Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

(Ter)Alienasi dalam Alienasi

23 Desember 2010   08:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:28 855 0
“Jika Anda hidup tanpa mempelajari kehidupan, maka hidup Anda tidak layak disebut sebagai kehidupan” (Sokrates) Kehidupan manusia dengan rangkaian aktivitas diselimuti pola penuh keragaman dan tercermin pada diri individu sendiri selalu memberikan detak kagum. Capaian-capaian tak terlampui dizamannya bahkan menjadikan manusia seolah menjadi mesin ruh lepas landas. Ketaksanggupan kadang memberikan kesempatan membuka ruang bagi manusia mencari keidealan. Pun halnya kala manusia hanya sebagian entitas kecil yang tak mampu bergerak. Manusia selalu dituntut serta didukung akan pemberian hasrat keingintahuaanya. Pancaran relatif selalu dikaitan dengan kebekuan pandangan. Kondisi ini saya fahami atas satu kata Alienasi. Dalam bahasa sederhana saya, alienasi ini sebagai wujud dari keterasingan. Saya tak coba untuk mencari siapa dibalik benteng pelopor alienasi. Saya pun tak coba mengkorelasikan kedalam mata rantai historis. Apalagi hanya disibukkan untuk memasuki ranah-ranah terminologi. Bahkan ketertundukkan mensintesiskan dalam segi epistimologi. Anda mungkin memungkiri lantaran tuntutan akan keformalan. Harusnya saya begini dan begitu. Terpenting, kata alienasi yang coba didiskusikan dengan menggunakan dialog melalui proses dialketika sudah terinternal dalam alam sadar. Bangunan diskusi malam itu dengan tema “ekonomi, pendidikan dan alenasi” mampu menembus kesadaran akan pentingnya sebuah spektrum tanpa juga mengesampingkan suatu momentum. Bagi saya dalam membahas alienasi ada dua kata kunci pokok yang berhubungan, yakni kritisisme dan materialisme. Secara historis kefilsafatan, sikap kritis dimulai semenjak masa Immanuel Kant kala ia mampu menjembatani  pandangan secara proporsional antara rasionalisme dengan empirisme sehingga ia pun membagi dua dimensi yakni fenomena dan noumena. Dimensi noumena inilah secara implisit memberi ruang mengenai hal-hal metafisika meski jauh pada masa klasik Yunani sudah disinggung. Filsuf-filsuf sesudahnya, termasuk Friedrich Hegel bahkan telah merinci dengan penjelasan filsafat rohnya. Selanjutnya filsafat roh telah mampu menyiratkan makna alienasi. Makna alienasi yang dimaksud adalah keterasingan atas tubuhnya. Kemudian alienasi diperjelas secara sistematis oleh Karl H. Marx dengan pandangan realitas sosial atas kondisi ekonomi Jerman saat itu. Sikap kritis Marx atas pondasi ekonomi manusia terlampir dalam Manifesto Komunis dan Das Capital. Intinya, manusia akan selalu terpengaruhi akan kebutuhan materiil semasa hidupnya. Manusia akan hidup dalam kesejahteraan bila mampu memenuhi kebutuhan ekonominya melalui cara-cara bersama. Selanjutnya ia pun membagi kedalam lima (5) fase zaman. Diawali komunisme primitif, selanjutnya berubah ke dalam fase perbudakan. Setelah itu akan memunculkan feodalisme dan berkembang menjadi kapitalisme yang kita tahu sedang mengakar sebagai trending topic bagi perekonomian tiap negara. Khususnya negeri ini yang lagi pesakitan. Difase inilah alienasi menjadi ciri khas. Fase terakhir yang diramalkan oleh marx adalah komunisme yang tak dapat dihindari. Kondisi yang sudah tergambarkan diatas, erat kaitannya dengan kata kunci alienasi kedua yakni, materialisme. Alternasi Alienasi Alienasi sendiri bagi Marx terbagi atas empat bagian, antara lain: alienasi diri sendiri akibat dijadikan objek orang lain, alienasi naluri manusia yang bebas berekspresi, alienasi atas produk yang dihasilkan, dan