[caption id="attachment_94364" align="alignleft" width="150" caption="Bukti Kapitalisme Merenggut Masa Depan Rakyat"][/caption] “
Mereka telah menangkap kami, negara apa ini, hukum pun juga menyakitkan” Dengan tegas ujaran itu keluar dari toak di pinggir jalan. Tiba juga waktu pulang. Sebagaimana biasa, saya pun harus melangkah beberapa jarak. Menunggu kedatangan bus dipertigaan. Jalanan makin liar dengan ragam transportasi. Kerap membuat ketidaknyamanan bagi pejalan kaki. Kali ini, waktu tak merisaukanku. Saya pilih menikmati indahnya pinggiran jalan. Tambah lagi isi dompet yang makin kering. Perlahan-lahan menekatkan untuk berjalan. Menelusuri jajanan kecil yang kerap dijumpai di trotoar. Mengejutkan! tak lama setelah saya berjalan. Kutemui spanduk kecil di sebrang kanan jalan. “Kembalikan Tanah Rakyat, Bangsat…!” begitu tulisan itu terpampang jelas. Tak ada keramaian yang luar biasa. Cuman
emperan kecil beratap
terpal. Entah kenapa, hati pun terketuk. Heran! ada apa ini. Saya pun dengan tekad menghampiri. Buru-buru saya mendekat si tukang roti. Bukan maksud membeli. Hanya sekedar numpang menyebrang. Setiba di
emperan, terlihat tertunduk lesu Suwarni, Ridwan dan Abi Amarih di bawah kertas
karton. Kertas itu bertuliskan tuntutan mereka. Aksi tutup mulut juga menyertai tuntutan mereka. Maklum, sudah hampir dua hari menggelar aksi ini. Bisa dibayangin sudah dua hari pula mereka tak mendapatkan asupan gizi. Saya sempatkan bertanya. Beruntung, salah satu dari mereka mau menyediakan waktunya. Adalah Abi Amarih. Ia pun bercerita kronologi kejadiaan sebenarnya. Ia rela jauh-jauh datang dari Kabupaten Oku timur, Sumatra Selatan menuntut pengembalian tanah miliknya. Kala itu, dipertengahan puasa 2008 ada percek-cokkan antara warga dengan PT. LPI, anak perusahaan PT. Indoofod. Perusahaan tersebut telah menyerobot ribuan hektar tanah warga. Selanjutnya mengkonversi lahan mereka. Dari perkebunan karet ke tebu. Terpaksa, warga kehilangan pekerjaan yang selama ini jadi tulang punggung. Lebih parah, perusahaan tersebut telah mengklaim kepemilikan tanah mereka. Praktis, 155 KK dari tiga dusun yang baru pemekaran siap-siap digusur dan terancam kehilangan tempat tinggal. Upaya melakukan perlawanan malah terbendung keganasan Aparat Keamanan (TNI, Polri dan Kodim) setempat. Dengan alat bulldozer dan todongan senjata api mencitukan hati mereka.
“Gimana ya dik, kalo masyarakat kecil lihat senjata aja sudah ketakutan. Kita gak bakal berani melakukan perlawanan”. Jelasnya disertai kusut paras wajahnya. Tak hanya itu, jalur yang di tempuh lewat birokrasi minim hasil. Mulai dari tingkat lurah bahkan ke gubenur. Sepuluh kali sudah coba menemui bupati. Tapi, tak pernah ada. Sementara, di tingkat bawah malah mendukung balik PT. LPI. Warga merasa asing di tanah sendiri. Tiga tahun sudah dilalui . Saat menekan malah balik ditekan. Yang tak tahan dengan berat hati telah keluar arena. Sementara sebagian lain milih menetap. Sambil menunggu kejelasan. Kebingungan pantas didapatkan. Kesan yang timbul adalah ketidakpercayaan. Bukan ketidakputusasaan. Bisa jadi, terpaan hujan sore itu (3/3/11) tak seberapa. Semilir angin cuaca bisa membantu menyejukkan hati sang pengusaha. Saat saya menyapa, terdapat letupan kalimat dari mereka. Kalimat itu bagaikan gumamam halus, suatu ungkapan lirih, hampir sulit diucapkan, bahkan nyaris tak terbaca, tak tertulis dan tak terhapus dari balik harapan besar meraka.
Menembus Jakarta Sebanyak mungkin orang mengetahui. Dan menyampaikan aspirasi mereka. Menanggalkan ketidaksanggupan mereka keluar dari situasi ini. Beruntung salah satu mereka mengenal PBHI. Berangkatlah delapan orang ke Jakarta. Tentu, lewat bekal pribadi. Melapor dan minta advokasi dari PBHI Jakarta. Bisa jadi, ini lah jalur final bagi mereka. Sebulan selepas melakukan pengaduan. PBHI pun segera bertindak. Sebagai perhimpuan hukum dan membantu hak asasi manusia, mencoba mengupayakan agar membawa kasus ini ke jalur hukum. Segeralah menemui KOMNAS HAM dan DPR RI mendampingi lima perwakilan warga. Lebih lengkap, saya pun segara meminta penjelasan dari PBHI. Kebetulan sudah dua hari pula mendampingi tiga bapak tadi di
emperan. Saya mulai bergeser. Kudekati kakek-kakek berusia baya. Aki, sapaan akrab beliau di PBHI. Sedikit kaget. Maklum, usianya tak muda lagi. Ia masih aktif berorganisasi. Lebih salut lagi mampu nginap dipinggir jalan. Tanpa ada pembatas hanya sekedar kain merah yang menempel di tubuhnya. Menghabiskan waktu demi membantu mereka yang tertindas. Butuh ekstra keras berkomunikasi dengannya. Bukan lantaran karena faktor usia, akan tetapi lalu-lalang mobil yang menimbulkan kebisingan. Tak jauh berbeda dengan penjelasan Pak Abi terkait kronologi kejadiannya. Dan ketika saya tanya, apa yang sudah dilakukan PBHI. Ia dengan senang hati menjelaskan. Paparan dimulai dengan menemui BPN. Baginya, sangat lucu. BPN sebagai payung lembaga yang mengurusi sertifikat tanah, tak tahu banyak kejelasan tanah tersebut. Saat ini, mereka mengupayakan untuk menemui DPR RI. Beruntung pihak DPR RI telah menerima mereka. “Tinggal menunggu langkah yang mereka tempuh”, Harapnya kepada saya. Tak hanya itu, PBHI juga mengupayakan agar KOMNAS HAM segera mengambil tindakan. Ia menegaskan PBHI tak bisa berbuat banyak lantaran hanya lembaga advokasi. Selain menyampaikan tuntutan, paling hanya menggelar aksi demo sebagai bentuk protes. Saat saya tanya penempatan aksi demo. Ia menuturkan bahwa percuma jika dilakukan didepan DPR ataupun Istana. Toh, selama ini mereka tak pernah mendengar. Lanjutnya yang terpenting masyarakat tau. Sambil membaca sodoran kertas yang dikasih ditengah-tengah percakapan. Kertas itu berisi terkait pernyataan bersama terkait tindakan perampasan tanah oleh PT. LPI. Ia juga menjelaskan ketidakpekaan HKTI Pusat. Penasaran, saya singgung pula keberadaan kantor DPP salah satu partai tak jauh dari aksi tersebut. Si Aki menjelaskan tak ada keprihatinan sama sekali.
‘Kita akan kembali lagi!’ jika masalah ini tak tertuntaskan. Kekhawatiran akan ketidakjelasan nasib. Itu yang saya tangkap dari PBHI.
Sekali Lagi, Anomali…. Setengah jam. Tepat sebelum menetukan untuk pulang dari perputakaan Freedom. Saya duduk sendiri. Telihat Hamzah, kawan LKM saya. Ia sudah sejak pagi di perpus tersebut. Cepat-cepat pengen pulang. Ia pun terpaksa menunda. Guyuran hujan begitu kencang. Memaksa mengurungkan niatnya. Langkah kakinya terhenti di meja samping saya. Membuka lembar-lembar koran “INDOPOS”. Tak lama kemudian. Ia pun menceletuk. “
Rupiah, kuat nih!”. Kumintai ia penjelasan. Maklum, saya kurang faham tentang ekonomi. Ia pun menjelaskan. Meski ada beberapa hal yang ia sampaikan. Yang hanya dapat saya tangkap adalah meningkatnya rupiah atas dasar perekonomian nasional ynag membaik. Jelas saya berpikir. Apa ini konsekuensi ekonomi nasional. Bukankah kata “nasional” itu menyeluruh. Kalau saja diambil garis relasi dengan kasus sengketa lahan diatas. Apa mungkin ekonomi nasional membaik. Melihat masih ada sebagian masyarakat belum mendapat perekonomian yang jelas. Jangan-jangan kuatnya rupiah karena ada pertimpangan ekonomi. Makin membaiknya dominasi ekonomi kaum borjuis. Sekedar mewakilii cantiknya statistik ekonomi. Yang mikro kalah. Makro pun berkuasa. Barangkali saya salah berpresepsi. Karena tak memahami informasi. Tapi bila ini benar terjadi. Negara ini sudah tak mau lagi terlibat. Berada diujung tanduk anomali. Selalu dan selalu. Bayangkan. Kepedulian parpol tadi. Ya, bisa dibilang. Cukup merepresentasikan kondisi keparpolan saat ini. Rakyat yang jadi basis parpol dihiraukan begitu saja. Parpol disibukkan dengan urusan mereka sendiri. Membantu kala ada maunya. Bagaimana mungkin rakyat percaya dikemudian hari. Konsistensi mewakili rakyat tak terjaga. Sepertinya parpol belum belajar marketing politik. Itu yang pesankan Firmanzah dalam bukunya. Sukses menggaet konstituen bukan hanya pada sebuah momen. Isu ancam-mengancam. Takut kehilangan jabatan. Bisikan reshuffle dihembuskan. Seolah mendeskripsikan ketidakmatangan berpolitik. Popularitas parpol. Sebuah semiotik metatastis. Kepekaan terus menghilang. Kesan rakyat pun seolah tertuang dalam buku
The Critique of The State. Saat poltik bertendsi
disorder. Membuat negara menghilang. Bahkan mati tak berdaya. Deklanasi pun akan tercipta. Sisi lain. Buku ciptaan Martin Van Creveld (2004), memahamkan saya. Membayangkan ketidakpecusan. Sebuah tanda negara gagal. Membiarkan tanggung jawab dari kesejahteraan, edikasi, keamanan sosial. Ini yang timbul Konsekuensi lebih parah. Masyarakat kembali hidup dibawah tekanan. Menemukan negara yang lebih authoritarian. Sementara klaim keberhasilan tak jarang dijumpai. Bisa saja. Pak Abi Amarih dan warganya merupakan sebatas cermin. Jalan Salemba seolah kontrastif. Manusia mondar-mandir. Tapi tak ada empati. Tumpangan aspirasi terabaikan. Dalam diri memahami. Mungkin terlalu bosan memandang kondisi semacam ini. Terlalu banyak. Sudah tak tertarik lagi. Terkadang, kehadiranku pun sedikit menyakiti. Sebatas monitoring tulisan pribadi. Tak sanggup bantu. Hanya tulisan ini akan banyak orang tau. Sehingga lahir secercah harapan. Harapan segera cepat terselesaikan. Mereka pun tidak disisihkan lagi. Amiin. *
KEMBALI KE ARTIKEL