku bisa menjadi istri yang shalihah dan menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anaku dengan Al-quran. Aku tanyakan kembali kepada Tina bagaimana tanggapan Aqil terkait pengajuanku. Aku berusaha menghindari intensitas komunikasi langsung dengannya. Esoknya aku dapat kabar dari Tina bahwa Aqil tidak dapat memenuhi pengajuanku, ia diminta orang tuanya untuk menikah dengan segera dan tidak bisa menunggu dalam waktu yang ku ajukan. Air mataku terus mengalir sejak aku mendengar kabar tersebut hingga larut malam akupun tak dapat tidur. Apakah karena ia menunggu terlalu lama sejak kepergianku setahun berlalu? kini aku masih meminta waktu untuk dia menunggu selama 6 bulan? Berbagai pertanyaan terus berdatangan di fikiranku, mengapa Aqil akhirnya memutuskan demikian. Bukankah selama ini ia menantiku dalam penantian yang sangat panjang?, namun kenapa ia dengan mudah menolak pengajuanku?. Akhirnya aku menghubungi Tina agar menyampaikan kepada Aqil bahwa aku meralat keputusanku dan bersedia untuk memenuhi waktu dalam 2 bulan ke depan setelah masa kontrak kerjaku habis. Aku sangat berharap keputusanku yang sekarang mampu membayar kesalahanku pada Aqil.
Seminggu kemudian aku mendapat kabar dari Tina bahwa Aqil tetap tidak bisa menikah denganku karena tidak disetujui orang tuanya yang merasa berat dengan kondisiku dan kondisi keluargaku. Aku berusaha memahami keputusannya, orang tuanya pasti ingin yang terbaik untuk anaknya, apalagi ia anak satu-satunya di keluarga, dan ia pun berusaha patuh atas segala kemauan orang tuanya, karena ia mendapatkan kasih sayang yang sangat penuh dari mereka. Berbeda denganku yang sejak kecil dituntut untuk hidup mandiri.
Aqil sama sekali tak memberikan penjelasan langsung kepadaku, ia menghilang begitu saja, aku butuh penjelasannya, mengapa semua keputusan itu ia berikan. Ia seperti menghilang entah di dunia mana, tak ada kabar, sedang hatiku, fikiranku, dan fisikku kian melemah seperti tak ada energi dan semangat hidup selama hampir tiga bulan ini. Berat badanku turun hingga beberapa kilogram, kurus dan layu. Cinta yang kian lama terpendam tak mudah begitu saja hilang, demikianlah fitrah cintaku sebagai seorang wanita, terlalu sulit dengan cepat untuk melepaskan, apalagi melupakannya. Walau begitu banyak rasa sakit hati ini, namun perasaan harap bahwa suatu Saat Allah mempertemukan kami kembali selalu muncul. Tapi aku yakin bahwa Allah akan memberikan yang terbaik, walaupun bukan dengan sesosok orang yang kuharapkan, karena Allah lebih tahu tentang kebutuhan dan yang terbaik untukku dan untuknya. Aku ingin suatu saat nanti bisa bertemu Aqil, ketika ia sudah menjadi seorang Manajer, motivasi yang selalu kuberikan untuk dia agar tetap optimis dalam pekerjaannya, saat ia meminta solusi kepadaku untuk keluar dari perusahaannya, walau mungkin suatu saat ia akan bersanding dengan orang lain. Aku hanya ingin kembali menjadi sahabatnya, menjadi kakanya, menjadi gurunya, tempat ia berbagi seperti dulu.
Namun entahlah, ia menghilang entah kemana. Aku ingin nafsu makanku kembali normal, sehingga akupun tak mendzalimi diriku sendiri. Setahun sudah semua menyita fikiran dan perasaan. Semoga semua ini menjadi pelajaran yang bisa kuambil hikmahnya. Sekali lagi Cintaku karena Allah, cinta yang tak harus kumiliki, ingin kucintai apa-apa yang kumiliki, apa yang Allah anugerahkan. Aku hanya ingin seperti dulu, yang ceria dan optimis menatap masa depan, karena aku yakin Allah telah mengatur semuanya, mungkin dia hanya sesosok yang mampir minum di rumahku, kemudian pergi lagi dan hanya sedikit menjadi bagian dari sejarah perjalanan hidupku. Tak ada yang perlu disesali, yang ada kita harus lebih dewasa dan berusaha untuk menjadi lebih baik. Memperbaiki kualitas diri, membekali diri mejadi insan yang shalih, insya Allah akan selalu ada jalan.