alinasi atas sesama buruh. Namun, menurut saya apa yang sudah Marx prediksikan semuanya tak bakal berjalan sistematis atau runut. Menarik dicermati apabila dikaji melalui sebuah pendekatan proses perubahan sejarah. Proses perubahan sejarah sendiri saya simpulkan menjadi dua bagian, yaitu: perubahan yang mengalami perulangan (cyclic) dan perubahan yang mengalami kemajuan (progress). Perubahan pertama yang biasa dikenal siklus. Dalam perubahan siklus, alienasi ini bisa terjadi layaknya gejala perubahan waktu yang selalu konstan dari pagi sampai malam, sementara perubahan siklus lain seperti perkembangan fisik manusia dari bayi, anak, dewasa dini ke dewasa tua. Misal, penjelasan alienasi Marx yang ditafsirkan juga Engels diabad 18 disinggung kembali oleh Tan Malaka pada abad ke 19. Dan kembali terulang diabad ke 20 oleh para pemikir. Semisal Goenawan Mohammad yang mengulas hal tersebut saat saya berselancar di TwitterLand. Termasuk saya sendiri yang hadir meski dengan tulisan sederhana ini. Semua itu merujuk pada alienasi. Materi terus mengikat diri. Alienasi kedua tentang progress. Menentukan kemajuan sebuah alienasi. Dimana proses alienasi ini akan senafas dengan paparan Marx dalam pembagian fase zaman. Walaupun masih dalam jalur alienasi tapi disetiap zaman tentunya memiliki tipikal alienasi yang berbeda. Entah itu sebab akibat ataupun bentuk yang melatarbelakanginya. Tan Malaka semisal. Meski ia kembali menfasirkan konsepsi pemikiran marxisme dari Engels (Fanz Magnis S:2006) tapi bagaimana ia dalam “Madilog” mampu meracik asketisme intelektualnya dengan kekhasannya menambah logika dan dialketika supaya mengubah cara pandang orang Indonesia terhadap kepercayaan hal-hal mistika. Ia mensiratkan untuk tidak teralienasi dengan ilmu pengetahuan. Meski sampai detik ini masih sulit terhidarkan dari sebagian masyarakat Indonesia. Sebagaimana terepresantasikan dalam kasus evakuasi warga dalam musibah gunung merapi. Tapi, ratusan atau ribuan kedepan mungkin saja dinamika alienasi akan musnah kala semua manusia Indonesia tanpa terkecuali memiliki pengetahuan dan ekonomi yang mapan. Itulah sejarah kita tak mungkin melepaskan dua dimensi yakni, ruang dan waktu. Yang paling menarik untuk dicermati bahwa aktor utama dalam alienasi ini adalah si individu itu sendiri. Apapun realita sosial yang ada alienasi kembali pada manusia. Memahami manusia itu serba unik. Horizon manusia yang penuh ambisi dan materialis sulit untuk dikendalikan. Manusia terus mencari eksistensinya demi kelanjutan hidupnya. Nietzsche menjelaskan manusia bebas memilih dan merealisasikan hidupnya karena manusia mencipta hidupnya sendiri. Beda lagi dengan Kierkegaard bahwa hubungan pribadi dengan tuhan itu penting. Lain halnya juga dengan Heidegger yang menyebutkan manusia itu bukan individu yang terisolisir dan butuh kebersamaan. Dari situ dapat ditarik secara garis beras bahwa kecenderungan alienasi manusia itu ada dua, yakni kecenderungan religious dan kecenderungan humanis. Lima tipologi unik Dari pertanyaan nakal oleh salah satu empat manusia yang masih bertahan dalam diskusi malam itu, menggelitik bagi saya dan yg lain untuk lebih lanjut mengembangkan dialketika kami sehingga kami mampu bereksperimen dengan menafsirkan beberapa hal yang mempunyai hubungan klausal meski saya akui variabelnya sedikit ngacak. Varibel itu antara lain melibatkan diri sendiri, tuhan dan orang lain. Kelima tipe unik ini mempunyai tata letak pencarian alienasi yang berbeda, diantaranya:

  1. Kenal diri sendiri, Kenal Tuhan
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun